Chapter 19

305 18 2
                                    

  Supir Taksi memberhentikan lajunya di pasar besar itu. Aku turun setelah membayar tagihan Taksi.

  Aku berjalan menyebrangi pasar besar ini menuju kursi panjang di ujung sana. Benar saja, disana Ega tengah duduk bersama burung merpati yang mengelilinginya.

  Ega melambaikan tangannya begitu melihatku berjalan ke arahnya, aku hanya tersenyum membalas lambaian Ega.

Aku duduk di sebelah Ega, lalu mengambil bungkus makanan burung merpati di tangannya. Begitu makanan itu ku lempar kedepan, burung merpati itu berebut makanan, sungguh menyenangkan melihatnya.

  Tiba-tiba Ega bangkit, lalu memberi isyarat bahwa akan segera kebandara. Aku kecewa, sesungguhnya aku masih ingin berlama-lama dengan burung merpati itu.

  Kami menaiki Taksi menuju bandara. Setelah sampai disana, Ega yang telah memesan tiket menyuruhku cepat-cepat mengikutinya karena suara pemberitahuan pesawat akan berangkat terus berbunyi.

  Didalam pesawat kami duduk bersebelahan. Ku perhatikan, Ega selalu memperhatikanku. Mungkin dia masih ingat bahwa aku takut dengan ketinggian.

Ya, aku takut naik pesawat. Tapi harus bagaimana lagi? Ku tarik napasku dalam-dalam, menghembuskannya perlahan agar aku lebih rileks dan tenang.

Aku mulai menegang saat pesawat mulai bergerak. Tiba-tiba Ega menggenggam tanganku yang terkepal bermaksud memberiku ketenangan. Aku menoleh kearahnya lalu tersenyum sesaat. Aku memejamkan mataku kuat-kuat sambil meremas jemari tangannya dengan sekuat tenagaku. Aku benar-benar takut.

"Kau tidak perlu tegang, aku akan selalu bersamamu, Ellen!" Sebuah bisikan itu membuatku lebih nyaman dan sedikit tidak merasa takut lagi.

  Aku tersenyum dengan keadaan mata masih tertutup rapat. Pegangan tangan kamipun tidak lepas atau merenggang. Ega menggenggam tanganku seperti biasa dia lakukan dulu saat aku sedang takut.

  Setelah aku sudah terbiasa, aku tidak merasakan ketakutan seperti tadi. Ku sandarkan kepalaku di bahunya, Ega menjatuhkan kepalanya di atas kepalaku, membuat aku semakin merasa nyaman. Walau tidak senyaman tempat Pacarku, Ferel, setidaknya bahu Ega bisa membuatku tenang dari rasa takut.

****

Malam itu kami sampai di Jakarta. Tepatnya entah pukul berapa kami pun tidak tahu. Dengan menaiki Taxi kami munuju persimpangan rumahku. Untuk masuk ke dalam kami terpaksa menaiki Bajaj karena gang rumahku yang sangat sempit.

  Aku merindukan masa-masa ini. Dimana aku dan Ega sering berkeliling menaiki Bajaj dulu. Banyak sekali kenang-kenangan yang belum bisa aku lupakan, hampir semuanya terlihat jelas dalam ingatanku.

Bajaj itu berhenti di sebuah rumah sederhana dan tua. Tak ada yang berubah dengan rumah ini, hanya terlihat lebih banyak bunga-bunga yang menghiasi halaman.

   Aku berjalan beriringan dengan Ega. Saat pintu tua bercat coklat itu ku ketuk, seorang wanita yang ku pikir Ibu ku membuka pintu dan tersenyum ramah. Tanpa berkata-kata aku langsung masuk melewati wanita itu begitu saja, sementara Ega dia mengikutiku sampai aku masuk ke ruangan sempit yang bernama ruang tamu itu.

   Disana terlihat dua orang anak kecil sedang asyik menyaksikan Film kartun dari Tv hitam putih. Aku melewatinya begitu saja, melihat anak kecil yang tak berdosa itu, entah kenapa kepalaku serasa mendidih. Bahkan ayahku yang sudah tua harus mengurus anak sekecil itu.


  Aku membuka pintu kamar Ayahku, Ega masih setia mengikuti ku di Belakang, dan wanita itu entah  kemana sejak membuka pintu tadi.

  Aku berjalan menghampiri Ayah yang terbaring lemah di ranjang tuanya.
"Ayah, ini Ellen pulang, yah." Ku cium kening Ayahku dan duduk di sisi ranjang di sebelah Ayah.

Move On (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang