29- Makan Siang

22 11 1
                                    

Aku ingin pergi, menjauh.
Tapi tak mampu.

Karena disaat aku melangkah pergi,
Kau terlihat datang kembali.

Dan disaat aku siap menerima segala harapan lagi,
Nyatanya kamu sudah tak peduli lagi.

Lalu, bagaimana?
Haruskah aku yang terus-menerus mengikuti permainan cintamu ini, atau kah aku yang harus pergi walau tak pernah bisa?

phosphenous🌹

Bagian Duapuluh Sembilan

Hujan deras kini mengguyur wilayah Kota Bandung. Tambahan angin kencang membuat udara semakin dingin padahal sekarang masih jam tiga sore.

Bel pulang sekolah sudah berbunyi. Siswa-siswi ada yang langsung pulang ada juga yang berteduh dulu sampai hujan reda. Oriell memilih pilihan yang kedua. Ia memakai switer peachnya yang kebesaran. Ia memeluk dirinya sendiri karena udara sangat dingin. Oriell menoleh ke samping saat dirinya merasa ada yang mencolek bahunya. Ternyata itu Javier, ia memakai hoodie abu-abu, topi jaketnya ia pakai, jambulnya keluar. Membuat ketampanan Javier bertambah berkali-kali lipat.

"Pulang sendiri lagi, Riell?" Javier bertanya. Tangannya di masukkan ke dalam saku hoodienya.

"Iya."

"Bareng gue yuk? Ujan nih. Ntar kalo naik angkot pas lagi hujan-hujan gini di sangka pacaran sama tukang angkotnya lagi," Javier mulai melawak, lawakannya receh tapi tak urung membuat Oriell tertawa.

"Kok di sangka pacaran?"

"Ya 'kan berduaan."

"Tapi 'kan bisa aja ada penumpang lain," Sahut Oriell tertawanya sudah reda.

Javier tampak berpikir dulu sebelum menjawab, "Ya itu bukan pacaran namanya."

"Apa dong?"

"Gue juga gak tau. Tanya aja ke supir angkotnya," Cueknya sambil menggedikkan bahunya. Oriell terkekeh lalu tertawa.

"Sori ya receh. Niat gue cuman ingin buat lo ketawa kok. Eh taunya ketawa. Berarti gue berhasil," Tangan Javier terulur untuk mengacak-acak rambut cewek yang berada di sampingnya itu.

"Ih Javier! Rambut gue jadi acak-acakkan nih." Bibir Oriell mengerucut lucu. Membuat Javier tertawa, tapi nadanya mengejek.

"Haha, kayak singa ngamuk rambut lo!"

"Javier!!"

Tanpa di sadari, dari kejauhan, ada Loui yang memandangi keasikan mereka berdua. Oriell sadar akan pandangan Loui yang terus menatapnya dari kejauhan. Namun Oriell tidak peduli. Ia akan menunjukkan pada Loui bahwa ia bisa melupakannya. Dan Oriell sangat berterimakasih pada Javier, karenanya, senyuman dan tawa Oriell kini kembali muncul lagi di wajahnya.

dER SCHNITTER

"Ini 'kan bukan ke arah rumah gue?" Oriell menjadi bingung sendiri saat jalan yang di lewatinya bersama Javier ini bukan jalan biasa untuk ke rumahnya. Entahlah Javier mau membawanya kemana, sekarang pikiran Oriell bercabang kemana-mana. Ia takut di culik lalu di bekam oleh cowok yang sedang fokus menyetir di sampingnya ini.

"Javier lo mau nyulik gue ya?! Jujur lo!" Tuduh Oriell yang tidak-tidak membuat Javier tertawa --itu membuat Oriell semakin yakin jika Javier akan menculiknya.

Javier akhirnya menyahut, "Emang muka gue tampang penculik ye?"

"Lo jadi orang rusuh sih. Gue mau lo nemenin gue makan dulu. Lo gak ada acara 'kan?" Mendengar itu, Oriell langsung menggeleng saat di tanya oleh Javier.

"Tapi.. masalah bunda--"

"Gak usah khawatir. Ntar pas nganterin lo pulang, gue izin sama bunda lo." Oriell mengangguk kaku.

Tak terasa mobil Javier sudah terparkir di depan café. Mereka berdua pun turun dari mobil dan segera masuk ke dalam tempat makan tersebut. Mereka memilih tempat duduk paling nyaman, di pojok dekat jendela. Baru saja mereka duduk, dua pelayan sudah menghampiri meja mereka.

"Permisi Mas,Mbak. Mau pesan apa?" Javier menyebutkan apa pesanan yang di inginkannya itu kepada si pelayan--begitu juga yang di lakukan Oriell. Pelayan pun mengangguk lalu pergi dari meja mereka.

"Riell, gue minta nomer telpon bunda lo dong," Javier memecah keheningan sejak tadi pelayan pergi.

Oriell yang sedang melamun, sontak membenarkan posisi duduknya itu, "Hah? Buat apa?"

"Buat izin udah bawa anaknya kesini."

Entahlah jantung Oriell beritme menjadi cepat. Ia mengambil ponselnya yang ada di dalam tasnya lalu mencari kontak Bundanya. Setelah dapat, Oriell langsung memberikan pada Javier.

"Tunggu. Gue telfon dulu."

Oriell mengangguk-angguk saja.

Javier men-diall nomor Bunda Oriell. Di sambungan kesatu, Bunda Oriell langsung mengangkatnya.

"Halo Tant, Assalamu'alaikum.. Saya Javier temen deketnya Oriell.. Oriell lagi makan siang sama saya Tante.. Saya izin bawa anak Tante pulangnya agak telat, gak pa-pa 'kan Tante?... Oh iya... Gak bakal gigit kok hehehe.. Yaudah, makasih Tante, Assalamu'alaikum.."

Dari gaya berbicara Javier membuat Oriell ketawa sendiri. Tingkahnya sangat lucu.

"Beres 'kan. Gue jadi tenang."

Baru saja Oriell ingin bertanya pada Javier, pesanan mereka datang. Pelayan yang tadi menyimpan pesanan mereka di atas meja setelah itu Javier mengucapkan terimakasih pada pelayan. Pelayan itu mengangguk seraya tersenyum ramah lalu pergi kembali melayani pengunjung lain.

"Kata Bunda gue apaan?"

"Kata Bunda lo, ntar pulangnya jangan ngebut-ngebut. Anaknya sampe rumah gak boleh ada lecet sedikitpun. Harus hati-hati bawa anaknya katanya." Javier tertawa dengan ucapan Bundanya Oriell tadi. Ternyata Bunda temannya itu seru dan asik jika berbicara. Tidak seperti anaknya, galak. Untung cantik..

Oriell menggelembungkan mulutnya, "Ih.. Bunda bikin malu aja!" Gerutu Oriell, tanpa ia sadari Javier mendengarnya.

"Ternyata anak Bunda hehehe," Ejek Javier mulai receh. "Paansi. Diem ah jangan bacot. Gue mau makan. Laper." Sahut Oriell mengerucutkan bibirnya lucu.

"Jangan cemberut gitu dong kalo makan. Lucu sih lucu, tapi ntar makannya nggak bakalan nikmat," Ucap Javier membuat pipi Oriell seketika muncul rona merah. Oriell cepat-cepat menunduk agar Javier tidak lihat.

Javier tertawa, "Eh, ngapain lo nunduk gitu? Cepet makan," Serunya. "Hah? Eh itu ada yang jatuh tadi, gak tau apaan." Tentunya itu jawaban terngeles Oriell membuat Javier tertawa lagi.

Mereka berdua pun memulai kegiatan makannya. Di sela-sela makan Javier berbicara membuat jantung Oriell menjadi beritme cepat lagi dan lagi. "Lo lucu Riell kalo lagi boong kayak tadi. Blushing sih blushing aja.. Gak usah di tutupin kayak tadi, hahaha." Javier tertawa mengingat ia tadi melihat pipi Oriell yang timbul rona merah akibat perkataannya.

"Javier!! Lu paling bisa ya bikin gue naik darah!" Oriell meninju lengan Javier membuat cowok yang di depannya itu meringis pelan.

"Biarin. Apa lo mau di bikin sama gue jadi naik pelaminan? Ayo. Gue siap kapan pun kok," Gombal Javier membuat tawa Oriell pecah lagi. Namun di sisi lain ia kesal karena yang tadi.

"Udah, diem!"

"Iya sayang."

dER SCHNITTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang