Kami sampai di tempat yang lumayan nyaman menurutku, dari pada Restoran awal yang kami kunjungi.
Aku memesan Spageti kesukaanku, sedangkan Ferel hanya sebagai penonton budiman. Katanya dia sudah kenyang makan di Restoran pertama tadi.
Aku memakan makananku dengan lahab, rasanya benar-benar lezat. Entah karna makanan disini enak atau entah karna aku yang memang sedang lapar. Aku seperti tidak makan 2 hari, sangat lapar. Bayangkan ini sudah hampir siang, tapi dari pagi aku belum mengisi perutku dengan makanan.
Seperti ada yang memperhatikan aku mengangkat wajahku, manik mataku bertemu dengan manik mata milik Ferel. Ohh, tuhan! malunya aku.
Aku langsung tersedak, Ferel tersenyum geli sambil memberiku segelas air putih. Dengan sigap ku minum air putih itu hingga tak tersisa.
Aku menyengir kuda kearah Ferel, begitu ku rasakan tenggorokanku sudah tidak sakit lagi.
"Terimakasih." Ujarku tersenyum malu.
"Lain kali tak perlu seburu-buru itu! Apa makanannya nikmat?"
"Hehe, Spageti ini sangat enak. Lagipula ini juga karna aku sangat lapar!"
"Hm, yasudah lanjutkan lagi. Aku senang melihat orang sangat lahab memakan makanannya"
"Ahh, kau membuatku malu." Aku menundukkan kepalaku karna Ferel tidak berhenti menatap diriku.
"Hahaha, kau tak perlu malu padaku, apa perlu ku pesankan lagi untukmu?"
"Tidak, tidak. Perut ku tidak akan muat" Aku cepat menolak keinginan Ferel yang ingin memesan lagi makanan untukku, apa jadinya jika aku makan dua piring sekaligus?
Kami berdua tertawa dengan lelucon basi yang tak menarik ini. Tapi setidaknya aku sudah merasa sedikit nyaman dan bahagia.
Yaaa, aku bahagia bisa tertawa lepas lagi. Aku bahagia bisa memiliki teman lawan jenisku. Aku bahagia.
Entah kenapa dia bisa secepat ini membuatku merasa nyaman, membuatku seperti tidak berbicara dengan orang asing . Rasanya seperti kami telah lama mengenal dan berteman, ini sangat aneh.
.
.
.
.
Mobil yang kami naiki memasuki pagar besar rumah Trisya, akhirnya kami tiba di rumah setelah berbincang sebentar di Restoran tadi, bersama Ferel.Aku dan Ferel turun bersamaan melangkahkan kaki menuju tempat Trisya, yang berada di ayunan tersenyum melihat kearah kami. Jantungku.... oh, kenapa lagi ini? Aku selalu saja seperti ini, padahal aku tidak berbuat salah, tapi ketika melihat senyum Trisya yang penuh dengan pertanyaan-pertanyaaan kepo nya membuatku, gugup. Yaaa, pasti dia punya segudang pertanyaan untukku.
Aku takut jika Trisya tau aku bahagia hari ini, bahagia karena bersama dengan kakaknya. Sebisa mungkin ku netralkan wajahku untuk terlihat biasa saja, tanpa ada secelah kebahagiaan di wajahku.
Begitu kami berada di dekat Trisya, kakak beradik ini saling tersenyum. Tak lupa Ferel mencium kening Trisya, dan Trisya mencium kedua pipi kakaknya itu. Pemandangan seperti ini selalu mengusik pikiranku. Aku memiliki kakak, tapi hubungan kami hanya sebatas jika ada keperluan satu sama lain, menyedihkan bukan?
Aku melihat mereka dengan tatapan iri. Apalagi aku memang sudah tak pernah berkontak dengan Bella, kakakku. Ini juga salah dirinya yang tak memberitahuku pasal pernikahan ayahku. Aku marah dengannya, aku marah pada ayahku, itu sebabnya aku tak ingin berkomunikasi dengan mereka. Semenjak kepergian ibuku, dari situlah keharmonisan keluarga kami lenyap.
Aku benci ibu tiri. Aku sangat membenci pengganti ibuku walau aku tak pernah melihatnya. Dua bulan ketika aku di New York, aku mendapat kabar ayahku menikah lagi dari temanku di Jakarta.
Mereka keluargaku, hal sepenting itu tak mereka beritahukan padaku, apalagi meminta Restuku. Semenjak itu aku tak ingin berhubungan dengan mereka, karna kurasa aku memang tidak di butuhkan. Aku tak tau kabar ayahku atau pun Bella, tapi ku harap mereka baik-baik saja.
Aku memasuki rumah menuju kamarku tanpa memperdulikan lagi kakak beradik yang bahagia itu. Sangking asyiknya bercanda meraka sampai tidak menyadari kepergian diriku.
Aku menghembuskan napas ringan, rasanya aku sangat merindukan keluargaku setelah melihat adegan Trisya dan Ferel.
Begitu aku masuk ke kamar, aku mengambil ponselku di dalam saku celanku. Aku harus melawan egoisku sedikit, untuk menghubungi Bella.
"Hai, Ellen! Aku pikir kau telah melupakanku."
Pada nada sambung ke dua Bella mengangkat teleponku, tanpa aku memulai percakapan, Bella lebih dulu memulainya.
"Hai kembali, Bella. Aku takkan lupa manusia menyebalkan sepertimu"
"Aih... sudahlah. Kau selalu menyimpan dendam, jangan membuat komunikasi langka ini terkesan, payah!"
"Ok ok, baiklah. Bagaimana kabarmu?"
"Yah, aku baik-baik saja. Aku masik menjalankan aktivitas seperti biasa, taada yang berubah."
"Ba bagaimana dengan ayah?" Aku gugup, setelah ini pasti-
"Ow.. ku pikir kau telah menemukan ayah yang seperti kau inginkan." Bella berucap dengan nada menyindir, selalu saja.
"Apa maksudmu? Aku tak suka kau berbicara seperti itu padaku,"
"Jadi kenapa kau tak datang menemui ayah hanya sekedar mengucapkan selamat? Aku terus berusah menghubungi ponselmu yang sengaja kau matikan!"
"Itu..itu karna kau dan ayah tak pernah memberitahuku tentang wanita jalang itu. Aku tahu kau pasti mengetahuinya kan?" Lihatlah diriku yang keras kepala ini, hhu.
"Aku juga tak pernah tahu soal wanita itu, Ellen...."
"Kenapa kau menyetujuinya? Kenapa kau membiarkan wanita itu menggantikan posisi ibuku? Kau tidak kenal dia, kenapa kau membiarkan ayah menikahinya?" Aku memotong perkataan Bella cepat, bagaimana bisa dia juga tidak mengetahuinya?
"Kau benar-benar keras kepala Ellen. Ibu kita sudah tiada, dia telah meninggal. Taada salahnya ayah ingin beristri lagi." Ujar Bella tegas, dan melanjutkan lagi," Aku memang tak pernah mengenalnya, tapi aku percaya pada ayah dengan wanita pilihannya itu. Ayah tak mungkin memilih wanita yang salah, pilihan ayah pada ibu kita juga sangat benar. Ayah tau mana yang terbaik untuknya."
"Sampai kapanpun taada yang bisa menggantikan posisi ibuku. Dialah ibu yang pertama dan terakhir. Kau benar, ayah takkan salah memilih wanita, seperti halnya dia memilih ibu. Tapi ayah salah telah mengganti posisi ibu dengan wanita lain, walau menurutnya baik, tapi menurutku taada wanita cantik dan sebaik ibuku" Aku menyangkal perkataan Bella, aku memang tidak setuju dengan pernikahan ayahku.
"Bagaimana dengan ayah? Kau tak pernah memikirkan perasaan ayah. Kau hanya mementingkan egoismu dan semua hal yang menurutmu benar. Ayah sendiri di rumah. Apa-apa dia lakukan seorang diri, dia butuh teman untuk seusianya sekarang. Aku juga menyayangi ibu seperti kau menyayanginya, tapi aku juga menyayangi Ayahku. Dia pemimpin rumah tangga, dia tahu yang terbaik untuk keluarga dan anak-anaknya!"
Aku bungkam. Pertengkaran yang tak ku inginkan terjadi lagi membuat otakku berhenti bekerja. Kami memang kerap sering berdebat dan bertengkar. Sifat kami yang berbeda membuat kami tidak sependapat. Keegoisanku membuat Bella sering mendiamiku.
Tapi sudut bibirku tertarik sedikit, dalam kondisi ini aku masih bisa tersenyum. Mungkin ini karna aku merindukan pertengkaran bersama Bella, pertengkaran yang selalu diakhiri Bella dengan jalan pikirannya sendiri.
**vot dan comennya yaa kakak😊
KAMU SEDANG MEMBACA
Move On (TAMAT)
RomanceDia datang lagi setelah hampir setahun aku berusaha melupakannya. Membuat kenangan dulu kembali terngiang di ingatanku. kenapa harus sekarang? disaat hatiku masih belum bisa menentukan siapa yang terbaik untukku. aku harus memilih 2 lelaki yang sama...