Chapter 12

456 25 5
                                    

.
.
.
.

Aku mangut mengiyakan perkataannya. Tak berapa lama bibir nya menempel di keningku. Hati ku bergetar seperti dulu, aku masih mencintainya?

Saat Ega mengangkat wajahnya dari keningku, ku beranikan jemari kecilku menyentuh jarinya. Setelahnya kami saling menggenggam dan melempar senyum. Dan kini kepalaku bersandar di bahunya, tangannya mulai membelai rambutku. Oh tuhan! Inikah kebahagiaan?

"Ellen, apakah kau ingin ikut kembali denganku ke Jakarta?" Ujar Ega lembut, sembari tangannya terus mengelus rambutku.

"Aku tidak mau!" Jawabku cepat.

"Baiklah. Bolehkah aku meminta nomor ponselmu?"

"Aku akan memberikannya asal kau menghubungiku jika sudah sampai nanti!" Aku mengangkat kepalaku, menatap wajahnya yang berjarak beberapa senti meter dari wajahku.

"Baiklah" Ega tersenyum hangat, menoel hidungku singkat. Tapi perbuatannya itu langsung berefek besar untuk kesehatan jantungku.

Aku tau, aku adalah wanita yang paling bodoh di dunia. Kalian pasti memikirkan hal yang sama. Tapi bagaimana dengan perasaan yang memang setiap orang miliki pasti berbeda? Aku tidak tahu bagaimana menjadi wanita pintar yang mampu menahan hasratnya untuk tidak melakukan hal yang sama sepertiku ketika mantan yang masih kita inginkan melakukan hal yang sama seperti Ega.

   Aku memutuskan kontak mata dengan Ega, meraih tas di kursi samping tempat dudukku. Begitu benda yang ku inginkan ketemu, aku langsung memberikannya kepada Ega.

Setelah selesai Ega menyalin Nomor ponselku, Ega langsung kembali ke tempatnya.

Tak berapa lama Stella kembali ke tempat duduknya sambil tersenyum ramah.
"Maaf, aku kelamaan. Aku tadi bertemu sahabatku di Toilet!"

"Tidak papa Stella" Ujar Ega sambil tersenyum manis.

***
   Kini kami berada di bandara, setelah dari caffe dan berjalan-jalan sebentar kami langsung menuju ke bandara. Ega memberi pelukan singkat kepada Stella dan menempelkan pipinya ke pipi kanan kiri Stella. Rasanya aku ingin terbakar dan menjadi debu. kenapa masih harus cemburu?

Ega kini menghampiriku dan melakukan hal yang sama. Ingin sekali aku mencegahnya ketika ia telah bersiap-siap untuk pergi. Tapi itu tak mungkin ku lakukan, apa kata Trisya nantinya?

        Setelah melihat Ega benar-benar pergi, aku diantar Stella pulang ke rumah.  Dan kini aku telah merebahkan tubuhku di ranjang milikku dan Trisya. Ku pejamkan mataku, bayangan bersama Ega muncul setelahnya. Aku tersenyum samar, karna itu akan menjadi kenangan terakhirku bersamanya. Mungkin setelah ini Si gila Trisya akan terus membuatku terjebak bersama kakaknya Ferel.

"Ega aku merindukanmu,aku juga ingin mengulangi masa-masa kita. Aku masih mencintaimu, bawa aku pergi dari rumah ini. Disini ada seseorang yang menghambat pikiranku untuk tidak selalu memikirkanmu. Aku mencintaimu Ega, aku bersumpah aku masih mencintaimu." Ega tersenyum dan membawaku kedalam pelukannya, disini tempat ternyaman yang sangat aku sukai.

Drett..drett..

Aku terlonjat kaget, nafasku saling memburu. Jantungku memompa lebih cepat. Ku lihat sekelilingku, ternyata aku berada di kamar. Syukurlah itu cuma mimpi. Aku menarik nafas dalam dan menghembuskan perlahan. Setelah kurasakan jantungku membaik, aku meraih ponselku yang terletak di nakas.

  Dua panggilan tak terjawab dari nomor yang tak di kenal. Rasanya tak penting sepagi ini nomor asing membangunkanku. Aku ingin meletakkan kembali ponselku kenakas, tapi getaran pertanda orang memanggil berbunyi kembili. Aku menghembuskan nafas kasar, aku masih sangat mengantuk di jam seperti ini.

"Hallo!" Sapaku sambil menguap panjang.

" hehe, selamat pagi bidadari Cantik"

Mata ku terbelalak mendengar suara yang sangat ku kenal, hingga rasa kantukku hilang dalam sekejap.

Aku bangkit dari tempat tidurku menuju jendela kamar yang sudah terbuka. Sepagi ini hanya Trisya yang rutin membuka jendela, katanya agar udara segar masuk ke dalam.

"Pagi kembali si mulut berbisa" Aku menjawab Ega setelah cukup lama terdiam sesaat mengambil tempat yang pas untuk berbincang di telepon.

"Ayolah Ellen! Lupakan yang lalu, aku minta maaf! Aku tak bisa hiduf tanpamu"

"Benarkah?"

"Ya. Kau bagian dari hidufku!"

"Tapi aku tak merasakan hal yang sama sepertimu."
  Entah kenapa setelah kata itu keluar dari bibirku jantungku terasa sakit. Aku tidak bisa membohongi perasaanku sendiri.

"Kau tak bisa membohongiku, Ellen! Aku tahu betul dirimu yang tak bisa melupakanku."

"Oh, ya??"

"Aku bukan sedang bergurau Ellen, aku serius!"

Aku diam, sepertinya kata serius sudah sering ku dengar. Tapi nyatanya sama, tak ada yang serius, itu semua dusta. Ega selalu bisa membuatku percaya dengan semua kata-katanya, dan pada akhirnya aku yang tersakiti. Itu sebabnya aku sering memanggilnya si mulut berbisa.

"Hallo, Ellen. Apa kau masih disana?"

"Ah iya, aku masih disini! Kapan kau sampai?" Aku mencari topik lain, karna ku tahu Ega akan semakin menjadi jika sudah di tanggapi.

"Subuh tadi! Kenapa? Kau menunggu telepon dariku sampai tak bisa tidur?"

"Tidak!"

"Kau mengawatirkanku?"

"Tidak juga!"

"Lalu?"

"Hm, tidak ada." Aku linglung tiba-tiba. Pikiran dan hatiku tidak singkron. Aku tak tahu mengapa aku se-labil ini, rasanya aku ingin pergi ke dunia lain yang tidak membahas hal tentang cinta.

Aku membuyarkan lamunanku ketika mendengar suara langkah kaki mendekat. Itu pasti Trisya.

"Ega, nanti kau ku telepon lagi" Ujar ku cepat.

"Ada apa?" Tanya Ega,

"Sudah lah, by." Ku putuskan sambungan secara sepihak tepat saat Trisya membuka pintu kamar.

Jangtungku memompa lebih cepat, semoga Trisya tidak mengetahuinya.

"Kau habis teleponan dengan siapa sepagi ini?" Trisya berjalan santai sembari membereskan tempat tidur yang berserakan.

"Agenku" Ujarku kaku, aku masih berdiri di dekat jendela besar tadi, udaranya sangat dingin tapi kakiku rasanya susah untuk berpindah tempat.

"Agenmu menelponmu sepagi ini?" Kini Trisya memberhentikan aktivitasnya menghadapku sepenuhnya.

"I-iya. Kenapa kau seperti mencurigaiku?" Aku memandang Trisya takut-takut, takut dia tahu hal yang sangat aku sembunyikan.

"Tidak. Aku hanya takut kau berhubungan lagi dengan Ega!" Ujar Trisya santai.

Aku tercekat, jangan sampai Trisya mencurigainya. Aku sulit berbohong pada sahabatku yang satu ini, bantu aku tuhan.

Aku bernafas lega saat Trisya tidak menuntutku untuk berkata banyak, Trisya malah merebahkan tubuhnya ke tempat tidur yang kini sudah rapi.

Dengan susah payah ku gerakkan kaki ku menuju kamar mandi, aku suka berendam air hangat sepagi ini untuk mencernihkan pikiranku.

Bersambung☺


**vot dan comennya kakak😘

Move On (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang