Eleven: Megan(2)

975 95 0
                                    

Sepanjang perjalanan, Megan terus bercerita akan banyak hal. Ia bercerita tentang bagaimana ayahnya melatihnya dengan keras sehingga ia dapat pandai membela diri dan memamerkannya padaku dengan memukul lenganku yang harus kuakui, cukup menyakitkan. Ia juga membicarakan tentang makanan favoritnya dan juga musim dingin adalah musim kesukaannya. Tentu saja ia juga membicarakanku terus menerus. Aku hanya terdiam dan menyimaknya.

Megan akhirnya berhenti bercerita saat kami sudah tiba di depan rumahnya. "Tunggu dulu! Kau harus bertemu ayahku!" katanya. Ia berlari masuk ke dalam rumah sambil meneriaki kata 'ayah' sementara aku menunggunya di luar rumah. Beberapa menit berlalu dan Megan masih belum juga ke luar bersama ayahnya. Kepalaku terus memikirkan sesuatu yang buruk.

"Megan?" panggilku, setengah berteriak.

Aku tidak mendengar balasan.

Baru saja aku akan memasuki rumah itu, Warren sudah ada di ambang pintu bersama Megan. Warren menempelkan mata pisaunya pada leher Megan. Megan terlihat sedang menahan jeritannya.

"Serahkan dirimu pada Jullie atau anak ini akan mati," kata Warren.

Megan menatapku dengan tatapan yang berbeda dari sebelumnya. Dari matanya saja sudah terlihat jelas bahwa ia ketakutan. Aku memindai tubuh Megan dan menemukan beberapa luka sayatan pada kaki dan tangannya. Beberapa bagian pada bajunya juga robek.

"Lepaskan Megan dulu," kataku.

Warren terlihat kesal. "Serahkan dirimu dulu," balas Warren.

Aku mendekatkan bibirku pada telinga Warren lalu berbisik, "Lepaskan Megan atau kau pulang dengan tangan yang terpisah."

Warren tampak terkejut untuk sesaat lalu ia segera menurunkan pisaunya. Megan berlari masuk ke dalam rumah sambil menangis.

Warren mengarahkan pisaunya padaku. Dengan cekatan, aku melangkah ke samping dan menahan pergelangan tangan Warren lalu memukul lehernya dengan kepalan tanganku. Ia menjatuhkan pisaunya dan memegang lehernya dengan kedua tangannya. Aku langsung memungut pisau itu dari atas tanah yang tertimbun salju dan langsung menusuk kaki bagian atasnya beberapa kali hingga ia terjatuh. Aku bisa saja menyerang perutnya tetapi ia memakai pelindung jadi hanya akan sia-sia.

Aku dapat mendengar Megan menangis dengan kencang dan itu membuatku teralihkan. Warren membalasku dengan menggoreskan pisaunya pada lengan kananku. Aku berlari ke belakangnya dan menancapkan pisau kecil itu pada punggungnya tidak terlalu dalam karena pisau itu sangat kecil dan tidak terlalu tajam. Aku mengambil potongan kayu yang tak jauh dariku lalu memukul tengkuk lehernya hingga ia tak sadarkan diri.

Tangis Megan masih belum berhenti. Aku berlari menghampirinya dan mendapati ia sedang menangis di samping pria tua yang kehilangan banyak darah.

"Ayah! Jangan tinggalkan aku!" jeritnya histeris. Hatiku terasa sakit mendengar tangis dan jeritan Megan. Tubuh pria itu berlumuran darah. Kapak Warren menancap pada perutnya. Ia dapat ditolong jika belum terlambat, tetapi ia sudah kehilangan banyak darah.

Aku duduk di samping Megan dan mengusap pelan punggungnya. Pria tua itu menatapku. Wajahnya pucat dan matanya meredup namun, ia tersenyum. "Aku harap kalian dapat menjaga satu sama lain," katanya dengan suara yang sangat lemah. Tangis Megan memelan.

"Oh, ayah, maafkan aku!" kata Megan.

Ayahnnya melemparkan senyum tipis pada Megan lalu mengusap kepalanya dengan tangan yang lemah. Megan memegang tangan ayahnya dan meletakannya pada pipi kanannya. Jemari pria tua itu mengusap air mata Megan yang mengalir deras. Tak lama, jemarinya berhenti bergerak. Tangis Megan mengeras kembali. Aku harus menenangkannya selama kurang lebih setengah jam hingga ia merasa lebih baik.

Megan memutuskan untuk tinggal bersamaku di rumah Landon. Kami pergi setelah Megan mengemasi barangnya dan mengubur ayahnya di belakang rumah. Untungnya Warren sudah pergi saat kami hendak mengubur pria tua itu.

Aku tidak menyangka keadaan akan berbalik secepat ini. Semuanya terjadi begitu cepat dan Megan tidak pantas untuk mengalami semua ini. Untuk apa Warren membunuh ayahnya? Aku benar-benar tidak bisa mengerti jalan pikirannya.

Aku membersihkan luka pada tubuh Megan sebelum mengobati lenganku. Ia hanya terdiam saat aku membersihkan darah dari kaki dan tangannya. Setelah itu, aku mengobati lukaku sendiri. Sayatan pada lenganku cukup dalam dan panjang dan aku mengeluarkan banyak darah. Aku mencucinya lalu melumuri aloe vera yang kuambil saat perjalanan pulang tadi pada lukaku dan Megan.

Megan tertidur dalam pelukanku. Matanya terlihat sembap akibat menangis. Tangisnya baru berhenti sesaat sebelum ia tidur. Aku mengesampingkan rambut Megan yang menutupi wajahnya. Jadi seperti inikah rasanya mempunyai adik? Aku bahkan baru mengenalnya tadi-dan sekarang aku dapat merasakan apa yang ia rasakan. Aku membayangkan Lucas sebagai kakakku. Mungkin ia akan mengusap kepalaku ketika aku bersedih. Atau mungkin ia akan memelukku erat ketika tahu aku dalam bahaya. Mungkin ia akan berdiri di depanku sambil menghunuskan pedangnya ketika ada penjahat yang hendak melukaiku.

Aku menidurkan tubuh Megan di atas kasur di dalam kamar Landon lalu menyelimutinya. Aku mengusap kepalanya sekali lagi sebelum aku pergi tidur di atas sofa.

Scarlett (Book Two) : Winter SoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang