17: The Voices

911 92 0
                                    


Jullie memaksaku untuk mengikutinya. Ia membawaku ke belakang tirai agar tidak ada orang yang dapat melihat kami. "Kau kalah dalam segalanya, Scars. Seberapa besar usahamu dalam meyakinkan raja, kau pasti gagal. Aku adalah sahabatnya semenjak kami kecil sedangkan kau bukanlah siapa-siapa." Jullie berusaha untuk membuatku menyerah. Bagaimana bisa aku diam saja dan membiarkan Raja Jorge—ayahku dalam bahaya?

"Aku memang bukan siapa-siapa untuk sekarang, tapi kuharap kau tidak lupa bahwa akulah Putri Scarlett Rose yang sesungguhnya dan Raja Jorge pasti lebih memilih anaknya daripada sahabat yang mengkhianatinya." Aku menatap Jullie dengan tajam. Ia terlihat kesal mendengar perkataanku barusan. Kekesalannya ia salurkan dengan menampar wajahku dengan cukup keras. Belum puas, ia juga mendorongku hingga aku terjatuh dan memukul wajah, tangan, dan kakiku untuk beberapa kali.

"Jadi kau sudah ingat sekarang." Jullie menatapku dingin. Ia terlihat sangat marah sekaligus takut.

"Kau tidak bisa selamanya menutupi kebenaran," balasku sembari membersihkan darah yang mulai mengalir dari ujung bibirku menggunakan tangan kiriku yang tidak terluka.

"Kau terlalu percaya diri," balasnya, tidak mau kalah dariku.

"Bukan seperti itu. Aku hanya ingin kembali ke kehidupanku yang semestinya," jawabku dengan tegas sambil memegangi pipi kiriku yang masih terasa panas. Jullie menatapku dengan tajam sebelum akhirnya meninggalkanku yang masih dalam posisi duduk di belakang tirai.

Aku berusaha untuk berdiri meskipun beberapa bagian tubuhku terasa sakit. "Scars! Apa kau baik-baik saja?" Tanya Megan setelah membuka tirai dan membantuku untuk berdiri.

"Megan? Bagaimana kau tahu aku ada di sini?" tanyaku.

Megan menggigit bibir bagian bawahnya. Ia terlihat ragu untuk membuka mulut. "Sebenarnya... Aku mendengar semuanya. Maafkan aku! Aku ... Seharusnya menolongmu ...," Jawab Megan.

Aku menghela nafasku. "Tidak apa-apa, Megan, ini bukan salahmu." Aku mengusap kepala Megan dengan pelan. Ia terlihat kaget dan takut. "Kita akan bicarakan nanti," tambahku. Megan mengangguk.

Megan membantuku berjalan. Kepalaku terasa pusing karena pukulan Jullie cukup keras. Sepertinya aku tidak bisa tinggal di pesta dansa ini lebih lama lagi.

"Megan, sepertinya lebih baik aku pulang sekarang," kataku pelan. Aku tahu pesta ini merupakan pesta dansa pertama bagi Megan dan ia terlihat sangat gembira. Semua itu dapat terlihat jelas pada kedua matanya yang berbinar dan kedua pipinya yang memerah. Aku sudah merusak pesta dansa pertama Megan dan menyeretnya dalam masalahku dan itu bukanlah cara untuk membalas kebaikannya yang telah menyelamatkanku dari Warren hari itu.

Megan adalah anak yang mudah ditebak perasaannya dan kali ini, aku tidak melihat rasa kekecewaan darinya setelah aku mengajaknya pulang. Ia tetap tersenyum tulus dan mengerti keadaanku. "Tidak apa-apa, kak! Pesta ini sudah lebih dari cukup bagiku," jawabnya.

"Maafkan aku ... ," bisikku pada Megan.

"Hei, bukankah aku sudah berkata tidak apa-apa? Lagipula aku mulai merasa bosan," ujar Megan.

Aku dan Megan berjalan meninggalkan pesta itu—tidak memedulikan tatapan orang-orang. Sepanjang perjalanan, Megan berusaha untuk menghiburku. Aku hanya membalas Megan dengan tawa yang kupaksakan dan sepertinya Megan mengerti bahwa untuk saat ini, semua cerita menariknya tidak bisa menghiburku.

Betapa beruntungnya aku ternyata hanya Goso yang menjaga di perbatasan karena yang lainnya ditugaskan di istana. Aku meminta Goso untuk merahasiakan hal ini dan ia setuju. Malam ini merupakan malam yang sulit bagiku.

Aku memutuskan untuk memberitahu Megan segalanya tentangku. Diawali dari pertama kali aku bertemu Landon hingga bagaimana Jullie menculikku dan aku mengingat kebenaran tentang diriku. Megan adalah orang kedua yang memercayaiku setelah Landon. Ia bahkan memaksa untuk memanggilku dengan sebutan 'putri' tetapi tentu saja aku menolak. Megan terlihat sangat marah dan merasa dibohongi karena selama ini ia mengidolakan Diana, orang yang menyamar menjadi diriku.

Setelah memberitahu Megan segalanya, aku memutuskan untuk tidur dan berharap aku dapat menemukan jalan keluar pada esok hari.

***

Meskipun aku sudah memejamkan mataku, aku tetap terjaga. Tampaknya kegelisahan sedang menguasaiku. Berbeda dengan Megan yang sudah tertidur sedari tadi. Melihat wajah polos Megan yang sedang tertidur semakin membuatku menyesali perbuatanku. Aku tidak ingin Jullie dan yang lainnya melukai Megan.

Rasa penyesalan itu semakin menguasaiku saat aku mendengar suara langkah kaki dari luar rumah. Aku berusaha membangunkan Megan dengan menepuk pundaknya dengan pelan. Untunglah Megan langsung terbangun.

"Siapkan pisaumu. Sepertinya ada orang yang berusaha untuk memasuki rumah ini dengan paksa," pintaku pada Megan dengan suara yang kupelankan. Hari bahkan belum berganti dan masalah baru sudah datang menggangguku dan Megan.

-------------

Hai!

Maaf ya baru bisa update segini dulu karena minggu ini tuh pekan ulangan jadi suka bimbang antara milih belajar atau lanjut. Mohon dimaklumi ya :(

BTW ... spoiler alert!!!!
di chapter berikutnya mungkin bakal diceritain dari point of viewnya Megan. Well, semoga kalian suka!!

terima kasih kalian udah luangin waktu buat mampir ke sini dan kasih vote+comment ...

Stay Awesome!

Val.

Scarlett (Book Two) : Winter SoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang