"Kenapa kau terdiam, ha? Kau masih menyusun kata-kata egois yang ada dalam otakmu itu, hm?"
"Bella, jika itu alasannya, kenapa kau tak tinggal bersama Ayah saja agar Ayah tidak sendirian. Kau kan bisa mengurus ayah!"
"itsss...sejak kapan kau berani mengaturku? Kenapa tidak kau saja yang tinggal bersama ayah. Pulanglah, tinggalkan semua impianmu yang ada disana" Kini Bella terliat kesal, terdengar dia sering berdecak menahan amarahnya.
"Itu tidak mungkin! Aku disini bekerja. Impianku disini Bella, sebentar lagi lukisanku akan meledak di pasaran"
"Ck, jadi kau tak memikirkan impianku? Pekerjaanku? Cita-citaku? Jika kau saja tidak bisa apalagi aku. Jadi maksudmu aku di rumah dengan ayah, mengurus ayah dan bangga dengan impianmu itu? Kau di puji-puji semua orang sedangkan aku hanya tersenyum di rumah bersama ayah? Kau menghabiskan waktu mudamu dengan bekerja dan bersenang-senang dengan temanmu sementara aku semakin lama menjadi gadis kumal yang menghabiskan masa mudaku di dalam rumah bersama ayah? "
" Kau gila Ellen, kau egois. Aku benar-benar tak mengerti jalan pikiranmu. Seharusnya kau bersyukur wanita itu mau menikahi ayah, mengurus ayah, sehingga kita bisa sama-sama mengejar impian kita. Setidak sesekali aku mengunjungi ayah dan merawatnya, tidak sepertimu yang hanya bisa marah dan marah. Jangan pernah menghubungiku jika kau masih belum mengerti dan meminta maaf padaku"
Tut tut tut
Telepon di putuskan sepihak oleh Bella. Perkataannya membuatku sangat tertohok. Terkadang aku juga tak mengerti jalan pikiranku. Mungkin memang aku sudah gila.
Kepalaku semakin pusing. Niat menghubungi Bella untuk memperbaiki hubungan malah semakin parah.
Ku lempar ponselku ke tempat tidur bersama dengan tubuhku yang kuhempaskan. Kepalaku berdenyut memikirkan semua perkataan Bella. Belum lagi aku memikirkan masalah diriku, memikirkan segala-galanya yang hampir memecahkan kepalaku.
Aku sangat lelah, tubuh ini butuh beristirahat. Aku ingin tidur.
*************
Tak bisa ku ceritakan bagaimana aku saat ini bersama dengan Ferel, di sebuah tempat yang sangat-sangat nyaman. Hawa sejuk disini menusuk kulit, udara disini sangat dingin.
Di tempat ini hanya kami berdua, ditemani pepohonan rindang, rumput-rumput yang menghijau, kelinci putih dan coklat, yang berlarian. Diujung sana juga terdapat bunga berwarna-warni. Aaahhhh, aku sangat menyukainya.
Aku harus berterimakasih pada Trisya, berkat paksaannyalah aku berada disini. Yah kalian tahulah dia punya seribu satu cara untuk membuatku dekat dengan kakaknya ini. Tapi untunglah Ferel tak pernah mengungkit tentang perjodohan yang Trisya katakan padaku. Entah dia tak ingin membahasnya dulu, atau memang dia tidak tahu.
Sayangnya siang nanti aku harus segera kembali, karna sebelum pagi tadi berangkat kesini Stella lebih dulu menelponku menyuruhku ke hause painting . Awalnya aku bersyukur karna tak perlu berlama-lama dengan Ferel, tapi sekarang aku menyesal karna waktuku hanya sedikit berada di tempat ini. Apalagi matahari telah naik sedari tadi, perjalanan kesini juga memakan waktu 2 jam lebih.
Aku dan Ferel saat ini berada di-bawah di-salah satu pohon besar disini. Kami berdua duduk hanya beralas rumput. Mataku tak henti menatap beberapa ekor kelinci yang berlarian. Mereka imut sekali, tapi aku takut pada mereka. Sebenarnya tidak benar-benar takut, hanya saja aku tak berani menyentuh kelinci, jika kelinci itu tidak di pegang seseorang.
"Kau, suka kelinci?"
"Ha? Em, Maaf aku tak mendengar tadi! Kau bilang apa barusan?"
"Kau, suka kelinci?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Move On (TAMAT)
RomanceDia datang lagi setelah hampir setahun aku berusaha melupakannya. Membuat kenangan dulu kembali terngiang di ingatanku. kenapa harus sekarang? disaat hatiku masih belum bisa menentukan siapa yang terbaik untukku. aku harus memilih 2 lelaki yang sama...