Seorang wanita berjalan tergesa-gesa di sebuah lorong rumah sakit yang sepi. Dengan hanya mengenakan sebuah kaus putih kebesaran dan jeans ukuran tujuh-perdelapan, wanita itu menguncir asal rambut sebahunya. Pikirannya saat ini hanya tertuju pada satu nama. Satu nama yang sangat dikhawatirkannya hingga membuat dirinya memacu kecepatan mobilnya diatas 80km/jam.
Bermodalkan informasi yang diterimanya dari Davian, langkah kaki Lika berhenti di depan sebuah ruangan UGD yang berada di lantai 2 rumah sakit swasta itu. Dari kejauhan Lika melihat lampu yang menyala dan pintu yang tertutup sangat rapat, menandakan bahwa Egi masih berada di dalam ruangan dan masih diperiksa oleh dokter.
Lika menyenderkan tubuhnya di dinding bewarna biru cerah. Kedua matanya terpejam. Dalam hatinya memanjatkan doa agar Egi baik-baik saja.
"Ka?"
Lika merasa pundaknya ditepuk pelan bersamaan dengan seseorang memanggil namanya. Lika membuka matanya dan refleks memeluk erat sosok yang menepuk pundaknya.
"Gimana keadaan kak Egi, Pen?" Lirih Lika bertanya dalam pelukan Penny.
"Egi masih ditangani di tim dokter. Kita doakan yang terbaik untuk Egi ya." Bisik Penny, menuntun Lika untuk duduk di bangku kayu panjang yang disediakan rumah sakit, tidak jauh dari tempat mereka berdiri.
Entah berapa lama waktu yang mereka habiskan untuk menunggu berakhirnya pemeriksaan Egi. Mulut mereka memang tidak mengeluarkan sepatah katapun namun dalam hati mereka tidak berhenti memanjatkan doa agar Egi tidak kenapa-kenapa.
Dari Davian Lika tahu bahwa Egi mengalami kecelakaan beruntun saat perjalanan pulang menuju apartemennya. Mobil yang Egi gunakan menabrak sebuah mobil yang berhenti mendadak di depan mobilnya dan hanya berselang hitungan detik mobil Egi ditabrak oleh mobil lain dari belakang membuat posisi Egi terjepit di tengah.
Hingga saat ini pihak berwajib masih mencari tahu alasan mobil di depan Egi berhenti mendadak. Bulu tengkuk Lika meremang saat Davian menceritakan kronologi kecelakaan yang menimpa Egi, membuat Penny semakin mempererat dekapannya.
Pintu ruangan UGD terbuka. Lika segera beranjak dari duduknya, mendekati pintu ruangan itu. Sebuah ranjang yang menopang tubuh Egi didorong pelan oleh dua orang, di sisi yang berlainan. Berbagai alat bantuan untuk menopang kehidupan Egi terpasang di wajah dan tangannya. Sekilas, Lika melihat wajah Egi.
Baru beberapa jam berlalu dari pertemuan Lika dan Egi hari ini radio Garuda. Wajah riang dan jahil milik Egi yang selalu dimunculkan Egi saat mengobrol dengan dirinya, kini kaku dan tidak berekspresi. Wajah Egi yang penuh luka lebam dan perban membuat Lika menutup mulutnya dengan kedua tangannya, terlalu kaget untuk melihat perubahan di wajah Egi.
"Bagaimana kondisi Egi, Dok?" tanya Penny pada seorang wanita saat ranjang Egi sudah memasuki lift untuk dibawa ke ruangannya.
Meskipun semua orang yang keluar dari ruangan UGD mengenakan seragam yang sama, Penny bisa mengenali wanita itu sebagai dokter karena sebelumnya wanita itu sudah memperkenalkan diri saat meminta izin memeriksa Egi.
Dokter wanita itu terlihat menurunkan maskernya, menampakkan senyumannya yang sudah muncul saat masih tertutup oleh masker, "Syukurlah Egi bisa melewati masa kritisnya. Kita hanya bisa mendoakannya agar pasien segera sadar."
"Tapi dia akan baik-baik saja kan, Dok?" Lika bertanya dengan kedua mata penuh harap. Tangannya mengenggam erat kedua tangan dokter itu.
Sebuah senyum muncul kembali di wajah dokter wanita paruh baya itu, sebuah senyuman mengerti bahwa wanita di hadapannya ini sangat khawatir dengan sosok yang ditanganinya tadi, "Saya sudah melakukan yang saya mampu untuk menolong suami, Ibu. Sisanya kita serahkan kepada Sang Pemilik Kehidupan ya, Bu."
KAMU SEDANG MEMBACA
distance
ChickLitDistance /'distans/ noun an amount of space between two things or people; verb make (someone or something) far off or remote in postion or nature. Ketika kata setia tidak hanya sekedar diucapkan di mulut saja melainkan juga menepatinya...