Bonus Chapter: Winter (2)

485 28 8
                                    

Belum ada jejak lain kecuali sisa perbekalan di hutan. Api unggun yang baru dimatikan dan tulang ikan yang membeku di atas salju. Kami membagi tugas untuk berpencar. Tim Lilac pergi ke arah barat.

Hari ini turun hujan salju. Seluruh hutan dihiasi warna putih yang bersih. Salju yang tebal menimbun tanah sehingga kami berjalan lebih lambat dari biasanya. Kakiku mati rasa setelah berjalan lama meskipun sudah dilindungi dengan sepatu bot yang tebal. Kalau saja aku tidak mengenakan sarung tangan, telapak tanganku mungkin sudah beku sekarang.

"Ini tidak mungkin," ucap Ghafa. "Hujan saljunya mengganggu pandangan dan kita bisa mati kedinginan kalau begini."

"Tapi petunjuk yang kita temukan itu merupakan tanda kalau si pencuri tidak jauh dari sini," balas yang lain.

"Apa tidak sebaiknya kita mundur dulu?"

"Aku rasa pencuri itu juga pasti sedang mencari tempat untuk berteduh. Tidakkah itu bagus? Itu artinya mereka tidak akan bepergian jauh," sahutku sebelum Ghafa memulai perselisihan.

Yang kusukai dari Tim Lilac adalah kami tidak mudah menyerah. Yah, sebagian besar dari kami pantang mundur. Aku tahu betul karakter rekan-rekanku. Pernah sekali Ghafa meminta untuk kembali saat hujan deras padahal penculik yang kami incar sedang berlari di depan mata. Usulan Ghafa itu menimbulkan keributan pada tim kami. Akhirnya, Landon dan Yuan berlari mengejar si penculik dan berhasil menangkap mereka. Setelah misi selesai dan semua pulang dalam keadaan selamat, Ghafa diberi hukuman oleh Landon.

"Ada apa, sih, denganmu? Kau selalu saja ingin mundur saat ada gangguan kecil. Apa kau benar-benar niat menjadi kesatria?" omel Jason sambil menepuk pundak Ghafa dengan kasar.

"Bukan begitu. Aku hanya khawatir pada kondisi kalian. Apa kalian masih kuat?"

Landon menghentikan langkahnya. Ia mengangkat telapaknya dan membentuk kepalan. Tubuhnya berputar ke arah kami. Kakinya melangkah ke dalam barisan dan berhenti di depan Ghafa. Ia menatapnya lekat-lekat. "Kau meragukanku?"

Ghafa menelan ludahnya sebelum menjawab, "Ti—tidak. Aku hanya peduli—"

"Apa kau melupakan sumpahmu sebagai kesatria?"

"Tidak,"

"Kalau kau masih takut mati, lebih baik kau kembali kepada ibumu." Landon mendorong Ghafa sampai terjatuh. Ia menatapnya lagi sebelum kembali berjalan.

Aku belum pernah melihatnya semarah ini. Tatapan matanya begitu intens dan dahinya mengerut. Suaranya penuh dengan kebencian terngiang-ngiang di kepalaku bagaikan mantra yang akan membunuhku. Ia memperlebar langkahnya sambil berseru kalau kita harus bergerak lebih cepat.

Suasana di antara tim jadi berbeda. Aku dapat merasakan ketegangan yang membuat pencarian ini semakin dingin. Kesatria lain yang berbaris di belakangku tidak berhenti membisikkan kata-kata umpatan dengan penuh penghayatan. Kalau saja Landon mendengarnya, ia pasti akan murka.

Lagi-lagi Landon menghentikan langkahnya. Ia melihat ke samping seperti orang kebingungan.

"Pasang telinga kalian. Tidak mungkin kalau hanya aku yang mendengar suara itu," katanya kemudian.

Tak lama setelah ia mengatakan itu, sebilah pisau menancap pada batang pohon tepat di samping Landon. Refleks, kami menyebar dan bersembunyi di balik pohon.

Pisau menancap pada batang pohon tempatku bersembunyi. Landon yang melihat itu langsung mengarahkan busur panahnya pada arah datangnya pisau itu dari balik pohon. Namun, dia tidak menembakkan anak panahnya karena salju membatasi penglihatan kami.

"Aku tidak bisa melihat apa-apa!" seru Landon frustasi.

"Aku juga. Apakah kita akan terus bersembunyi seperti ini?" tanyaku.

Scarlett (Book Two) : Winter SoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang