35- Bolos Sekolah

36 8 0
                                    

Mulmed: Javier

Bagian Tigapuluh Lima

"Gue baru pertama kali bolos. Ternyata asik juga." Oriell mulai bercerita. Sekarang mereka berada di belakang gedung sekolah sambil memakan es krim. Javier tahu jika mood Oriell sedang kurang baik, jadi Javier membelikannya es krim.

Javier tertawa, "Gue tau tipe anak kayak lo. Terlalu rajin ngikutin pelajaran di kelas yang bikin otak rumek."

"Gue 'kan solehah." Puji Oriell. "Idaman gue dong," Javier mulai menggombal.

"Ih, apaan sih. Gak banget," Oriell menjawabnya kikuk sambil meninju lengan Javier.

"Gak banget tapi pipi merah," Ejek Javier saat melihat pipi Oriell merah merona. Oriell sontak memegang pipinya yang tirus itu. Ia menunduk malu. Javier tertawa melihatnya. Setelah itu tidak ada lagi percakapan di antara mereka berdua. Hanya Oriell yang sibuk memakan es krim. Dan setelah es krimnya habis, Oriell menjadi teringat percakapan kemarin malam antara dirinya dengan Javier.

"Jav?"

"Apa?" Javier merapikan rambutnya yang tadi di terpa angin sambil menoleh ke samping, ke arah Oriell.

Oriell menggigit bibir bawahnya, ia ragu untuk berbicara soal ini. "Itu.. soal yang kemarin.."

"Riell, gue gak kayak cowok kebanyakan yang nembak cewek pake bunga atau coklat segala macem. Atau puisi yang tiap baitnya buat cewek baper. Gue cuman cowok yang kalo nembak cowok langsung to the point.

Dan sekarang, gue mau to the point sama lo. Lo mau gak jadi pacar gue? Gue tau ini terlalu cepet. Kita emang baru kenal. Tapi, gue gak ngeliat dari berapa lama kita kenal. Tapi gue liat dari seberapa besar rasa gue ke lo. Gue sayang sama lo Riell. Gue cinta sama lo. Lo mau jadi pacar gue?"

Oriell seperti layaknya burung, ia terbang. Detak jantungnya seakan berhenti oleh ucapan Javier. Apakah ini hanya sekedar mimpi?

"Gue emang belum suka sama lo Jav. Tapi gue mau mencoba untuk itu. Gue gak mau nge- stuck terus di satu cowok yang gak peduliin apa-apa soal gue. Kasih gue waktu untuk bisa cinta sama lo," Ucap Oriell dengan lantang. Kalimat itu tiba-tiba saja meluncur dari mulutnya. Padahal ia tadi mengucapkannya dalam hati. Mungkin memang benar Javier yang tepat untuknya. Mengingat Javier selalu ada jika dirinya sedang bersedih. Perasaan sayang memang sudah ada untuk Javier, namun hanya sebatas teman. Namun sekarang Oriell akan mencoba untuk mencintai Javier dengan tulus.

Javier tersenyum sambil mengusap puncak kepala Oriell, "Thanks Riell, lo udah mau nyoba. Gue seneng."

"Jadi sekarang lo eklusif cuma punya gue nih?" Tanya Javier dengan senyuman jahilnya yang lagi-lagi mampu membuat pipi Oriell lagi-lagi merona. Oriell sangat bahagia, karena akhirnya Tuhan memberi orang yang tepat. Semoga saja Javier akan terus membuat Oriell tersenyum tanpa setetes air mata yang mengalir.

dER SCHNITTER

Javier turun dari mobilnya tepat di depan pos satpam sekolah. Waktu bolos tadi, Javier memang sengaja menyimpan mobilnya di sekolah. Terlihat Oriell yang sudah berdiri sambil memainkan ponselnya.

"Hey!" Javier mengagetkan Oriell dengan menepuk pundaknya. Lantas Oriell sontak mengelus dadanya karena ia sedang asik bermain ponselnya.

"Ih tai! Untung gak jatoh ni hape," Gerutunya. Bibirnya mengerucut lucu. "Tai tai juga pacarnya 'kan?" Javier tertawa, sedangkan Oriell masih mengerucutkan bibirnya.

Tawa Javier terhenti saat seseorang menghampiri mereka. Hawa disana berubah seratus delapan puluh derajat menjadi tegang-- mungkin bagi Oriell begitu.

"Gue mau ngomong sama lo, Riell." Tubuh Oriell seketika menjadi tegang. Sontak matanya melirik ke arah Javier, bermaksud bertanya apakah ia harus mengiyakan Loui atau tidak. Sedangkan Javier hanya menggedikkan bahunya, terserah Oriell. Walaupun sekarang Javier statusnya menjadi pacar Oriell, tapi ia tidak bisa mengekang apapun. Yang ia bisa hanya memberi saran jika Oriell sedang bingung. Hasil keputusan akhirnya itu hak Oriell sendiri. Javier hanya berpastisipasi dalam memberi saran atau kritik. Loui yang melihat Oriell menatap persetujuan Javier membuat hatinya seperti ada sesuatu yang mengganjal.

"Gue gak ada waktu untuk ngomong sama cowok brengsek macem lo. Ayo Jav, kita balik sekarang." Oriell melengos pergi begitu saja. Javier menatap Loui sebentar, "Sekarang Oriell udah milik gue. Lo gak bisa nyakitin hati dia seenak jidat lo lagi."

Loui menelan ludahnya. Mungkin itulah yang daritadi mengganjal di hatinya. Apakah Loui sudah terlambat? Jawabannya mungkin adalah iya. Karena sekarang, Oriell sudah milik orang lain, lebih tepatnya sepupunya sendiri. Loui merasa sangat bersalah. Ia memang bodoh telah menyia-nyiakan perempuan seperti Oriell. Namun sekarang yang Loui inginkan adalah Oriell harus mengetahui apa alasan Loui berbuat jahat seperti itu padanya. Setidaknya jika Oriell mengetahui itu, dirinya bisa di maafkan oleh perempuan yang ia cintai itu. Meski mungkin Loui tak bisa memilikinya.

"Riell, please sekali ini aja gue mau ngomong." Loui memohon, ini kedua kalinya Oriell melihat wajah memelas dari Loui. Ia yang biasanya dingin dan terkenal dengan wajahnya yang datar itu kini berbeda.

Dengan terpaksa Oriell menghampiri Loui, Javier menatapnya bingung. "Apa yang mau lo omongin?"

"Gue mau jelasin semuanya," Loui menatap lekat-lekat mata coklat milik Oriell.

Sementara Oriell, pandangannya lurus kedepan ia tidak mau memandang mata Loui lagi, karena jika ia memandangnya pasti hati Oriell akan merasa sakit kembali. Javier yang kini menatap pacar dan sepupunya yang sedang berbicara itu, ia tidak tahu apa yang mereka sedang bicarakan. Tapi, kelihatannya ini cukup serius.

"Gue sayang sama lo, Riell."

Kini Oriell berani menatap mata Loui, ia ingin memastikan apakah dari matanya tersirat kebohongan? Ternyata Oriell tidak menemukannya, yang ia temukan adalah tatapan hangat yang membuat Oriell nyaman. Tapi, sedetik kemudian ia mengingat semua kesalahan yang telah Loui buat.

"Gue cinta sama lo, bahkan sebelum Javier datang. Gue nyakitin lo, gue jatuhin lo, dan segala perbuatan keji gue ke lo itu semua ada alasannya." Mata Loui dan Oriell kini bertemu.

"Semua ini gue lakuin karena gue gak mau lo kenapa-napa kalo misalnya lo deket sama gue. Gue punya kejadian kelam sama seseorang, dia punya dendam yang mendalam sama gue bahkan keluarga gue. Dia rela ngelakuin apapun demi ngebuat gue menderita. Salah satunya, dia bakal nyakitin cewek yang gue sayang." Mata Loui berkaca-kaca, tapi sesegera mungkin ia tahan agar air mata itu tidak keluar.

Ini kali kedua Oriell dibuat terkejut oleh dua lelaki bersaudara itu, sebenarnya ada apa di balik semua permainan ini? Kenapa dirinya yang harus menjadi korban? Oriell menggeleng. "Lo terlambat, Wi. Andaikan aja lo ngomong ini lebih awal. Mungkin kita bisa lewatin ini sama-sama. Tapi, lo memilih jalan yang salah dengan cara lo sakitin hati gue. Sekarang gue milih Javier, karena dia yang selalu ada untuk gue disaat gue membutuhkan dia."

"Gue tau Riell. Gue emang bodoh gak sempet merjuangin lo. Dan sekarang gue cuman bisa ikut bahagia kalo lo bahagia sama Javier."

Oriell menyahut, "Asal lo tau, berjuang sendirian itu gak enak." Oriell lalu pergi dari hadapan Loui, menyisakan penyesalan yang dalam untuk Loui.

dER SCHNITTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang