Chapter 7

705 44 19
                                    

Sejak obrolanku dan Trisya kemarin malam, aku banyak diam. Banyak yang kupikirkan, Ega, Ferel, dan keluargaku.



Memikirkan Ega membuat bayang-bayang masa lalu semakin menyeruak di pikiran, hati, dan jantungku. Semua seakan tak normal, tak tentu arah.





Memikirkan Ferel malah membuat pikiran ku sulit untuk bekerja. Hati dan pikiran seakan tak singkron, dan mempersulit keadaan yang memang sedang rumit. Aku tak mencintainya atau-pun menginginkannya. Padahal sedikit terbesit aku mengaguminya. Tapi hanya sebatas mengagumi, tak lebih. Hati ini menolak dia untuk singgah, walau hanya semenit.






Memikirkan keluarga, membuat jalan pikiranku seakan buntu, tak ada jalan keluar. Setahun dua bulan aku disini, tapi sedikitpun aku tak tau keadaan Bella maupun ayahku. Bukan tak ingin tahu bagaimana kabar mereka, ke-egoisanku ini yang menolak melakukan itu.

Karna aku sedang marah pada keluargaku, entah karma apa yang datang setelah ini, aku tak tahu.

Aku marah, ayahku menikah lagi tidak memberitahuku. Aku benci, ada orang yang menggantikan sosok ibuku walau dia telah lama meninggal. Dan Bella, kakakku itu juga tak ada niat memberitahuku, hingga aku membenci mereka. Aku tak ingin dengar alasan mereka, karna aku egois.

"Ellen"

Aku menoleh kesumber suara, ternyata itu suara mami Trisya yang tersenyum manis ke arahku. Langkah kakinya yang mendekatiku tegas tanpa beban, bukan sepertiku.

"Hari mulai gelap, disini sangat dingin! Ayo masuk, hangatkan dirimu di dalam!" Mami Trisya tersenyum duduk di sampingku, di ayunan besar depan rumah Trisya.

"Iya, Tante."

Mami Trisya membelai kepalaku, seakan memberikan kasih sayang layaknya seorang ibu. Perlakuan dia mengingatkanku pada ibuku, membuatku semakin tak terima wanita jalang yang menikahi ayahku. Aku tersenyum menerima perlakuan Mami Trsiya.

"Apa yang sedang kau pikirkan? aku akan mendengarkan jika kau butuh pendengar. Ingat, aku ibumu selama kau disini"

Lagi-lagi aku tersenyum kearahnya, tapi kenapa mataku panas. Tanpa ku minta air mata menetes mengalir di pipi mungilku, cepat-cepat ku hapus menggunakan buku-buku jariku. Aku kuat, aku tak boleh menangis. Cukup saat Ega menyakitiku, dan tidak akan pernah lagi.


Seakan mengerti diriku, Mami Trisya memelukku, membuat keadaanku lebih membaik.

"Ungkapkanlah hal yang ingin kau ungkapkan. Jangan memendamnya sendiri. Sehebat apapun kau menyimpan, kau tak akan sanggup menghadapi semuanya sendirian."

"Semua orang punya masalah, hadapi semuanya dengan senyuman. Lakukan apa yang menurutmu benar. Dengarkan kata hatimu sebelum bertindak, hatimu tak akan membohongi dirimu sendiri, walau dia bisa membohongi orang lain."

"Aku tak mengerti masalahmu nak, tapi aku tau banyak beban di pikiranmu. Lakukan kegiatan yang membuatmu lupa walau hanya sesaat. Jangan terlalu di ratapi, tapi mulailah melangkah menghadapi apa yang telah terjadi. Tak ada guna menyendiri dan berdiam diri, ini hanya akan membuatmu susah berpikir mencari jalan keluar. Aku tau kau bisa, ok. Sudah-sudah sana masuk, hari mulai gelap!" Mami Trisya melepaskan pelukannya setelah melontarkan kata-kata ajaib yang membuatku tenang. Senyum tak pernah berhenti menghiasi wajah cantiknya. Mami Trisya memang mudah sekali tersenym.


"Terimakasih, Tante. Apapun yang Tante katakan akan aku lakukan. Permisi Tante, aku masuk kedalam dulu."

Aku melangkah memasuki Rumah besar Trisya, meninggalkan Mami Trisya di ayunan tempatku merenung tadi.

Move On (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang