"MAMA!!!" Teriak seorang gadis kecil sambil berlari-lari disekitar penginapan pinggir pantai yang sedang aku kunjungi. Iya, dia anakku.
"Kenapa?" Tanyaku pelan.
"Abang nakal. Masa katanya kalo Gia gangguin abang terus dia bakalan ngambil cemilan Gia dirumah." Anakku yang satu ini memang biasa menjadi bahan candaan kakaknya. Aku menatap tajam bocah laki-laki berumur dua belas tahun yang berdiri cengengesan tak jauh dari tempat kami. Sekilas aku seperti melihat Ikky yang selalu menjahiliku. Ah, aku rindu kakak sepupuku yang satu itu.
"Kan kata mama kalo abang nakal kamu cukup ambil aja robot dia. Nanti juga dia ngamuk." Aku tidak tahu apakah ini bagus atau tidak dilakukan kedua anakku. Ya selama mereka tidak adu fisik sih kurasa tidak apa-apa. Aku tahu bahwa Dyo _anak pertamaku_ hanya main-main dengan adiknya. Dan umur mereka juga hanya terpaut dua tahun.
"Tapi nanti Bang Dyo ngamuk, ma. Bilangin papa dong." Rengek Gia menarik-narik ujung bajuku. Aku tersenyum melihatnya. Yah, bagaimanapun mereka ini adalah saudara kandung yang sangat menyayangi. Baru saja aku ingin berbalik memanggil suamiku, ternyata suamiku sedang berjalan kearah kami sambil membawa gorengan ditangannya. Kadang aku sendiri bingung dengan selera makannya. Masa iya dipantai dia malah beli gorengan?
"Papa! Abang nakal!" Rengek Gia. Suamiku hanya tersenyum.
"Mana Abang? Sini Papa jewer dia." Kata suamiku sok kejam. Iya 'sok kejam', padahal dia tidak pernah menjewer anak pertamaku. Ya paling Cuma mengintrogasinya saja sampai Dyo nangis dan merengek ke arahku. Dari dulu sampai sekarang aura intimidasi suamiku memang tidak pernah berkurang. Malah semakin parah, mungkin efek kerjaan dia yang suka selesai sampai larut malam.
"Kok beli gorengan?" Kataku kearahnya. Dia hanya tersenyum kearahku lalu berjalan mendekat. Gia yang tahu bahwa omongan papa-nya adalah sebuah kebohongan langsung berdecih dan mengejar kakaknya yang meleletkan lidah.
"Jangan jauh-jauh!" Teriakku.
"IYA MAAA!!!" Jawab mereka kompak. Kulihat mereka hanya berlari-lari dihadapan kami saja. Sesekali bercanda sambil main pasir. Cepat sekali kan mereka baikkannya?
"Mau gak?" Tawar suamiku sambil menyodorkan pisang goreng yang aku ambil dengan Cuma-Cuma. Rejeki mana mungkin kutolak.
"Kamu inget gak?" Aku menatapnya sambil menaikkan sebelah alisku.
"Dulu aku tuh sampai nyaris gila Cuma gara-gara nyari alamat kamu di Belanda." Ungkapnya yang membuatku mendengus geli. Aku melihat matahari sudah akan tenggelam diujung lautan sana, aku rindu warna langit ini. Apalagi warna langit favoritku, afterglow.
"Siapa suruh kamu nyari aku ke Belanda?" Kataku ketus.
"Kan aku sayang sama kamu. Makanya begitu aku dapet gelar S1 aku buru-buru kesana. Takut kamu dicomot orang."
"Dicomot? Bahasa kamu tuh ya.." Kataku sambil geleng-geleng.
"Tapi jujur aja aku makasih banget kamu masih mau denger penjelasanku ditelepon." Aku terdiam. Aku kembali mengingat masa-masa itu. Beberapa belas tahun silam. Baru saja aku tiba di apartemen Tante di Belanda, ponselku bergetar dengan heboh dan aku bahkan nyaris melepas baterai ponselku. Ya siapa lagi kalau bukan dari dia?
"Tadinya males aku itu ngangkat telepon dari kamu, tapi ya tanganku gerak sendiri terus ngangkat telepon dari kamu." Ungkapku yang dibalas kekehan dari dia.
"Kadang, logika sama hati itu gak bisa samaan." Lah? Emang nyambung?
"Terserah kamu deh, aku cuma iyain aja." Kataku yang membuat dia berdecak pelan. Tapi lalu aku merasakan tangannya yang memeluk pinggangku dari belakang. Aku masih menghabiskan pisang goreng ditanganku.
"Gak sia-sia kan langsung aku lamar?" Aku memutar kedua bola matakku. Ya, baru saja kita 'jalan bareng' selama seminggu, dengan sintingnya suamiku langsung melamarku. Aku sih waktu itu iya aja, siapa coba yang bisa nolak dia? Hatiku tidak bisa berbohong, selama getaran itu masih ada, aku terus memikirkannya. Bahkan keluargaku langsung menyetujui hal ini begitu saja karena sebelumnya suamiku memang sudah kerumah dan bilang ke mereka tentang rencananya. Aku ingat betul bagaimana Ina dengan heboh menyambutku ketika aku pulang ke Indonesia. Dan dia langsung heboh begitu aku menunjuknya sebagai bridesmaid.
"Iya. Untung aja aku jomblo, padahal banyak loh bule eropa ganteng." Suamiku malah mengecup pelan puncak kepalaku.
"Aku juga jomblo loh selama itu, padahal banyak banget cewek cantik." Semoga dan semoga sifat playboynya tidak menurun kepada Dyo dan Gia. Tapi menurutku sih tidak, toh dia seperti itu juga gara-gara mencari pelampiasan.
"Iya-iya aku tahu kamu fans nya dimana-mana." Kataku dengan datar.
"Oh ya.." Dia lalu membalik tubuhku. "Kemarin istri Tino melahirkan." Aku membulatkan mataku dan langsung memukul lengannya pelan.
"Kok kamu baru bilang sekarang sih?!" Kataku, dia hanya terkekeh. "Kita udah rencanain liburan ini dari sebulan yang lalu. Aku gak mau hal ini batal lagi karena berhubung jadwal aku sama kamu bentrok terus. Lagian aku juga pusing ngurusin pekerjaan, tiap hari ngeliat gambar rancangan aku tuh bikin pusing sendiri."
"Kan gambaran kamu, kok kamu yang pusing?" Dia hanya terkekeh lalu mengedikkan bahunya.
"Lagian aku udah bilang ke Tino sama istrinya. Kata mereka gak apa-apa asal kita bawain mereka oleh-oleh yang banyak." Aku langsung mengangguk.
"Bagus deh kalo gitu."
"Udah ya? Jangan mikirin yang macem-macem. Apa perlu aku bawa mic kesini terus nyanyi kayak Shane Filan?" Duh mulai kan anehnya kumat.
"Nggak usah."
"Loh kenapa? Suara aku masih bagus kok." Iya bagus banget, sampai bahkan dia ditawari membuat album.
"Yaudah kita nyanyi Everglow aja biar kayak langitnya." Katanya lalu duduk diselimut yang sudah aku taruh dihadapan kami. Aku mengikuti untuk duduk disebelahnya dan menyenderkan kepalaku ke bahunya.
"Info aja nih ya, nama langitnya itu Afterglow bukan Everglow." Kataku yang dia balas dengan kekehan. Ketawa mulu dari tadi.
"Iya. Ayok kita liat Afterglow sambil nginget kamu waktu ngikutin aku diem-diem."
"Gak usah dibahas deh." Kataku dengan ketus.
"Loh kenapa? Kalo kamu gak kepo kita gak bakalan ketemu loh."
Aku hanya terdiam. Membayangkan kembali kejadian waktu itu. Kejadia yang benar-benar memutar balikkan kehidupanku. Ah kan jadi rindu masa-masa SMA.
"Wah udah mulai sunset. GIA!! DYO!!! KESINI WOY!!!" Teriaknya yang membuatku menggeleng pelan. Dari dulu sampai sekarang tidak pernah berubah, kedua anak kami berlari menghampiri kami lalu ikut nimbrung bersama kami.
"Mau papa ceritain gak awal pertemuan mama sama papa?" Kedua anak kami mengangguk dengan antusias. Walaupun jika suamiku sudah marah dan wajah dinginnya muncul membuat anak kami langsung ngibrit ketakutan, tapi tetap saja dia menjadi panutan untuk anak kami. Apalagi jika sikapnya yang hangat seperti ini muncul. Gia memang memiliki wajah yang cenderung mirip dengan suamiku, namun bisa aku jamin sifatnya sebelas dua belas denganku, sedangkan Dyo memang benar-benar versi kecil suamiku. Dari wajah, sifat, bahkan kesukaannya.
"Tenang aja, aku ceritain bagian bagusnya aja." Katanya lalu mengacak pelan rambutku.
"Jadi kami itu ketemu waktu pulang les, terus langitnya hampir kayak gini. Nanti kalian tahu deh langitnya kayak gimana bentar lagi. nama langitnya tuh Afterglow...."
Aku tersenyum mendengarnya.
Aku tidak pernah membayangkan kami akan seperti ini. Jika memang Filando ditakdirkan untukku, bukankah ini semua sudah merupakan jalan yang dipilihkan Tuhan untuk kami?
-END-
05/07/2017
Don't copy my story!
Vomment ya ^ ^
Makasih yo guys, sampai berjumpa di karyaku yang lain ya ^ ^
KAMU SEDANG MEMBACA
Afterglow [Completed✔]
Teen FictionVisi sangat senang ketika ia mengetahui akan mengikuti bimbingan belajar di luar sekolah. Baru saja hari pertama dirinya sudah dibuat heran sekaligus penasaran dengan seorang cowok yang selalu menunduk sambil memainkan ponsel. Filan, cowok itu terli...