D12. Sensitif

264 18 0
                                    

Akira Ayuningsih. Dari semua indera di wajahnya dapat terlihat bahwa wanita ini bukanlah wanita asli Indonesia. Wanita dengan hidung mancung, alis tebal dan bibir kecil merah muda merupakan wanita keturunan sunda-arab yang lahir dan besar di Indonesia. Kulitnya putih berkilau jika ditimpa sinar matahari, hasil dari perawatan yang membutuhkan biaya tidak sedikit.

Tubuhnya tidak mungil, seperti kebanyakan mojang sunda lainnya. Sebaliknya. Lebih tinggi dari rata-rata tinggi perempuan di Indonesia, mengikuti gen arab yang mengalir di tubuhnya. Rambut pirang alaminya selalu Lika lihat dibiarkan tergerai lurus, tanpa ada rambut halus yang menyembul minta dirapikan.

Lika mengenalnya sebagai salah satu tetangga kosannya ketika berkuliah. Teman seangkatan Gara sekaligus teman satu kosan Lika dan Gara yang hari ini baru Lika ketahui merupakan salah satu partner Gara di law firm milik senior Gara dimana Gara bekerja secara paruh waktu disana.

Lebih dari tiga jam setelah makan malam mereka bertiga berakhir. Saat ini Lika duduk di kasur Gara, menscroll media sosial miliknya dengan wajah ditekuk. Kakinya bergoyang-goyang sembarangan. Setiap beberapa menit, pandangannya tertuju kepada Gara dan Akira yang sedang duduk membelakanginya, menghadap sebuah meja yang dijadikan meja kerja oleh Gara. Sebelumnya, Gara dan Akira sudah meminta izin kepada Lika untuk membicarakan masalah pekerjaan mereka berdua.

Lika sudah sangat bosan. Gara dan Akira benar-benar fokus dalam mendiskusikan pekerjaan mereka. Tidak sedetikpun salah satu dari mereka mengajaknya mengobrol ataupun sekedar menolehkan kepala. Seakan Lika tidak ada diantara mereka.

Suara Akira terdengar mendominasi pembicaraan mereka. Sesekali Gara menimpalinya dengan memberikan pendapatnya mengenai penyelesaian apa yang akan mereka lakukan agar kliennya memenangkan kasus ini. 

Hanya satu jam pertama saja ponselnya berhasil mengusir rasa penat yang menghampirinya. Lika disibukkan dengan membalas line dan komentar dari teman-temannya di sosial medianya. Setelah itu hingga saat ini Lika hanya menscroll asal layar ponselnya. Sesungguhnya diabaikan seperti itu rasanya sangat tidak enak.

"Ada lagi yang mau kamu tanyakan?"

Lika mengalihkan pandangannya dari layar ponsel ke dua sosok yang duduk di hadapannya. Akira terlihat sedang memasukkan ipad ke dalam tas tangannya.

Akira menggeleng, "Enggak ada, Gar. Semuanya sudah jelas."

"Oke. Kalau ada pertanyaan lagi kamu bisa line atau telepon aku." Gara beranjak dari kursinya disusul Akira tidak lama kemudian.

Mereka serasi juga kalau dilihat dari belakang, batin Lika.

"Thank you, Gar." Ucap Akira dengan suara lembutnya. Nada suara yang sering Lika dengar dari masyarakat asli kota Bandung, tempatnya berkuliah.

"Sama-sama."

Akira menoleh ke kanan, menatap Lika yang sedari tadi, Akira tahu terus memperhatikan mereka berdua, "Lika, aku pulang dulu ya. Sorry udah ganggu kamu sama Gara."

Lika beranjak dari posisinya, "Terima kasih makan malamnya, Kak." Kondisi kamar Gara yang tidak terlalu luas membuat Lika tidak perlu berjalan mendekati Akira untuk mencium pipi kanan dan kirinya. Begitu Lika beranjak dari kasur Gara, tubuhnya akan berhadapan langsung dengan tubuh Akira.

"Sama-sama."

Ketiganya berjalan perlahan menuju pintu kamar dengan Gara berada di paling depan, membukakan pintu untuk Akira.

"Gar, aku balik ya. Cepat sembuh."

Gara tersenyum singkat, "Hati-hati, Kir."

Akira mengangguk. Tubuhnya berbalik, berjalan beberapa langkah sebelum hilang menuruni tangga menuju lantai 1. Yakin bahwa Akira tidak akan berbalik lagi, Gara menutup pintunya, berjalan menuju meja kerjanya untuk membereskan kertas-kertas hasil diskusi yang berantakan di meja.

distanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang