Ten: Megan

961 94 0
                                    

"Jullie akan memujiku jika aku membawakannya kepalamu," katanya lagi. Aku memutar kedua bola mataku. Bodoh sekali. Memangnya aku akan membiarkannya memisahkan kepalaku dari tubuhku begitu saja?

Warren membawa kapak genggam. Ia langsung berlari ke arahku sambil mengayunkan kapaknya. Aku berhasil menghindarinya. Ia terlihat kesal dan dipenuhi gairah untuk membunuhku. Satu hal yang perlu ia ketahui adalah—kita harus memikirkan matang-matang tentang apa yang akan kita lakukan. Sepertinya Warren lebih menggunakan kebencian dan gairahnya dibandingkan kepalanya untuk berpikir.

Aku mengeluarkan sebilah pedang kecil dari saku khusus yang kusangkutkan pada pahaku. Warren dengan ganasnya memberikanku serangan bertubi-tubi menggunakan kapaknya. Aku berhasil menghindari segala serangan darinya tetapi aku juga harus balas menyerang karena ia semakin mengerikan.

Saat ia berfokus untuk menyerangku, aku menancapkan pedangku pada bahunya. Ia tidak berpikir bahwa aku juga akan balas menyerang. Mungkin aku terlihat lemah di matanya. Ia meringis kesakitan. Aku memanfaatkan kesempatan ini untuk lari sejauh mungkin darinya. Aku berlari ke arah perbatasan karena ada Goso dan penjaga lain di sana sehingga ia tidak bisa membunuhku.

Warren terus mengejarku tanpa memikirkan hal itu lagi. Larinya sangatlah kencang. Ia hampir dapat meraihku. Aku bukanlah orang yang pandai dalam hal berlari apalagi salju yang menebal membuatku dapat tergelincir kapan saja.

Warren berhenti berlari dan menjerit kesakitan. Aku melihat ke arahnya. Sebilah pisau menancap pada kedua betisnya.

"Apa kau baik-baik saja?" Tanya seorang anak perempuan di belakang Warren.

Aku tidak menjawab dan langsung menghampiri anak itu lalu mengajaknya berlari bersamaku. Gadis itu tidak berkata apa-apa dan hanya mengikutiku berlari.

Nafasku tidak beraturan. Walaupun di luar sangatlah dingin, aku tetap saja berkeringat. Kami berhenti berlari saat kami berada di depan rumah Landon. Aku mengajaknya untuk masuk ke dalam rumah itu. Gadis itu menurut.

***

"Jadi.. siapa namamu?" tanyaku setelah membuat api unggun.

"Namaku Megan," jawabnya. Matanya tertuju padaku seakan-akan hanya ada aku di hadapannya.

"Terimakasih sudah membantuku," kataku.

"Bukankah kamu yang mereka sebut the hooded archeress itu?"

Aku menggigit bibir bawahku. Kukira orang-orang sudah melupakan julukan itu.

"Itu satu tahun yang lalu," jawabku pelan.

"Jadi kau benar-benar ada! Kau keren sekali! Aku tidak menyangka dugaanku benar!"

Megan tersenyum lebar. Matanya berbinar dan wajahnya memerah.

"Wajahmu memerah,"

"Wajahku memerah setiap kali aku merasa sangat gembira dan bersemangat,"

Ia tidak melihat ke arah lain selain ke arahku. "Apa ada yang pernah memberi tahumu bahwa matamu itu sangatlah indah? Rambutmu tebal dan panjang! Aku selalu ingin memiliki rambut seindah punyamu. Oh, iya, kudengar kau sangat ahli dalam memanah? Bisakah kau ajari aku? Aku sangat ingin menjadi sepertimu! Ajari aku!" katanya dengan penuh semangat.

Ia terus memujiku tanpa henti. Aku tidak suka pujian. Itu membuat manusia menjadi sombong. Mendengar orang memujiku hanya akan membuatku merasa bersalah dan tidak pantas.

"Um.. Megan.. apa kau punya tempat tinggal?" tanyaku.

"Tentu saja aku punya. Aku tinggal bersama ayahku. Kami berdua sangat mengidolakanmu, loh!" jawabnya riang.

"Oh iya! kenapa orang itu mengejarmu? Apa kau mengenali mereka juga?" Tanya Megan.

Aku menaikkan alisku. Sepertinya Megan tahu orang itu.

"Kau kenal Warren?" tanyaku.

"Aku tahu dia bekerja sama dengan Jullie," jawabnya.

Aku terdiam sejenak. Baru saja aku membuka mulutku, Megan memberi tahuku tentang Jullie.

"Aku tahu si penjual kue itu. Kalau kau memerhatikannya lebih teliti, ia terlihat mencurigakan. Apa kau tahu? Aku pernah melihatnya menusuk perut seorang wanita pelayan istana. Wanita itu adalah kakakku. Awalnya aku dan ayah berniat untuk melaporkan Jullie tetapi kita tidak memiliki bukti yang kuat," jelas Megan panjang lebar. Ia seakan dapat membaca pikiranku yang baru saja akan bertanya.

Intonasinya merendah dan matanya kian meredup saat ia membicarakan kematian kakaknya. Aku mengusap rambut pirangnya dengan perlahan. Kejadian itu belum lama terjadi. Aku yakin ia masih merasakan duka.

"Dengar, Megan, kau sudah membuat dirimu dalam bahaya," kataku meyakinkannya.

"Ya, ya, aku tahu. Dengar, hooded archeress, kau sudah membuat dirimu terdengar seperti nenekku!"

"Nenekmu? Aku masih muda, tahu! Dan namaku adalah Scars!"

Megan tak kuasa menahan tawanya. "Kak Scars, walaupun aku masih berumur lima belas tahun, ayahku sudah mengajariku untuk membela diri sejak aku kecil. Memangnya aku terlihat seperti gadis bodoh yang mudah disentuh orang lain?" katanya.

Menurutku dia tidak terlihat bodoh. Ia terlihat seperti gadis lima belas tahun yang sangat polos dan riang.

"Ya, kau terlihat bodoh," balasku.

Megan menatapku kesal sementara aku menahan tawaku.

Aku bangkit dari tempat dudukku lalu membuka pintu rumah. "Pulanglah, Megan. Ayahmu pasti mencarimu," kataku.

Megan merengut dan menyilangkan kedua tangannya.

"Aku akan mengantarmu,"

Dengan malas, Megan meluruskan kakinya lalu berdiri. Kami berjalan berdua menuju rumah Megan.

Scarlett (Book Two) : Winter SoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang