Chapter 16

325 17 1
                                    

    Semenjak kejadian dimana Ferel menyatakan bahwa dia menyukaiku, aku menjadi banyak diam. Beban pikiranku semakin bertambah.

Bagaimana dengan perjodohan ini? Sedangkan hubunganku dengan ayahku tidak baik-baik saja. Kadang-kadang aku berpikir harus melawan egoku, tapi di sisi lain aku begitu masih sakit hati.

Tapi aku begitu merindukan ayahku. Dengan tekad kuat aku mengambil ponselku di atas nakas. Menekan tombol menghubungi ayah,

"Hallo, siapa ini?" Terdengar suara wanita di sebrang sana.

Aku menarik napas dan menghembuskan secara perlahan, "Dimana ayahku? Berikan ponselnya pada ayahku!"

Ku rasa dia tahu bahwa aku tidak menyukainya, tanpa menjawab dia seperti tergesa-gesa mencari keberadaan ayahku.

"Hallo, nak." Sahut ayahku di ujung telepon. Mataku tiba-tiba saja terasa panas, mungkin aku merindukan sosok ayahku yang hampir satu tahun dua bulan tidak aku temui.

"Hallo, ayah. Bagaimana kabar ayah?"

"Ayah baik nak. Bagaimana denganmu? Kau senang di America nak?"

Bulir-bulir air mata membasahi pipiku, walau aku sudah berlaku jahat padanya, dia masih baik kepadaku.
"Aku baik ayah," kataku sambil terisak kecil. "Dan aku senang berada di America. Dimana Bella?"

"Jangan menangis nak, bukanya kau bilang kau bahagia. Lalu kenapa menangis?"

"Aku bahagia ayah, aku hanya...sedang merindukanmu," ujarku dengan napas sedikit tak beraturan akibat aku semakin terisak.

"Oh, ayah juga merindukanmu anakku, sudah-sudah jangan menangis." Kata ayahku menenagkankan. Aku tahu saat ini ayahku juga sedang menangis tapi dia pandai menyembunyikan suara tangisnya.

"Bella sudah jarang kesini semenjak ayah menikah." Kata ayahku lagi.

"Keterlaluan, Bella. Aku akan menghubunginya nanti."

"Tidak perlu nak, kalian selalu bertengkar, ayah tak ingin anak ayah bertengkar!"

Aku tersenyum masih dengan keadaan terisak, tapi tidak sekencang tadi.

"Baiklah, ayah. Ayah, apakah ayah.....bahagia?" Kataku takut-takut. Aku tak pantas menanyakan ini baru sekarang bukan? Tapi aku hanya ingin mendengar bahwa ayah bahagia, agar aku bisa mengikhlaskannya mulai sekarang.

"Ya, ayah bahagia, apalagi kau mau menghubungi ayahmu ini." Kata ayah senang, "Maafkan ayah nak, ayah tak memberitahumu bahwa ayah akan-"

"Aku sudah memaafkannya ayah," potongku dengan cepat, "Aku seharusnya yang meminta maaf." Air mataku kembali mengalir dengan deras tanpa ku inginkan.

Ayahku meminta maaf kepadaku, padahal akulah yang egois tak mengerti keadaan ayahku. Benar kata Bella, ayah butuh teman.

"Ayah, aku merindukanmu." tangisku meledak sudah, aku tak dapat membendung rasa rindu yang selama ini ku tahan.

"Ayah juga merindukanmu nak," kata ayah juga ikut-ikut terisak, "Sudah jangan menangis!"

"Aku egois ayah, harusnya akulah yang meminta maaf."

"Tidak nak, ayahlah yang salah. Berbahagialah nak, semoga kau cepat menemukan jodohmu,"

"Amin tuhan. Doa ayah yang paling mulia pasti di dengar tuhan," saat ini aku merasa  sedikit melega, setidaknya masalahku berkurang satu.

"Nak kau tidak ingin berbicara dengan istri ayah?" Kata ayah dan langsung membuatku kebingungan. "Tidak ayah. Aku berharaf kalian bahagia."

"Baiklah nak, ayah mengerti perasaanmu, kau sangat menyayangi ibu kandungmu."

Move On (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang