13: The Day

909 86 0
                                    


Megan memberiku tepukan tangannya dengan semangat. "Siapa Landon?" Tanya Megan kemudian. Aku mengusap kepala Megan dengan pelan lalu menjawab, "Temanku."

Jawabanku berhasil membuat Megan kebingungan sekaligus penasaran. Karena itulah aku menjawabnya lagi, "Kita akan bertemu dengannya nanti malam di istana-kuharap."

Megan menganggukan kepalanya. "Omong-omong, aku akan pergi ke desa untuk membeli topeng pesta dan keperluan lainnya. Kuharap kau bisa ikut," kata Megan.

Aku mengusap kepala Megan untuk yang kedua kalinya. "Berhati-hatilah, Megan," kataku pelan. Ia mengangguk.

Aku berjalan kembali ke rumah Landon sendirian karena Megan sudah pergi ke desa untuk membeli keperluan untuk pesta dansa nanti malam. Aku memutuskan untuk melatih beberapa gerakan bela diri karena jujur saja meskipun aku pandai dalam memanah, aku tidak begitu lincah jika berkelahi dalam jarak dekat dengan tangan kosong. Pukulan tanganku bahkan tergolong lemah dan aku tidak pernah menggunakan kakiku untuk melukai lawan. Kurasa aku harus belajar banyak dari Megan. Pukulannya waktu itu lumayan keras.

Aku melirik pada jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 11.10 dan Megan belum juga kembali. Sudah tiga jam lamanya sejak Megan pergi. Kuharap tidak ada masalah.

Aku memanjat pohohn sycamore di tempat yang dulu aku dan Landon namai crimson. Sudah lama aku tidak mengunjungi tempat ini. Crimson adalah tempat aku dan Landon bertemu untuk yang pertama kalinya. Hal favoritku tentang tempat ini adalah dua batang pohon besar yang tumbuh menyilang selain pohon sycamorenya yang sering aku panjat. Mengingat hal itu semua membuatku berpikir apakah Landon masih mengingat tempat ini.

Tidak kusadari ternyata aku tertidur di atas dahan pohon sycamore. Aku langsung bergegas turun dari pohon dan berjalan ke rumah Landon karena mungkin Megan sudah menungguku.

"Di sini kau rupanya!" seru Megan yang berdiri di belakangku.

Aku menoleh ke arahnya yang terlihat kesal. Aku hanya terkekeh melihat ekspresinya.

"Apa yang kau lakukan? Sekarang sudah pukul empat sore dan pestanya akan dimulai dalam dua jam! Ayo cepat pulang!" omelnya.

Aku membelalak. "Sudah berapa lama aku tertidur di sini?" tanyaku.

Megan memutar kedua bola matanya dan langsung menarik tanganku, memaksaku untuk jalan.

"Bagaimana kau tahu aku ada di sini?" tanyaku sambil berusaha melepaskan genggaman tangan Megan.

"Mudah saja. Aku mengikuti jejak kaki di atas salju," jawabnya.

Aku mengangguk perlahan. Setelah beberapa menit, Megan akhirnya melepaskan tanganku.

Megan memasuki rumah lebih dulu daripada aku. Ia terlihat sangat bersemangat seperti biasanya. "Kau bersihkan dulu tubuhmu. Aku sudah menyiapkan air hangat untuk mandi. Yah, kuharap airnya masih hangat," katanya. Aku hanya mengiyakan. Sejujurnya, aku masih merasa setengah sadar.

Setelah mandi, aku mengenakan terusan berlengan panjang berwarna abu-abu. Aku dan Megan memutuskan untuk tidak mengenakan gaun dari rumah karena salju yang cukup tebal di luar. Kami tidak mau gaun kami kotor dan rusak terkena salju. Usai berpakaian, Megan menarikku ke luar kamar dan menyuruhku untuk duduk di atas sofa. "Aku akan melakukan sesuatu dengan rambutmu." Sambungnya.

Ia meraih kantung belanjanya dan mencari-cari sesuatu. "Tenang saja. Aku pandai dalam menata rambut dan wajah," katanya. Aku hanya diam dan menuruti perkataannya. Aku dapat merasakan Megan menyisir rambutku dan mengepangnya. Ia juga menyematkan beberapa pin rambut yang baru saja ia beli.

Setelah menata rambutku, ia merias wajahku. Ia menyapukan make up tipis pada wajahku seperti bedak, perona, dan mascara. Untuk sentuhan terakhir, Megan menyapukan kuas yang sudah ia celupkan ke dalam pewarna bibir dalam wadah bulat yang bewarna merah.

Setelah satu jam lamanya, Megan selesai mendadaniku. "Selesai! Kau terlihat sangat cantik!" katanya sambil terus menatapku. Aku bergegas pergi ke kamar dan melihat pantulan diriku pada cermin kamar. Rambut yang ditata dan wajah yang dipoles benar-benar seperti bukan diriku. Aku bahkan hampir tidak mengenali diriku. "Um.. Megan.. apakah ini tidak terlalu berlebihan?" tanyaku ragu.

"Tentu saja tidak," jawab Megan sambil menyapukan bedak pada wajahnya.

Aku hampir lupa. Seharusnya aku sudah memberitahu Megan tentang tujuanku sebenarnya mengikuti pesta itu. Tapi sudah kuputuskan. Megan harus tahu tentang apa yang sebenarnya terjadi meskipun aku telat memberitahunya.

"Megan," panggilku pelan.

"Ya?" jawab Megan.

"Bisakah aku berbicara sebentar? Ini sangat penting." Sambungku.

"Tentu saja," kata Megan yang kemudian menutup kotak perona wajahnya.

Aku duduk di depan Megan dan mulai bercerita tentang apa yang kuketahui. Aku tidak memberitahu Megan bahwa aku adalah putri raja karena kurasa saat ini bukanlah saat yang tepat untuk itu. Aku hanya memberitahunya tentang Jullie yang pernah menculikku dan rencananya meracuni orang lain dengan kue buatannya di pesta nanti. Aku meminta Megan untuk berhati-hati dalam memilih makanan di pesta nanti.

Megan tidak marah padaku. Ia hanya menganggukan kepalanya tanda mengerti situasinya.

"Sebaiknya kita berangkat sekarang," kata Megan usai aku bercerita. Aku mengangguk setuju. Sebelum berangkat, aku meminta Megan untuk membawa beberapa senjata berukuran kecil agar dapat disembunyikan dalam pakaian untuk berjaga-jaga.

Kali ini, aku mengajak Ivory pergi bersamaku dan Megan. Megan sangat bersemangat dalam menunggangi kuda. Ia berkata bahwa dalam hidupnya baru sekali ini ia menunggangi kuda. Aku hanya tersenyum menanggapi perkataan Megan.

Saat kami hampir tiba di perbatasan, aku menarik tali yang terhubung pada dagu Ivory sehingga ia menghentikan langkahnya. "Kenapa?" Tanya Megan. "Para penjaga itu pasti akan membiarkanmu lewat tapi tidak denganku,"jawabku. Aku benar-benar lupa akan hal itu.

----

HAPPY 1K!!!

Makasih atas dukungan dari kalian <3

With sincere thanks, 
Val.

Scarlett (Book Two) : Winter SoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang