Chapter 4

1.1K 67 27
                                    

   Ku langkahkan kaki ku menuju Rumah megah milik Trisya. Ku dapati di kamar dia sedang duduk di sofa bersama si-manis.

"Ternyata kau sudah pulang, Trisya?"

"Ya, seperti yang kau lihat. Hei, apa kau mengurus si manis dengan baik?"

"Kau bisa tanya langsung padanya, bagaimana aku mengurusnya dengan sangat baik." Trisya hanya cekikikan mendengar sindiranku yang sering melihat dia berbicara dengan si manis.

"Hehe, ya ya baiklah, terimakasih, Ellen,"

   Aku meletakkan alat-alat lukisku kelemari khusus yang yang di beri Trisya untukku. Setekahnya aku menghampiri Trisya di sofa.
"Apa kau mengetahui...."
Mulutku memang payah untuk menyembunyikan sesuatu. Aku yakin pasti setelah ini Trisya akan bertanya menyelidik-

"Apa yang tidak ku ketahui, Ellen?"

  Kalau sudah begini, mana bisa berbohong.
"Ega, bekerja sama denganku"

"What..?? Jadi kau menerima bekerja sama dengannya?"

  Sudah ku duga Trisya pasti akan selebai ini. Dia memang tahu tentangku dan Ega, bahkan dia penyelamatku sehingga dia mengajakku ke asalnya ini agar terhindar dari Ega.
"Seperti yang di katakan Stella, bahwa Ega sangat berbakat. Dia akan membuat Artikel bagus untuk karya lukisku"

"Apa??  karya lukisanmu? Bagaimana ini bisa terjadi?"

   Aku memnghembuskan napas lelah dan langsung menceritakan awal bertemu dengan Ega, agar rasa penasaran sahabatku ini terpenuhi. Dari pertama aku selesai melukis, Stella menghampiriku dan berbicara tentang penulis Artikel hingga sekarang Egalah yang menjadi patnerku. Begitulah ku beritahu padanya secara detail agar dia tidak banyak tanya lagi.

"Aku rasa dia memata-matai mu selama ini. Tidak mungkin kebetulankan?"

"Tadinya aku berpikir seperti itu, tapi dia berkata padaku dia baru tiba disini. Dan dia jujur mengetahui tentang pribadiku di akunku."

"Sudahlah, aku harap kau telah melupakan masa lalu kalian."

"Sudah hampir bisa, walau belum sepenuhnya," Apa yang ku jawab ini murni sebuah kejujuran, sangat sulit melupakannya.

"Ayolah Ellen, kau pasti bisa melupakan semuanya."

"Aku akan mencoba."
Ku akhiri pembicaraan ku dengan Trisya menuju ke ranjang, merebahkan tubuhku yang lelah.

Saat ini aku tidak ingin berdebat dengannya hanya membahas tentang mantanku. Aku lelah,  aku butuh istirahat, aku harap setelah tertidur nanti, aku akan terbangun tanpa pikiran yang sama, maksudku aku berharaf ini hanya sebuah mimpi atau khayalan yang tidak nyata.

Langkah kaki Trisya keluar kamar, setelah itu aku tak mendengarkan apa-apa lagi. Aku tertidur pulas.

--------------

     Ku beresi semua barang-barangku di dalam ruangan. Aku harus cepat sampai di rumah. Trisya berkata di telepon kakak laki-lakinya  akan tiba di New York setelah menyeselesaikan bisnis yang di jalaninya. Aku harus tepat waktu sampai di rumah menyambut kepulangan kakak yang paling di sayangi sahabatku ini.

    Akhirnya dengan semangat 45, barang-barangku tersusun rapi di tas ransel kesayanganku. Senyumku mengembang melihat pekerjaanku telah selesai. Ku angkat ranselku keluar ruangan.

"Kau, sangat buru-buru?"

   Langkahku yang tergesa berhenti setelah mendengar suara berat itu. Ku tolehkan wajahku ke samping, disana, di sofa panjang, Ega sedang terduduk dan menatap kearahku.

"Aku harus segera tiba dirumah."  Itulah kata-kata yang keluar dari mulutku setelah mengatasi keterkejutanku. Mimik wajah ku, ku buat sedatar mungkin.

"Oh...aku pikir kau sedang sibuk!"

  Keningku berkerut mendengar ucapaannya. Aku tak ada waktu melayaninya berbasa-basi disini, Trisya menungguku di rumah.
"Memang seperti itu. Apa kau memerlukan sesuatu?"

"Tidak terlalu penting. Aku hanya membutuhkan seseorang menemaniku meminum kopi."

  Jantungku seakan bermain drumband, ingin sekali aku berkata 'aku ingin menemaninya'  namun, kebaikan Trisya membuatku menolak itu.
"Ku pikir lain kali saja." Masih dengan ekspresi datar ku jawab perkataannya. Ku sunggingkan senyum sebelum melangkah keluar gedung ini.

 

       Di dalam Taksi, di perjalanan menuju tempat tinggalku dan Trisya, aku melamun, melamunkan semuanya yang terlintas di pikiranku. Hati kecilku  menginginkan Ega, menemaninya meminum kopi seperti biasa, tapi pikiranku menolak itu semua. Tidak mungkin aku mengecewakan Trisya yang ikut andil dalam rencanaku untuk move on.

"Tuhan, inikah gagal move on? Kenapa aku ingin selalu bersamanya walau dia selalu menyakitiku. Tiga tahun bersamanya cukup banyak rasa sakit yang ia berikan, tapi kenapa hanya sekejap sakit itu hilang ketika berdekatan dengannya. Ini tidak adil Tuhan, tiga tahun dia menjajah hatiku dan sekarang dia berperan yang sama, mengobrak abrik perasaanku. Satu Tahun telah berlalu tapi kenapa hati ini masih membutuhkannya? Tidak-kah ada penggantinya yang dapat membuatku bahagia Tuhan. Tolong untuk kali ini jangan buta kan hatiku untuk menilainya, agar aku bisa menjahui dan melupakannya"

Bersambung☺

Ciacia....gimana-gimana belum seru yaa? Sorry.
Maaf typo dimana-mana hahaha. Selamat menikmati cerita selanjutnya. Salam manis dari author😄
Vot nya say...

Move On (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang