23

911 85 0
                                    

Megan's point of view

Suara orang yang sedang berbincang membangunkan tidurku. Aku mengerjapkan mataku agar dapat melihat lebih jelas lagi.

"Megan? Apakah suara kami membangunkanmu?"

Aku mengusap mataku lalu menjawab, "ya."

"Maaf,"

Aku mengambil mantel milik Landon lalu mengembalikannya. Ia sedang berbincang dengan Mason dan aku dapat melihat beberapa orang sedang berdiri di luar kedai melalui jendela.

"Tu—tunggu dulu! Sudah berapa lama kalian berada di sini?" tanyaku.

"Sekitar tiga jam? Entahlah. Kami menunggumu hingga kau bangun," jawab Mason.

Aku membelalakan mataku. Bukankah itu berarti mereka melihat wajah tidurku?

Wajahku memanas karena tersipu memikirkan hal itu.

"Kami harus memastikan bahwa kau baik-baik saja." Landon menatapku lalu tersenyum tipis. Aku hanya mengangguk.

"Lalu ... siapa mereka?" tanyaku sambil menunjuk kea rah luar kedai.

"Bawahanku. Raja Jorge memerintahkanku untuk menolong Scars. Meskipun Raja Jorge memberi hukuman, beliau ternyata sangat peduli pada gadis itu," jawab Mason.

Aku menghela napas lega mengetahui aku tidak sendirian.

"Jadi, kita berangkat sekarang?" Tanya seseorang yang terdengar sudah tidak sabaran.

Aku melihat ke sumber suara dan—astaga! Bukankah itu Pangeran Alastair?

"Yang Mulia Pangeran Alastair?"

Pangeran itu berdiri diikuti oleh Landon dan Mason lalu berjalan mendekatiku. Ia berlutut agar tinggi kami sejajar. "Namamu ... Megan?" tanyanya.

Aku mengangguk.

"Apa kau tahu lokasi Scars sekarang?"

Aku mengangguk lagi.

Meskipun Pangeran Alastair tersenyum tipis, senyumannya itu tidak bisa menyembunyikan rasa khawatirnya dariku.

Kedua mataku tertuju pada Landon yang berdiri di belakang Pangeran Alastair. "Kurasa kita harus pergi sekarang," kataku. Landon mengangguk.

Suara entakkan langkah-langkah kuda memenuhi udara pagi di Desa Arabella. Orang-orang mulai berhamburan keluar dari rumah mereka untuk menyaksikan seorang gadis berumur lima belas tahun sedang berkuda bersama para ksatira istana dan juga Pangeran Alastair. Gadis itu adalah aku tentunya. Orang-orang itu tampak penasaran sekaligus tidak percaya. Jujur saja, aku pun tidak percaya bahwa lima belas ksatria dan satu pangeran sedang berkuda di belakangku untuk membantuku. Jumlah kami bertambah satu karena Goso menepati janjinya untuk membantuku.

"Jadi ... bagaimana Pangeran Alastair dapat tergabung dalam pencarian ini?" tanyaku pada Mason yang berada di samping kiriku.

"Pangeran Alastair tidak sengaja mendengar permintaanku pada Raja Jorge dan beliau memaksa untuk ikut bersama kedua ksatria pribadinya," jawabnya.

Kuharap Scars berada di sini sekarang, ia pasti akan merasa senang sekaligus iri. Aku tahu ia menyukai pangeran itu—terlihat jelas dari caranya memandang Pangeran Alastair pada pesta kemarin. Aku semakin bersemangat dalam menolongnya.

"Lalu ... bagaimana Raja Jorge membiarkanku ikut mencari Scars? Bukankah beliau melarang seorang perempuan untuk terlibat dalam perkelahian? Apalagi aku hanyalah seorang gadis berumur lima belas tahun," tanyaku lagi.

"Saat kutanyakan hal yang sama padanya, Raja Jorge tersenyum lalu berbisik, 'Kurasa sekarang waktunya untuk perubahan.' " Mason melemparkan senyumnya padaku.

Jujur, aku merasa senang. Aku yakin Scars juga pasti merasa senang mendengar hal ini.

"Wajahmu memerah," kata Landon.

"Wajahku memerah setiap aku merasa terlalu bersemangat," jawabku.

"Kita telah sampai," kata Landon sambil menghentikan langkah kuda yang ia tunggangi. Mereka semua turun dari kuda sambil mencari tempat persembunyian—sedangkan aku, berjalan langsung mendekati rumah itu.

"Hei, Megan!" seru Landon. Ia berlari menyusulku dan langkah kami terhenti ketika kami sudah berada di depan pintu rumah itu.

"Tunggu sebentar ... kenapa sepi sekali?" tanyaku setelah melihat tidak ada satupun yang menjaga rumah itu.

Para ksatria itu mulai menyusul aku dan Landon satu per satu. Mereka mulai mengelilingi rumah itu.

"Apa yang kau lihat semalam berbeda dengan yang sekarang?" Tanya Mason pada Landon.

Landon mengangguk dan menjawab, "Sepertinya mereka tahu bahwa aku dan Megan sudah menemukan mereka. Kurasa mereka sudah berpindah tempat."

Sementara yang lainnya sibuk mencari-cari jawaban dari pertanyaanku tadi, aku langsung memasuki rumah yang ternyata tidak dikunci itu.

Rumah itu tidak sesederhana yang aku kira. Di dalamnya cukup luas dan terdapat banyak sekali pintu. Aku mencoba untuk membukanya satu per satu. Beberapa di antaranya terkunci—sedangkan pintu yang tidak terkunci adalah pintu dari ruangan yang kosong.

Aku terus memanggil nama Scars sambil berusaha membuka pintu tersebut satu per satu, tetapi tidak ada jawaban darinya. Rumah ini kosong. Aku bahkan tidak menemukan Jullie dalam rumah ini.

"Tidak ada siapa-siapa," kataku setelah aku selesai menelusuri bagian dalam rumah itu.

"Apa kau yakin?" Tanya Landon memastikan.

Aku mengangguk dengan yakin.

"Baiklah, kita harus segera bergerak sebelum mereka pergi terlalu jauh," ujar Mason.

Berjalan tanpa memedulikan dinginnya udara pagi di musim salju ini, lembutnya kepingan salju yang menyerupai bentuk bintang mendarat pada pipi kemerahanku. Aku menengadahkan kepalaku dan melihat pepohonan yang diselimuti salju dan untuk sejenak, aku lupa bahwa kami pergi menyusuri hutan ini bukan untuk berpiknik.

Sudah empat tempat berbeda yang kami ketahui berhubungan dengan Jullie kami datangi. Kami tidak juga menemukan mereka.

Aku terduduk di atas sofa dan menghela nafasku. Kami sedang memeriksa rumah yang Scars tinggali dulu dan ini adalah tempat terakhir yang kami ketahui. Tempat pertama adalah rumah Jullie yang sebenarnya di sebuah desa terpencil dalam hutan ini, yang kedua adalah rumah Landon, dan yang ketiga adalah tempat Jullie menyembunyikan Pangeran Lucas.

Scarlett (Book Two) : Winter SoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang