Eight: The Baker (2)

1K 85 0
                                    

Aku mengenakan mantelku dan mengambil quiver yang sudah lama tidak aku gunakan. Tak lupa aku menyangkutkan pisau pada tempat khusus yang aku jahit sendiri di celana panjangku. Aku pun siap untuk pergi mencuri sebuah undangan. Walaupun itu bukanlah perbuatan yang baik, aku tidak peduli. Jullie melakukan hal yang lebih buruk dari mencuri. Lagipula itu hanyalah sebuah undangan pesta. Bukan sejumlah uang.

Aku melangkah dengan sangat hati-hati agar tidak ada yang mendengarku. Aku mencuri pandang dari jendela dan undangan itu tergeletak di atas meja. Bingo! Seruku dalam hati.

Setelah memeriksa dari luar berkali-kali, aku yakin rumah itu sekarang sedang tidak ada yang menghuni. Aku memanjat jendela rumah itu dengan perlahan dan memasuki rumah itu melalui jendela yang aku pecahkan. Mereka tidak memperbaikinya.

Kutengokan kepalaku kanan dan kiri sebelum keluar dari kamar itu. Kosong. Aku pun berjalan perlahan ke arah sebuah meja bundar yang di atasnya tergeletak dua buah undangan pesta lalu langsung mengambilnya dan menyimpannya dalam saku pada mantelku.

Aku membaca kertas lain di atas meja itu. Itu adalah tulisan Jullie. Kertas itu berisi tulisan resep kue yang kupikir akan ia buat untuk pesta nanti. Di bawahnya tertulis,

Beberapa tetes dari botol itu untuk membiarkan sang raja dan orang bodoh lainnya mati.

Tentu saja Jullie sudah merencanakan ini. Aku tidak terkejut.

Karena mendengar suara langkah kaki, aku langsung berlari memasuki kamar dan menyelinap keluar melalui jendela. Aku menutupi kepalaku dengan tudung pada mantelku kemudian berlari ke luar dari desa itu. Aku tidak pergi bersaa Ivory kali ini karena kupikir akan lebih mudah diketahui kedatanganku jika membawanya dan itu berarti aku harus berjalan cukup jauh. Sungguh melelahkan.

Di tengah perjalanan, aku memutuskan untuk beristirahat di pinggir sungai. "Tidak kusangka kita akan bertemu di tempat ini," kata seseorang di belakangku. Suaranya terdengarn tidak asing bagiku. Aku melihat ke belakangku. "Ma—mason?" kataku pelan.

Tidak hanya ada Mason, tetapi juga ada Ghafa.

"Kuharap kau tidak melupakan namaku," kata Ghafa.

Aku mengalihkan pandanganku dari wajah mereka lalu bertanya, "Apa yang kalian lakukan di sini?"

"Tugas dari Raja Jorge," jawab Mason.

"Kau tidak perlu menyembunyikan kepalamu dengan tudung itu lagi, kau tahu itu, Rose," kata Ghafa sambil membuka tudung kepalaku.

Aku ingin sekali menahan tangan Ghafa namun tentu saja tubuhku tidak bergerak sesuai yang aku inginkan. Aku membiarkan rambut panjangku terurai.

"A—aku tidak butuh—" kataku terhenti. Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan.

"Tidak butuh?" Tanya Mason.

"Kau tidak perlu mengatur bagaimana penampilanku seharusnya. Jika aku ingin menutup kepalaku, aku akan melakukannya," kataku. Tentu saja aku mengatakannya setelah menarik nafas dan membuangnya agar aku merasa tenang.

"Kau tidak perlu kesal seperti itu," kata Mason.

Aku mendengar suara kaki kuda dari kejauhan yang mulai mendekat ke arah kami. Aku melihat ke arah sumber suara dan dari jauh pun aku dapat mengenali bahwa itu adalah Jullie dan Dexter.

"Sial!" geramku. "Sembunyi, cepat!" kataku sambil bersembunyi di balik semak. Mason dan Ghafa mengikutiku. Aku mengintip dari balik semak. Setelah Jullie dan Dexter tidak terlihat lagi, aku keluar dari persembunyianku.

"Apa itu barusan?" Tanya Ghafa.

"Ancaman besar untuk raja," jawabku.

"Bukankah itu si penjual kue?" Tanya Mason.

Benar. Tentu saja mereka mengenali Jullie.

"Apakah benar ia menjual kue?" kini aku yang bertanya.

"Apa kamu sekarang sedang menuduh salah satu orang kepercayaan Raja Jorge?" Ghafa balas bertanya.

"Raja Jorge terlalu mempercayai orang itu,"

Mason menghelea nafasnya. Ia terlihat lelah meyakinkanku bahwa Jullie hanyalah seorang pembuat kue biasa.

"Nak, wanita itu sudah menjual kue hampir seumur hidupnya. Kuenya adalah kue favorit Kerajaan Arabella. Bahkan keempat kerajaan lain sering memesan kue buatannya sebagai buah tangan,"

Aku memutar kedua bola mataku.

"Sudahlah! Kalian diam saja dan lihat nanti," kataku, mulai kesal.

"Kuharap kau tidak merencanakan sesuatu yang merugikan dirimu dan orang lain, Rose," ujar Mason.

Aku menatap kedua kesatria istana itu dengan tajam.

"Kuharap kau menyesal karena tidak mempercayaiku," balasku.

Aku membalikkan tubuhku dan mulai berjalan meninggalkan mereka. "Oh, dan tolong jangan panggil aku dengan sebutan Rose. Itu mengingatkanku tentang hal yang sangat buruk," kataku sebelum akhirnya benar-benar meninggalkan mereka yang kebingungan.

Terakhir kali aku berbicara dengan Mason, kata-katanya sedingin salju. Aku berusaha untuk menghindarinya karena kurasa ia membenciku. Namun melihat sikapnya tadi, kurasa ia sudah tidak membenciku. Ia terlihat seperti biasanya, tenang.

Aku beruntung mereka tidak tahu bahwa aku baru saja mencuri undangan pesta.

Aku membaca undangan itu. Pesta itu akan dimulai besok lusa malam. Aku harus memikirkan rencana ini matang-matang karena jika gagal dan ketahuan, hukumanku mungkin akan ditambah. Meskipun rencana kali ini terbilang riskan, aku harus melakukannya. Aku tidak akan membiarkan Jullie meracuni orang tidak bersalah.

--

Happy New Year!!

Update pertama di tahun 2018 semoga kalian suka ^^

Semoga di 2018 ini saya makin rajin updatenya wkwkwk :v

Makasih semuanya yang udah baca cerita aku dan kasih vomment :') 


With love,

Val

Scarlett (Book Two) : Winter SoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang