32- Menentang Harap

20 8 0
                                    

Saya takut untuk kembali percaya,
Kembali yakin akan rasa,
Dengan pulihnya luka.

Dan ketika saya mulai percaya,
ketika saya mulai yakin untuk kesekian kalinya,
Ketika saya mulai berani menantang harap,
Ketika saya mulai lagi beradu cinta,
Dengan mudahnya kamu menjatuhkannya.

Dengan segala luka yang baru saja mengering,
Yang saya harap kamu adalah obat dari luka sebelumnya,
Saya mulai percaya.

Namun nyatanya,
Kamu sama saja–
Pembuat luka baru yang belum sepenuhnya sembuh.

—sptny, via line phospherous🌹

Bagian Tigapuluh Dua

Semua kelas di bubarkan saat bel berbunyi nyarin seantero sekolah. Kini di dalam kelas 11 IPA 6 hanya tinggal empat orang yang masih berada di dalam. Javier yang sudah tahu Loui ingin berbicara tatap mata bersama Oriell, ia langsung mengerti dan segera mengajak Nelvi keluar kelas. Nelvi memandang Oriell dengan tatapan 'bantuin gue'. Namun terlambat karena Javier sudah membawanya keluar kelas.

"Ih lepasin!" Tangannya berusaha melepaskan cekalan Javier yang agak kuat itu. Nelvi mendengus ke arah Javier. Lagian ia seenaknya saja membawa anak orang. Dengan cara di tarik paksa pula.

"Lo gak usah protes Nelvi. Lo jangan ke kelas dulu. Mereka berdua butuh ngomong berdua. Biarin mereka selesaiin masalahnya." Ucap Javier sambil membenarkan tali tasnya yang hanya di sampirkan di bahu kanannya.

"Tapi Loui gak bakal buat sahabat gue nangis kayak kemarin lagi 'kan?" Tanya Nelvi diselipi nada was-wasnya.

Javier menghela napasnya terlebih dahulu, "Lo tenang aja. Selagi Loui buat Oriell nangis lagi, gue bakal jadi orang pertama yang hajar sepupu gue itu." Ucap Javier penuh pendirian.

Sedangkan di tempat lain, suasana awkward langsung terasa di sekitarnya. Kalau saja cowok yang berada di dalam kelas itu tidak memulai percakapan, mungkin sampai besok pagi juga mereka akan tetap tak berbicara satu sama lain.

"Riell, lo mau 'kan sama ajakan gue yang kemarin?" Tanya Loui-- itu sangat terasa aneh di telinga Oriell. Karena barusan, Loui berbicara panjang.

Oriell tidak menjawab. Ia tak menatap mata Loui yang sudah berada di sampingnya itu. Sedangkan Loui menatap muka Oriell dengan wajah penuh permohonan. Namun sayangnya, Oriell tak melihat itu.

"Gue gak bakal maksa. Tapi gue harap lo mau Riell. Ini kemauan bokap gue. Dia kepengin banget ketemu sama lo." Oriell sungguh bingung akan menjawab apa. Badannya seketika menegang. Ia heran, kenapa Papinya Loui tiba-tiba mengajaknya bertemu? Apa Loui selalu bercerita tentang dirinya ke Papinya itu?

Loui menghela napas kasar, "Gue balik duluan. Soal lo mau atau enggak nerima ajakan bokap gue, itu ada di tangan lo sekarang." Loui langsung melangkahkan kakinya, hendak untuk keluar kelas. Baru saja sampai di pintu kelas, suara perempuan yang berada di belakangnya itu menyuruhnya untuk berhenti.

"Loui,"

Loui membalikkan badannya seratus delapan puluh derajat ke arah Oriell.

"Kasih gue waktu."

dER SCHNITTER

Sekarang hatinya di liputi rasa kebimbangan. Ajakan Papinya Loui itu membuat Oriell berharap lagi. Ia bingung, apakah ia harus menerima ajakannya? Jika ia, itu sudah pasti membuat celah Loui untuk masuk ke dalam hatinya. Namun jika tidak, sudah pasti Loui akan mengecewakan Papinya itu. Loui memang paling bisa membuat kepala Oriell ingin pecah. Ia tak tahu lagi harus bagaimana. Ia sekarang akan tidur siang dulu. Pikirannya perlu di istirahatkan. Mungkin siapa tahu saat dirinya terbangun, Oriell akan mendapatkan jawabannya.

dER SCHNITTER

"Gimana Wi, dia mau?"

"Gak tau." Cowok berjambul yang sekarang sedang asik memakan cemilan, seketika langsung mengerutkan dahinya saat mendengar jawaban Loui, sepupunya itu. "Kok gak tau?" Javier bertanya lagi.

"Dia masih mikir. Mau apa enggak." Loui meminum cokenya seteguk. "Wah berarti ada kemungkinan besar dong kalo dia bakal mau."

"Ya semoga.."

dER SCHNITTER

Oriell membuka matanya perlahan. Ia baru saja bangun dari tidur siangnya. Ketukan pintu di luar kamarnya, membuat Oriell berjalan ke arah pintunya dengan gontai.

"Ada apa, bun?" Oriell bertanya sambil menguap.

Ariell tertawa pelan melihat tingkah anaknya itu. "Bunda mau minjem charger. Yang punya bunda ilang." Oriell manggut-manggut.

"Tunggu ya, bun. Biar aku yang ambilin," Oriell pun mengambil chargernya yang berada di dalam laci.

Setelah mengambilnya, Oriell langsung memberikan benda tersebut pada sang bunda. "Kamu makan dulu Riell. Dari pulang sekolah belum makan 'kan?"

"Nggak ah, Bun. Ntar aja."

"Emangnya kamu nggak laper?" Bundanya bertanya. Oriell menggeleng. "Aku lagi nggak mood."

"Kalo kamu ada yang di pikirin, cerita sama Bunda. Bagi-bagi lah sama Bunda. Siapa tau Bunda bisa bantuin ngasih saran atau kritik."

Oriell tersenyum. Ia mengajak Bundanya untuk masuk ke dalam kamarnya. Karena mengingat daritadi Bundanya itu berdiri di depan pintu kamar Oriell. Setelah duduk di tepi kasur anak sulungnya, mulut Oriell memulai mengeluarkan rentetan kalimat.

"Menurut Bunda, mungkin dia punya alasan lain udah nolak kamu." Bundanya berpendapat--Oriell menceritakan soal asmaranya dengan Loui dengan rinci kepada Bundanya. "Tapi Bun, dia udah buat hati aku sakit.."

"Oriell.. dengerin apa kata Bunda. Kalo kamu udah ngerasain yang namanya jatuh cinta, kamu juga harus siap ngerasain gimana rasanya sakit hati. Bunda juga pernah ngerasain kok. Makannya menurut Bunda kalo sakit hati itu wajar-wajar aja dalam percintaan."

Anak sulungnya itu tersenyum sendu. Ia memeluk Bundanya. "Tadi di sekolah Loui ngajak aku ke rumahnya, Bun. Katanya Papinya mau ketemu sama aku. Aku belum jawab mau apa enggak. Aku bingung.."

"Terima aja. Kemarin Javier telfon bunda, katanya Papi sama Maminya Loui pengen banget ketemu kamu. Jadi, udah kamu ikut aja ya."

Seperti itu kah? Sampai Loui meminta bantuan pada Javier. Ada apa ini sebenarnya? Kenapa tiba-tiba orangtua Loui ingin bertemu dengannya?

dER SCHNITTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang