Three : The House

1.3K 107 1
                                    

Aku dapat melihat cahaya redup datang dari ruangan itu. Aku memberanikan diri untuk memasukinya.

Kosong. Tidak ada siapa-siapa di sini. Seingatku, cahaya di ruangan ini tidak seterang ini dibanding tahun lalu. Walaupun redup tetapi cahaya yang sekarang lebih terang dibanding tahun lalu. Berarti aku benar. Ada orang yang masih tinggal di sini. Aku meraba-raba dinding pada seluruh ruangan. Gagang pintu kecil. Aku dapat merasakannya. Aku tidak berani untuk membukanya karena aku tahu pasti ada orang di dalam ruangan kecil itu.

Terdengar suara siulan yang semakin mendekat. Aku mematikan sumber cahaya itu lalu bersembunyi di balik potongan kayu yang cukup besar. Suara siulan itu terdengar semakin mendekat dan mendekat hingga akhirnya, ia berada di ruangan sempit yang sama denganku.

Aku menutup mulutku dengan tangan. Sesekali aku mengintip di balik potongan kayu yang tebal dan berdebu. Orang itu adalah lelaki bertubuh besar dan hanya memakai kaos tanpa lengan berwarna putih tetapi sudah kotor dan terdapat bercak darah sambil membawa pedang yang tajam. Lelaki itu mengeluarkan kunci dari saku celana lalu memasukannya ke dalam lubang kunci pada pintu kecil itu. Ruangan mencurigakan itu terbuka. Ia menyalakan lampu dari dalam ruangan dan aku dapat melihat jelas tulisan 'Warren' yang kupikir itu adalah nama dari lelaki menyeramkan itu.

Ia menutup pintu ruangan. Aku mengambil kesempatan ini untuk pergi dari rumah ini. Aku berhasil ke luar dengan selamat. Aku memutuskan untuk kembali ke rumah.

Aku melihat amplop bercap lambang kerajaan Arabella. Aku segera membukanya lalu membaca surat itu.

Untuk: Scars

Maaf aku baru membalas surat-suratmu. Maafkan aku, aku belum sempat mengunjungimu. Aku juga sedemikian rindunya kepadamu, Scars. Aku tahu kau merasa kesepian tapi ingatlah saat kau merasa tidak punya siapa-siapa lagi, lihatlah ke langit. Kita masih memandangi langit yang sama. Bintang-bintang yang sama. Dan setidaknya wilayah yang hampir sama. Aku tidak akan menanyakan kabarmu karena aku percaya bahwa kau bisa menjaga dirimu. Kau adalah seorang yang pemberani dan bertekad walau terkadang kau terlalu bersemangat dan menyebabkan hal bodoh terjadi.

Aku baik-baik saja di sini. Mason dan yang lain juga sama sepertiku, baik-baik saja. Aku akan datang mengunjungimu, Scars Rose. Secepat mungkin. Walaupun namamu Scars, bukan berarti aku ingin melihatmu terluka.

Adelio Landon.

Akhirnya. Surat untukku dari Landon bukan untuk ibuku. Tetesan air mataku membasahi kertas berisi tulisan tangannya. Hanya karena batas wilayah bodoh itu. Hanya karena peraturan bodoh itu. Mungkin mereka sengaja tidak mengirim Landon ke hutan untuk berpatroli karena mereka senang melihatku semakin tersiksa dengan rasa kesepian yang tumbuh semakin besar dalam diriku.

Aku menempelkan surat darinya pada dinding kamarku. Scars. Aku selalu berfikir mengapa ibu memberiku nama Scars. Dalam Bahasa Inggris, Scars adalah luka yang berjumlah banyak. Mungkin ibu selalu merasa terluka karenaku. Masa bodoh dengan namaku. Yang kuinginkan sekarang adalah bertemu dengan Landon.

Sampai sekarang, belum ada satupun orang yang kukenal selain Goso mengunjungiku. Aku merindukan mereka. Landon, Mason, Yuan, Kei, Alastair, semuanya. Bahkan aku merindukan ibuku. Ke mana ibu pergi? tidak ada yang tahu. Aku hanya dapat duduk di atas sofa memandangi salju yang mulai berjatuhan memeluk kedua kaki karena aku merasa dingin dan hampa. Hanya ditemani dengan Ivory. Jika Ivory bisa berbicara, aku akan merasa lebih bahagia.

"Scars? Apa yang kau lakukan? Scars yang kukenal akan mencari cara apa pun itu resikonya!"

Ternyata aku terlelap di atas sofa. Suara dalam mimpi itu adalah suara Alastair. Aku dapat mengenal suara khas-nya. Scars yang ia kenal akan mencari cara apa pun itu resikonya. Tidak. Itu bukanlah Scars. Itu adalah hooded archeress. Aku menutup pintu rumah mengetahui salju mulai memasuki rumah. Aku pun memakai mantel lusuh milik ibuku. Dingin. Itu yang kurasakan sekarang.

Tiba-tiba, Goso mengetuk pintu rumahku. "Kau butuh mantel yang lebih layak pakai. Ini pemberian raja." Katanya sambil memberikanku sebuah mantel tebal dan bagus berwarna cokelat. "Terima kasih, Goso." Kataku sambil menerima mantel itu. "Aku tahu kau pasti kesepian. Apakah kau keberatan jika aku mampir di sini dulu?" tanyanya. Aku mengangguk.

"Raja sangat khawatir padamu, Scars dan kau perlu tahu itu. Begitu juga dengan Mason. Hampir setiap hari ia menanyakanku tentang kabarmu. Mereka orang-orang baik jangan salah sangka." Katanya. "Jika mereka memang khawatir, lalu mengapa mereka malah membiarkanku di tengah hutan?" tanyaku. Goso pun menghembuskan nafasnya dengan berat.

"Yah, kau tahu alasannya." Katanya. Tentu saja aku tahu. Aku hanya ingin menanyakan itu siapa tahu ada alasan lain. "Kau bisa saja pergi ke perbatasan untuk mengobrol bersamaku kapanpun yang kau mau. Jika kau merasa bosan, aku bersedia. Aku juga bosan hanya berjaga di perbatasan untuk menjagamu," Tawarnya. "Terima kasih. Aku akan memikirkan hal itu dulu." Jawabku ragu.

Scarlett (Book Two) : Winter SoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang