26

905 79 2
                                    

Megan's pov

Peritiwa itu terulang lagi. Orang-orang yang berhamburan keluar rumah untuk melihat kami. Sebagian besar dari mereka bahkan berlutut setelah melihat Pangeran Alastair.

Landon memanjat pohon yang terletak paling dekat dengan rumah itu, sementara kami menunggu informasi darinya di balik semak yang cukup jauh dari rumah itu agar tidak terlihat.

"Mereka ada di sana. Lima orang di teras depan, lima orang di belakang rumah, tiga di sisi kiri, dua di sisi kanan dan itu berarti Jullie, Dexter, dan Warren ada di dalam," kata Landon.

Mungkin Jullie sudah mengubah pikirannya untuk tidak melakukan perkelahian dengan para ksatria istana karena rumah itu kini dijaga oleh banyak orang.

"Kita tidak mungkin langsung menyerang mereka semua, kan?" tanya Goso.

"Tidak. Lagipula lima di antara kita adalah pemanah—itu berarti jumlah kita tinggal dua belas orang dan kita belum tahu kemampuan mereka," kata Mason. Ia tampak serius kali ini.

Kami asyik menyusun rencana dan menghiraukan dinginnya udara pagi ini. Kami saling mengutarakan usulan—dan usulan Mason lah yang paling mungkin untuk dilakukan.

Kami memutuskan untuk menggunakan cara klasik—pengalihan perhatian. Landon dan keempat pemanah lainnya akan mengalihkan perhatian penjaga bagian depan dan belakang rumah. Kelima ksatria termasuk Goso akan menghadapi mereka yang menjaga sisi kanan dan kiri. Aku, Mason, Pangeran Alastair, dan dua ksatria pribadinya yang akan memasuki rumah itu sementara sisanya membantu di bagian luar.

Landon dan keempat temannya mengatur posisi mereka. Mereka mengambil segenggam salju yang dingin lalu membentuknya seperti bola sebelum melemparkannya ke arah mereka yang menjaga pintu depan. Terdengar konyol memang, tetapi cara itulah yang paling meyakinkan di antara usulan dari yang lainnya

Mereka kemudian dengan cekatan memanjat pohon yang besar dan menyiapkan panahan mereka. Lemparan bola-bola salju tersebut menyebabkan setengah dari mereka berjalan ke arah kami. Aku, Mason, Pangeran Alastair, dan kedua ksatria pribadinya bergegas untuk bersembunyi di balik pohon.

Aku dapat melihat pria berpakaian tipis itu berjalan melewatiku dan sedang mencari sesuatu. Kurasa ia tidak merasa dingin karena tubuhnya yang besar itu.

Aku keluar dari persembunyianku lalu memancingnya untuk mengejarku.

"Hei!" teriaknya.

Teriakan pria sialan itu ternyata memancing dua temannya untuk ikut mengejarku.

Ketiga pria itu berlari lebih kencang dariku. Mereka tidak jauh berada di belakangku. Aku terpaksa untuk membawa mereka jauh dari rumah itu.

Setelah lama berlari, aku pun mulai kelelahan. Mereka berhasil menyusulku dan salah satu di antara mereka mendorongku hingga aku terjatuh.

"Gadis semalam yang kabur rupanya," kata lelaki itu.

Aku menatap ketiganya dengan penuh kebencian. Mereka mulai mengeluarkan senjata mereka, yaitu pedang dan ka—

Tunggu dulu! Kapak? Apa mereka sudah gila?

Aku bergegas untuk berdiri dan merogoh saku terusanku untuk mengambil spray lada, tetapi sepertinya aku sedang sial hari ini karena botol itu terjatuh dari tanganku dan pria yang memegang kapak itu lebih dulu mengambilnya daripadaku.

Aku menggerutu dan mulai mengeluarkan kedua pisau tempur kesayanganku.

Mereka bertiga mulai menyerangku dari tiga arah dan aku cukup kesulitan dalam menghadapi mereka.

"Kami sudah tahu gerakanmu, gadis kecil. Kau tidak bisa menggunakan cara itu untuk yang kedua kalinya,"

Pria yang membawa kapak itu berhasil merebut kedua pisau tempurku.

"Tamatlah ka—"

Sebuah anak panah menembus dada pria itu. Perlahan, ia mulai jatuh tersungkur di atas dinginnya salju. Hal yang sama terjadi pada kedua temannya.

Aku melihat ke belakangku. Landon!
"Terima kasih!" kataku.

"Bukankah kau harus memasuki rumah itu bersama yang lainnya? Cepatlah!" katanya menyemangatiku.

Aku mengangguk lalu mengambil kedua pisau tempurku dan mulai berlari kembali ke rumah itu bersama Landon. Kami berpisah saat aku bertemu Mason dan yang lainnya.

Suara pedang yang saling beradu memekakkan telinga. Sementara yang lainnya beradu senjata di sisi kanan dan kiri rumah, aku beserta Mason dan sang pangeran serta kedua ksatria pribadinya memasuki rumah itu.

Mereka yang menjaga bagian belakang terlihat kewalahan menghadapi para ksatria istana yang jauh lebih terlatih dibanding mereka.

Kami berpencar membuka pintu tersebut satu per satu.

"Scars?" panggilku sambil membuka pintu yang ada di depanku.

Tidak ada jawaban. Bukan di kamar ini. 

Tunggu dulu ...

 Ferro berkata bahwa Scars disembunyikan dalam kamar yang terkunci.

"Scars ada di dalam kamar yang terkunci!" teriakku, memberitahu yang lainnya.

"Tidak ada kamar yang dikunci," balas Mason.

"Kau sudah cek semua kamar?" tanyaku, tidak percaya.

"Ya, aku suda—"

"Kalian mencari gadis sialan ini?" Suara Jullie menghentikan kalimat Mason. Ia berjalan keluar kamar diikuti Dexter dan Warren sambil menempelkan pisaunya pada leher Scars yang tampak pucat dan lemah.

"Scars!" seru kami bersamaan.

Scarlett (Book Two) : Winter SoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang