20 : Help(2)

884 85 0
                                    


Scarlett's Point of view

Takut.

Itu adalah hal pertama yang kurasakan ketika aku terbangun di sebuah ruangan kecil yang gelap. Tubuhku menggigil karena kedinginan. Mereka mengambil mantelku.

Dengan kaki yang gemetar, aku berusaha untuk berdiri. Setelah beberapa kali terjatuh, akhirnya pada percobaan ke-12, aku dapat berhasil berdiri. Aku mulai berjalan mengelilingi ruangan yang bahkan lebih kecil dari kamarku ini sambil meraba dinding-mencari saklar lampu.

Aku yakin bahwa aku sudah mengelilingi ruangan ini sambil meraba dindingnya lima kali lebih dan tidak menemukan saklar lampu. Aku pun melihat ke langit-langit dan baru kusadari, tidak ada lampu di dalam ruangan ini. Aku tidak menemukan lampu, tetapi aku menemukan tangga yang sepertinya dapat membawaku ke luar dari ruangan yang kelihatannya seperti ruangan bawah tanah.

Dengan perlahan, aku memanjat tangga itu. Aku hampir tidak dapat melihat karena tidak ada pencahayaan sedikitpun pada ruangan ini.

Saat aku hampir sampai, seseorang membuka pintu yang terletak di atas kepalaku. Aku mengerjapkan mataku, berusaha menyesuaikan karena cahaya yang terang.

"Kau sudah bangun rupanya," ucap sebuah suara yang kukenal. Siapa lagi kalau bukan Jullie?

Aku menghela napasku berat. Aku sudah lelah berurusan dengannya.

"Naiklah," perintahnya.

Untuk menghindari pertikaian, aku menuruti perkataannya. Aku pun melangkahkan kakiku menaiki beberapa anak tangga yang membawaku keluar dari kegelapan ini.

Jullie langsung menutup pintu yang berada di atas lantai kayu. Aku duduk tidak jauh dari letak pintu ruang tersembunyi itu karena kakiku terlalu lemah untuk menopang tubuhku.

"Apa yang akan kau lakukan sekarang? Membunuhku?" tanyaku sinis.

Jullie menyilangkan kedua tangannya di depan dadanya lalu menyandarkan punggungnya pada dinding. Ia melihat ke sudut ruangan beberapa saat sebelum akhirnya menatapku.

"Tidak. Aku tidak sekejam yang kau pikirkan," jawabnya.

Aku memutarkan kedua bola mataku. Bagaimana bisa ia berbicara seperti itu padahal ia sudah menghancurkan hidupku?

"Lalu apa yang kau inginkan dariku? Apalagi yang akan kau ambil dariku?"

"Aku hanya mencegahmu mengambil tindakan yang mengungkap diriku sebenarnya,"-Jullie menghela napasnya-"Rose, dengar, suatu hal yang perlu kau ketahui, setiap orang mempunyai keinginan-dan dari keinginan itu, mereka akan melakukan segala cara untuk mendapatkannya. Begitu pula dengan kau dan aku. Kau menginginkan hidupmu yang seharusnya dan aku ingin kau gagal dalam mencapainya."

Telingaku terasa panas mendengar kalimatnya barusan. Menyebalkan. Sungguh menyebalkan. Apa yang dikatakannya itu benar dan berhasil membuatku kesal.

"Kenapa kau ingin aku gagal? Bukankah aku memiliki hak untuk berjuang dalam mendapatkan apa yang kumau? Kau telah mengambil milikku dan aku akan merebutnya kembali,"

Kukira Jullie akan marah padaku, tetapi ia hanya menatap kosong pada sudut ruangan.

"Aku tahu," katanya pelan, hampir tak terdengar.

"Biarkan aku pergi. Kau tadi bilang bahwa kau tidak sejahat yang kukira. Buktikan itu dengan melepaskanku,"

"Tidak bisa,"

"Apa maksudmu tidak bisa?"

"Apa kau serius? Apa kau benar-benar berpikir bahwa aku akan melepaskanmu begitu saja hanya karena aku terlihat menyesal?"

Aku terdiam sejenak untuk berpikir. Tepat seperti dugaanku, ia merasa sedikit menyesal atas perbuatannya-dan aku mengambil kesempatan ini untuk membuatnya semakin menyesal. Persetan dengan menghindari pertikaian! Aku tidak akan diam saja.

"Kau sudah melibatkan Diana dalam hal ini. Kau jelas-jelas paham, kan? Diana atau anak semata wayangmu itu berada dalam masalah sekarang,"

"Hentikan-"

"Apa kau ingat wajah ibuku saat kau mencekiknya hingga mati?"

"Rose, hentikan,"

"Bagaimana dengan kakakku yang kau sembunyikan? Apa kau mempunyai hobi membantai suatu keluarga?"

"Scars-"

"Tentu saja kau mengetahui Raja Jorge, bukan? Beliau adalah ayahku dan kau adalah 'teman' semasa kecilnya. Bagaimana kau akan menatapnya saat beliau tahu dirimu yang sebenarnya?"

"Scarlett Rose! Hentikan!"

Jeritannya berhasil membuatku terdiam-dan kalimatku berhasil membuatnya merasa ketakutan.

"Kau terus berjuang untuk mencapai tujuanmu, begitu pula denganku. Aku tidak bisa menghentikanmu dan kau tidak bisa menghentikanku." Jullie membanting pintu kamar dan menguncinya dari luar. Meskipun aku berhasil memojokkinya, tetapi aku tidak merasa lega sedikit pun.

Aku tidak tahu apapun mengenai tempat ini. Jullie mengurungku di dalam ruangan beralaskan kayu yang besarnya sama seperti kamarku hanya saja, tidak ada kasur dalam kamar ini. Sebenarnya ada berapa rumah yang Jullie miliki? Wanita itu memang penuh dengan kejutan. Aku ingin sekali untuk pergi dari sini, tetapi tubuhku menggigil dan kurasa, aku tidak kuat untuk melakukan perlawanan. Aku hanya terduduk sembari memeluk kedua kakiku di sudut ruangan sambil merasakan pipiku yang mulai basah karena air mataku berjatuhan kembali.

Aku benar-benar butuh bantuan.

Scarlett (Book Two) : Winter SoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang