27- Suatu Alasan.

18 10 2
                                    

Bagian duapuluh delapan

Hari ini tepat tanggal 19 April, hari kelahiran Luha. Loui berniat untuk pergi ke makam Luha, setiap ia berkunjung kesana rasa bersalahnya selalu muncul.

Setelah kematian Luha, Loui menjadi pribadi yang sangat tertutup. Ia tidak pernah lagi berkumpul dengan Mami atau Papinya lagi, yang ia lakukan adalah melamun. Karena Loui selalu berkata pada dirinya sendiri dan juga orang tuanya bahwa ia adalah penyebab dari kematian Luha. Tapi, kata-kata terakhir Luha selalu ia ingat, ia tidak boleh mengecewakan Papi dan Maminya. Dan setelah itu juga Papi Loui sudah jarang pulang ke rumah, setiap ia tanyakan alasan kenapa Papinya jarang pulang ke rumah pada Maminya, Maminya selalu menjawab itu adalah urusan pekerjaan. Padahal sebelum Luha meninggal Papinya pulang sebelum maghrib dan selalu menyempatkan sholat maghrib berjamaah dan makan malam bersama.

Loui memandang batu nisan yang ada di hadapannya. Ia meletakkan bunga dan juga coklat dengan pita pink di atasnya. "Happy birthday, sweetheart. Apa kabar lo disana? Pasti enak ya hidup di surga? Gue jadi pengen cepet nyusul, deh. Disini sepi banget gak ada lo, gak ada yang bisa gue kerjain. Gue kangen banget sama lo, Dek. O,iya Mbak ice cream langganan lo nanyain lo terus tuh. Katanya biasanya pesen ice cream vanillanya dua, sekarang jadi cuma 1 gak pake cone lagi." Tanpa ia sadari air matanya keluar, segera ia seka menggunakan tangannya.

Loui menunduk, ia tak kuat menahan tangisnya. Tidak bisa terima kenyataan bahwa Luha sudah tidak ada di sisinya lagi, ini terjadi karena dirinya sendiri. Ia kemudian mengangkat kepalanya. "Papi?"

Papi Loui tersenyum ke arahnya. "Selamat ulang tahun,adek." Ia meletakkan bunga kesukaan Luha.

"Ternyata Papi gak lupa ya sama bunga kesukaan Luha." Loui mengusap batu nisa yang bertulisan Luha Brathislava itu.

"Iya dong, mana bisa Papi lupa sama bunga kesukaan adik kamu."

Loui menunduk lagi. "Maafin Ad, Pi." Ia masih yakin bahwa dirinya lah yang menyebabkan Luha menjadi seperti ini.

Pria disampinya itu menggeleng dan mengusap kepala anak sulungnya itu. "Kamu gak usah nyalahin diri kamu sendiri, Ad. Karena ini bukan kesalahan kamu. Ini kesalahan Papi, karena Papa Regard dikeluarkan dari perusahaan Papi, dia stress dan akhirnya bunuh diri. Karena inilah Luha diculik."

Papi Loui melanjutkan pembicaraannya. "Karena kinerja Papa Regard yang menurun dan juga ia sering cuti tanpa sebab, jadi Papi memutuskan untuk memecat Papa Regard. Papi tidak tahu kejadiannya akan seperti ini, setelah 3 hari Papa Regard di keluarkan Papi mendapat kabar bahwa Papa Regard meninggal karena bunuh diri. Papi baru bisa mengatakan ini sekarang. Maafkan Papi, Ad. Karena Papi belum menemukan waktu yang tepat, jadi Papi dan Mami lebih memilih untuk berdiam dulu dan tidak mengatakannya pada kamu. Papi tidak ingin kamu terus menyalahkan diri kamu. "

Loui terkejut mendengar penjelasan dari Papinya. Karena alasan ini Luha menjadi korban? Dia tidak punya salah apa-apa tapi, kenapa dia harus menjadi korban? Loui kecewa ingin sekali rasanya ia marah pada Papinya. Tidak bisakah ia mengatakannya lebih awal? Agar Loui tidak menyalahkan dirinya terus-menerus dan rasa bersalah yang selalu muncul membuat Loui terganggu. Ada sedikit trauma dalam dirinya saat mendengar suara pistol itu mengeluarkan pelurunya. Ia masih sangat ingat kejadian 1 tahun lalu. 'Ad, jangan sedih. Jangan pernah kecewain Papi dan Mami, berjanjilah.' Itu yang selalu Loui ingat. Jadi sekarang untuk apa ia kecewa pada  Papinya.

"Kenapa Regard gak masuk penjara,Pi?" Regard masih ada di alam bebas bahkan 1 sekolah dengan Loui dendam yang mendal masih ada dalam diri Loui. Setiap ia bertemu dengan Regard ingin rasanya ia mencabik-cabik mukanya sampai hancur tak berbentuk.

"Karena dia masih di bawah umur dan juga kasus ini belum ada bukti yang jelas. Papi juga sudah berusaha menjebloskan Regard ke penjara tapi, buktinya belum cukup untuk membuat Regard masuk dalam penjara."

Loui mengangguk lalu mereka berdua meninggalkan batu nisan milik Luha. Mereka pulang bersama, Papi Loui sudah sangat lega sekarang, sudah tidak ada lagi yang harus ia pendam di dalam dirinya. Ia tahu anaknya sangat kecewa tapi, anaknya itu sangat bisa menetralkan suasana di hatinya.

dER SCHNITTER

dER SCHNITTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang