25

929 83 0
                                    

Megan's POV

Pagi ini, aku memutuskan untuk pergi mencari udara segar dengan membeli buah-buahan di Desa Arabella bersama Landon. Tentunya aku menolak saat ia ingin ikut bersamaku. Yah, kau pasti tahu pada akhirnya aku setuju untuk ditemani olehnya.

Aku dan Landon berjalan sambil menikmati udara pagi yang ternyata lebih dingin dari yang kukira. Langkah kaki kami di atas salju menimbulkan suara yang sangat menenangkan. Aku selalu menyukai musim ini karena warna putih yang menghiasi seluruh jalanan dan pepohonan memiliki efek yang dapat membuat perasaan menjadi tenang. Hal yang paling kusukai tentang musim ini adalah butiran-butiran salju yang berjatuhan dan bersentuhan dengan kulit. Meskipun dingin, aku menyukainya.

Aroma daging panggang yang menusuk hidung membuatku lapar. Aku melihat ke arah kiri dan kananku. Pria, wanita, anak-anak, mereka sudah bersiap menjual dagangan mereka. Ada yang menjual daging bakar, buah-buahan, sayuran, dan barang bekas. Tempat ini seperti pasar tradisional yang ayah pernah ceritakan padaku.

Perutku mulai mengeluarkan bunyi yang memalukan ketika aku melihat daging ayam yang ditusuk lalu dibakar dan dibumbui. Pipiku merona karena Landon menertawaiku. Landon langung membelikanku satu tusuk daging ayam bakar beraroma yang sangat menggoda. Aku langsung melahapnya.

"Ini adalah pertama kalinya aku merasakan ayam bakar yang dibumbui. Aku tinggal bersama ayahku dan dia tidak pandai dalam hal memasak," kataku setelah menelan daging ayam itu.

"Kau menyukainya?" Tanya Landon penasaran.

"Kurasa aku tidak perlu menjawab pertanyaanmu kau juga sudah tahu," ledekku.

Landon pun terkekeh. "Makanlah sebanyak yang kau mau. Kau boleh memilih makanan yang kau suka," katanya.

"Benarkah?"

"Ya,"

"Terima kasih!"

Landon mengangguk lalu mengajakku untuk berjalan kembali. Memang awalnya aku berencana untuk membeli buah-buahan, tetapi ternyata makanan yang dijual di sini memiliki rasa yang unik dan lezat. Aku bahkan tidak tahu bahwa ayam bakar akan terasa lebih enak jika dicampur dengan perasan lemon.

Aku dan Landon duduk sambil menikmati teh hangat setelah puas membeli makanan. Kami menikmati teh sambil menonton orang-orang yang berlalu-lalang. Ada yang sedang menawar harga pada penjual, ada yang sedang membakar daging, dan ada seorang pria yang wajahnya familiar sedang memilih buah-buahan.

Tunggu dulu.

Pria itu ... tidak salah lagi!

Pria itu adalah orang yang menyerangku pada malam itu!

"Landon kau lihat pria itu? Aku mengetahuinya," bisikku.

Landon langsung memperhatikan orang yang kumaksud sambil mengangguk.

"Apakah bisa kita menggunakannya untuk menemukan Scars?" tanyaku.

"Tentu saja bisa. Kita tunggu ia ke tempat yang sepi terlebih dahulu." Landon meletakkan cangkirnya ke atas meja lalu mengajakku pergi.

"Apa kau punya senjata untukku?" tanyaku sambil memelankan suaraku.

Landon kemudian memberikanku sebuah pedang mini. Aku menerimanya dengan sangat gembira. Ini adalah pertama kalinya aku memegang pedang mini dan aku selalu ingin menggunakannya.

Kami mengikuti pria itu dengan hati-hati agar tidak ketahuan. Ia memasuki sebuah rumah sambil melihat kiri kanan terlebih dahulu. Aku dan Landon langsung mengikutinya dan mengetuk pintu rumahnya. Untung saja rumah itu cukup jauh dari keramaian.

Aku bersembunyi di samping dinding rumah itu sementara Landon mengalihkan perhatiannya.

Pria itu kemudian keluar dari rumahnya dan bertanya pada Landon.

"Ada apa?"

"Ada masalah yang melibatkan dirimu," jawab Landon. Harus kuakui, jawabannya itu sangat brilian!

Aku langsung memukul tengkuk leher pria itu dengan sekuat tenaga sehingga ia terjatuh pingsan.

"Pukulan yang bagus," pujinya.


Sebenarnya aku sedikit kecewa karena aku tidak sempat menggunakan pedang mini itu.


Setelah memohon pada Landon dan yang lainnya, akhirnya mereka memperbolehkanku untuk masuk ke dalam ruangan yang tidak terlalu besar ini. Mereka menyebutnya 'ruangan hukuman'. Di tempat ini lah pria itu akan kami tanyai tentang berbagai macam hal yang perlu kami ketahui.

Pria berkumis tipis itu mulai membuka kedua matanya. Kedua kaki dan tangannya diikat pada sebuah kursi.

"Di mana aku?" tanyanya memecah keheningan.


Mason melangkah lebih dekat ke arah pria itu lalu menjawab, "Istana."

Jawaban singkat dari Mason itu berhasil membuat pria berambut ikal itu putus asa. Ia terlihat pasrah. Mason menatap ke arahku dan memberi kode padaku untuk menanyakan sesuatu padanya. 

"Siapa namamu?" tanyaku.

"Ferro," jawabnya sambil terus memandangi wajahku.

"Sepertinya kau mengingatku,"

"Ya, tentu saja. Megan, bukan?"

Aku berjalan mendekatinya. Tidak sekalipun aku mengalihkan pandanganku darinya. Ia semakin terlihat gugup ketika aku meletakkan tangan kananku pada senderan kursi dan melihatnya sambil memicingkan mataku.

"Katakan sekarang juga—di mana Jullie menyembunyikan Scars?" Aku sudah tidak sabar lagi untuk bertanya padanya meskipun aku tahu ia tidak akan langsung memberikan jawaban.

Sepertinya aku terlalu menaikkan nada bicaraku sehingga suasana menjadi sangat tegang. Landon dan Mason terlihat sangat terkejut dengan perkataanku barusan.

Aku tahu bahwa apa yang akan kulakukan ini akan membuat mereka terkejut dan memarahiku, tetapi aku tidak tahan lagi. Kepalan tanganku mengayun di udara dan mendarat di pipi kanan pria yang bernama Ferro itu. Ia mengerang kesakitan.

"Megan." Mason menggenggam tangan kananku untuk mencegahku memukul Ferro lagi.

"Tenang saja. Aku tidak akan melakukannya lagi," ungkapku sambil melepaskan tanganku dari genggaman Mason.

"Dia... ada di tempat pertama kalian datangi," jawab Ferro.

Aku mengerutkan dahiku. Rumah pertama yang kami datangi itu tidak berpenghuni. Lagipula, bagaimana dia bisa tau kami mendatangi rumah itu kemarin?

"Kau mengawasi kami?" Kini Mason yang melemparkan pertanyaan.

Pria itu mengangguk.

"Jangan berbohong! Rumah itu kosong!" Omelku.

Ferro menghela napasnya sebelum menjawab, "Aku tidak berbohong—dasar keras kepala!"

"Rumah itu memiliki banyak kamar—ada yang terkunci dan tidak. Yang kutahu, Jullie menyembunyikannya di dalam kamar yang ia kunci," lanjutnya.

"Mengapa tidak ada satu orang pun yang menjaga?"

"Kau hanya terpaku pada rumah itu sehingga tidak menyadari keberadaan kami. Jullie sengaja memerintah kami untuk tidak melakukan perlawanan,"

Aku benar-benar membenci wanita tua itu!

"Bisakah kita pergi sekarang? Aku mohon," pintaku pada Mason dan Landon.

Ternyata, bukan hanya diriku yang dibuat kesal. Kedua ksatria istana di belakangku itu juga menunjukkan rasa kesal mereka.

"Aku akan serahkan pria ini pada Winston. Kita pergi sekarang juga." Mason meninggalkan ruangan ini terlebih dahulu. Jujur, mendengar suaranya itu membuatku merinding. Nada bicaranya dingin dan tatapan matanya itu sungguh menakutkan.

Scarlett (Book Two) : Winter SoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang