13 - Rasio

5.4K 383 2
                                    

Bertemu denganmu adalah awal dari perjalanan yang baru.

Mengenal dunia yang lebih luas melalui matamu.

-Afterglow-

"Kamu jaga di pas bagian tanah yang licin disana!" Kata guru pembimbing. Visi menganggukan kepalanya. Kali ini anak PMR _termasuk Bina Taruna_ dibagi menjadi beberapa kelompok. Mereka ditempatkan di beberapa tempat yang rawan akan bahaya. Seperti dipinggir sungai, didaerah yang licin, dipinggiran hutan dan sebagainya. Masing-masing dari kami membawa kotak peralatan pertolongan pertama.

"Kamu jangan sendiri. sama kamu aja." Bu Seni menarik lengan Filan untuk berdiri disebelah Visi.

"Nah kan kalian berdua aja cukup. Ada cowoknya." Kata Bu Seni. Rasanya Visi ingin guling-guling, kenapa dari ke-empat cowok PMR Bina Taruna harus Filan yang jaga bareng dengannya? Bukan masalah sih, tapi kejadian malam itu masih terngiang-ngiang di kepala Visi. Visi ingat betul pengucapan kata 'percaya' itu dan ingat betul tatapan Filan yang menatapnya sambil terkejut. Wajah cowok itu sangat menunjukan bahwa ia benar-benar terkejut lalu tak lama Filan mengalihkan pandangannya dari Visi dan berdeham pelan. Malam itu, malam dimana Visi tidak tahu bahwa kata 'percaya' yang diucapkannya memiliki banyak makna.

"Muka kamu kok pucet gitu?" Visi tersentak ketika Bu Seni tiba-tiba mengajaknya bicara.

"Eh? Nggak bu, hehe.. Cuma ya, pengen aja ikutan ke air terjun."

"Kan kamu kelas sepuluh udah pernah, sekarang kamu jaga aja buat adek-adek kelas kamu. Kalo ada waktu kalian berdua bisa ke air terjun."

Visi tersenyum kikuk, begitupula Filan yang langsung berdeham.

B-E-R-D-U-A.

"Yaudah kalian mulai aja dulu gih ke lokasi masing-masing. PMR cewek-cewek masih inget kan tempatnya dimana?" PMR dari sekolahan Visi mengangguk. Mudah sih tempatnya, tinggal mengikuti panah dari penunjuk jalan yang sudah dipasang diberbagai tempat.

"Yaudah. Mulai aja. Hati-hati, cowok-cowok juga jagain ceweknya." Kata Bu Seni.

"Siap, Bu!" Jawab ketiga cowok dengan lantang, kecuali Filan yang kini melirik kecil kearah Visi yang menyiapkan kotak peralatan pertolongan pertama.

###

"Jadi, kenapa lo yang bukan anak PMR bisa kesini?" Kata Visi sambil berjalan mendahului Filan. Filan dibelakangnya menatap punggung Visi dan menghembuskan nafasnya lelah.

"Gue udah bolos pelajaran lebih dari tiga kali, dan berhubung gua udah kelas dua belas kata guru BK sekalian refreshing gue disuruh ikut aja. Katanya ya walaupun anak-anak sekolahan gue gak butuh PMR, udah pada kuat dari orok."

Visi terkekeh. Memangnya semua anak Bina Taruna sekuat itu? Tadi saja Visi sekilas melihat ada beberapa anak yang 'biasa' saja. Seperti siswa pada umumnya. Rapi, pendiam, berkacamata.

"Gak yakin gue. Lo tau kan sekolahan lo itu udah terkenal kemana-mana. Dan dengan acara ini, kepala sekolah gue berusaha ngebuat image kalian nggak jelek di mata kami. Karena nggak semua anak Bina Taruna semacam itu."

"Semacam itu?" Filan menghentikan langkahnya. Visi yang tidak mendengar suara langkah kaki Filan membalikkan tubuhnya. Menatap cowok itu sambil tersenyum tipis.

"Nggak semuanya buruk." Lalu Visi berbalik lagi melanjutkan langkahnya.

"Tau dari mana?"

"Dari lo." Visi berkata tanpa menatap Filan. Filan yang mendengarnya lantas tersenyum tipis. Mungkin memang benar, dia hanya membutuhkan seseorang untuk percaya kepadanya, ya walaupun dia tidak menduga seseorang itu adalah Visi alias Lia yang memang sudah masuk kedalam permainannya.

"Semenjak itu, Roland nggak pernah ngehubungin gue lagi."

Visi terdiam. Cewek itu membalikan tubuhnya. Dia sempat mundur selangkah berhubung ternyata Filan berdiri tepat dibelakangnya.

"Kenapa?"

"Gue juga gak tau kenapa, yang pasti gue gak yakin dia bakalan ilang gitu aja." Jika memang Roland dan Filan bersaudara, lantas apa yang membuat kedua saudara ini renggang dan terkesan saling benci.

"Maaf gue lancang. Tapi berhubung gue udah dikenal sebagai Lia pacar lo, boleh gue tau masalah kalian apa? Kalo lo nggak mau juga gak apa-apa kok. Gue nggak masa. Sumpah." Filan tersenyum kecil. Cowok itu menaikkan kedua alisnya dan melipat kedua tangannya didepan dadanya.

"Kepo seperti biasanya."

Mendengar perkataan Filan, Visi cemberut. Cewek itu segera berbalik dengan cepat. Merasa tersinggung jika kata 'kepo' muncul di dalam sebuah percakapan.

"Kalo nggak mau bilang aja nggak mau. Ribet banget sih." Gumam Visi yang masih terdengar oleh Filan.

"Dih ngambek. Nanti, tunggu waktu yang tepat."

Visi tidak peduli dengan perkataan Filan. Waktu yang tepat? Sampai lebaran monyet sekali pun Visi tidak tahu harus berbuat apa. Pada dasarnya dia yang dikenal sebagai pacar seorang Filan yang tidak tahu menahu tentang masalah pacarnya sendiri. Konyol memang jika Visi mengakui bahwa dia berpacaran dengan Filan. Tidak mau. Cewek itu hanya menggunakan kata 'pacaran' jika sudah dihadapan Roland saja. Karena bagi Visi, cinta itu hanyalah sebuah variabel.

"Udah nyampe?" Filan bertanya.

Visi masih dalam mode diam. Cewek itu lalu melihat sekelilingnya. Mereka sudah tiba dilokasi. Sebenarnya hanya sebuah tanah yang basah karena berada di pinggiran sungai. Visi tersenyum melihat sungai itu, mengingatkannya saat dia dan teman-temannya malah main air dulu saat kelas sepuluh.

"Gue waktu kelas sepuluh gak pernah kesini." Kata Filan tiba-tiba. Visi mendengus.

"Gak nanya." Kata cewek itu ketus lalu menoleh ke kanan dan ke kiri. Mencari tempat yang tepat untuk mereka menunggu anak-anak kelas sepuluh. Anak kelas sepuluh akan menuju air terjun melalui rute yang singkat, kurang lebih hanya lima menit, dan baru ketika pulangnya mereka akan melewati jalur hutan yang terkenal dengan berbagai macam rintangan. Visi sih hanya berharap tidak ada yang mengenakan sepatu sandal seperti dia dulu. Waktu kelas sepuluh, Visi yang terburu-buru malah menggunakan sepatu sandal karet yang membuatnya harus tergelincir. Mau tau dimana tempatnya? Disini. Tempat Visi dan Filan berjaga.

"Gue mau cerita." Kata Visi lalu menatap Filan dengan binary dimatanya.

"Gue gak mau denger." Kata Filan sambil mengangkat kedua alisnya. Seketika sorot mata Visi memunculkan kekesalan, namun cewek itu lebih memilih untuk bodo amat. Mau dengar ataupun tidak, Visi hanya ingin bercerita.

"Dulu gue pernah kepeleset loh disini. Terus gue ditangkep gitu sama kakak kelas. Awalnya gue kayak sok kuat gitu, nggak nerima uluran tangan kakak kelas, eh tapi terusnya gue kepeleset dan kakak kelas itu yang nangkep gue. Sumpah, malu gue." Kata Visi lalu matanya menemukan sebuah daun pisang yang lebar dibelakangnya. Mungkin ia bisa menggunakannya sebagai alas duduk.

"Terus, lu suka sama kakak kelas itu?" Visi tersenyum meremehkan ke arah Filan. "Katanya gak mau dengerin?"

"Yaudah nih gue gak mau denger lagi."

"Eh! Jangan gitu. Dih baperan jadi cowok." Kata Visi. "Gue nggak suka. Gimana mau suka, orang kakak kelas itu ketua BPK sekolahan gue." BPK (Badan Pengawas Kedisiplinan), biasanya terdiri dari anak OSIS dan MPK yang rela masuk kelompok itu. Tugas mereka biasanya, marah-marah, razia, cek perlengkapan MOS, dan pemberi hukuman. Masa-masa MOS yang tidak terlupakan.

"Gue juga mau cerita." Kata Filan lalu cowok itu tersenyum miring.

"Gue pernah ngatain anak-anak BPK waktu mereka gajelas. Dan lo tau apa? Gue langsung masuk black list anak OSIS dan MPK. Padahal gue membela kebenaran."

"Membela kebenaran? Superhero kali ah. Ya pantes mereka masukkin lo ke black list. Ternyata lu tipe adek kelas yang tengil."

Filan tersenyum kecil.

"Filan. Ambilin daun pisang itu coba." Tunjuk Visi kearah pohon pisang yang daunnya menjuntai ke bawah. Filan menghampiri Visi berhubung daun itu tepat di belakang Visi. Visi menahan nafasnya sejenak lalu cewek itu dengan kaku menggeser tubuhnya. Visi tidak tahu apakah Filan bisa mendengar degup jantungnya yang gila-gilaan itu atau tidak.

###

Afterglow [Completed✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang