Five : Memories (edited)

1.2K 106 2
                                    

Ah, surat misterius itu datang lagi. Sepertinya si pengirim tidak tahu bahwa ibuku sudah tidak tinggal di sini lagi. Di surat itu tertulis, Singkirkan yang satu itu! Ia adalah ancaman yang besar. Percayalah padaku! S.R.

Namun kali ini terdapat foto di dalam amplop itu. Foto itu adalah gambar wajahku. Aku yang sedang mengenakan tudung kepala. Jadi ia bermaksud untuk membunuhku. Aku tidak tahu apa yang sedang mereka rencanakan tapi aku harus tetap berhati-hati. "Tampaknya kau sudah membaca surat itu. Tidak sopan. Surat itu kan bukan untukmu,"

Aku menoleh. Suara itu adalah suara ibuku. Di belakangnya tak lain adalah Dexter. "Kurasa kau sudah tahu. Aku tidak akan membiarkanmu begitu saja. Dexter, cepat lakukan," katanya. Dexter berjalan mendekatiku lalu berbisik, "Jika kau melawan, kau akan kubunuh langsung, loh."

Aku ingin melawannya. Aku ingin melarikan diri. Namun tubuhku membeku. Dexter mengikat kedua tanganku dengan tali. Ia menutup kedua mataku dengan kain hitam. Hal terakhir yang dapat kurasakan adalah pukulan yang sangat keras pada tengkuk leherku.

Pemandangan ini lagi. Pangeran Lucas yang kehilangan banyak darah karena kelalaianku. "Kertas ini berisi tentang segalanya yang kau ingin ketahui. Bacalah maka kau akan mengerti. Sekarang aku akan bertemu ibu duluan. Selamat malam, Scarlett Rose," Katanya dengan lemah sambil meletakkan kertas itu pada saku celanaku. Tiba-tiba sekelilingku berubah menjadi hitam dan suara-suara aneh terdengar.

"Uh.. anak malang.. seharusnya aku tidak melakukan ini!"

"Scars?"

"The hooded archer! "

"di mana Scars yang aku kenal?"

"Aku merindukanmu,"

"He-hentikan! Tolong kendalikan emosimu!"

"Kami menyayangimu. Tumbuhlah menjadi pemimpin yang bijaksana, oke?"

"Kenapa harus Rose? Karena aku suka bunga mawar. Terutama mawar merah,"

Suara-suara aneh itu membuat kepalaku sakit. "Hentikan!" jeritku.

"Ah, kau sudah bangun," kata wanita itu.

Suara itu tak lain adalah suara ibuku. Ternyata itu tadi hanya mimpi. Tubuhku terbaring di atas kasur yang berdebu. "Scars, aku ingin bicara," katanya dengan serius. Di samping kananya ada Dexter yang sedang duduk sambil memerhatikanku. Di belakangnya adalah tempat Warren berdiri. "Jadi.. sudah sejauh mana kau tahu tentangku?" tanyanya.

"Maksudmu?" jawabku sambil memegang kepala dengan tangan kananku. Ibu hanya menghela nafasnya.

"Kau ini menyebalkan! Gara-gara kamu semuanya hancur!" omelnya.

"Seharusnya aku yang melemparkan pertanyaan padamu! Ke mana saja ibu selama setahun ini?" balasku. Aku sudah tidak bisa menahannya lagi. Ditambah kepalaku yang terasa pusing membuat amarahku semakin melunjak.

"Jangan panggil aku dengan sebutan ibu!" jeritnya.

Kepalaku semakin sakit mendengar perkataannya. "Tadinya aku ingin mempertimbangkan kamu dulu tapi kau memilih cara ini. Aku tidak akan meminta maaf padamu. Kau itu bukan anakku, dasar bodoh!" sambungnya yang kemudian pergi meninggalkanku. Ia mengunci kamar dan membiarkanku kedinginan di kamar ini.

Aku memegangi kepala dengan kedua tanganku. Meskipun ia mengakui bahwa ia bukanlah ibuku, aku tidak sepenuhnya terkejut. Lagipula apakah ada ibu yang menculik anaknya sendiri lalu membiarkannya mati kedinginan?

Mataku tertuju pada sebuah lemari kayu tua yang ada di pojok ruangan. Aku langsung membuka lemari itu dan berharap ada mantel untuk menghangatkan tubuhku. Yang kutemukan hanyalah sebuah buku berwarna cokelat yang sampulnya sudah berdebu. Aku membukanya lalu membaca tulisan-tulisan di dalamnya. Buku itu berisi tentang kumpulan surat yang ditulis oleh ibuku dan Dexter.

Scarlett (Book Two) : Winter SoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang