Keesokan harinya, Lika dan Gara bertingkah layaknya dua orang yang dipaksa berbagi satu ruangan. Lika masih melayani segala keperluan Gara. Menyiapkan sarapan pagi hingga makan malam dan juga membersihkan rumah. Termasuk mencuci selimut dan seprai yang digunakan Akira dan Gara secara bergantian. Meskipun Gara tidak absen untuk membantu Lika saat membersihkan rumah namun tidak ada percakapan yang tercipta di antara keduanya. Keduanya sepakat untuk menutup mulutnya dan bekerja dalam diam.
Sudah dua minggu dari malam perdebatan itu, Lika dan Gara belum berkomunikasi sama sekali. Tidak ada satupun dari keduanya yang mau menurunkan ego dan memulai untuk sekedar menyapa. Perlakuan seperti itu bukan sesuatu yang baru untuk Lika. Lika sudah terbiasa tidak mendapat kabar dari Gara seperti sebelumnya. Lika sudah tidak perduli. Hatinya sudah terlalu banyak luka digores perlakuan Gara dan Zoana. Meskipun ada sedikit perasaan tidak rela yang tercipta jika Gara bertemu dengan Akira.
Akira. Ah nama itu lagi.
Seandainya dulu Lika tidak pernah mencuri dengar percakapan Akira bersama Gara, mungkin nama itu tidak akan terlalu sering menjadi pupuk perdebatan di antara dirinya dan Gara.Lika ingat hari itu adalah hari ulang tahun Gara ke-25. Meski bukan hari libur, Lika menyempatkan datang ke Jakarta setelah siarannya selesai. Namun niat Lika untuk merayakan ulang tahun Gara di salah satu kafe daerah Bintaro terpaksa Lika batalkan saat mengiyakan permintaan Gara untuk menyusulnya ke tempat makan di dekat kantor Gara.
"Aku sayang sama kamu, Gar."
Tinggal beberapa langkah dari tempat Gara duduk, kedua kaki Lika seketika terhenti saat mendengar pernyataan secara langsung keluar dari mulut Akira. Posisi duduk Gara yang membelakanginya membuat hanya Akira yang bisa melihat kedatangannya. Dua pasang mata Lika dan Akira sempat bertemu sebelum pernyataan itu keluar dari mulut Akira, namun itu tidak mampu menghentikan keinginan Akira menembak Gara.
"Terima kasih, Kira. Tapi seperti yang kamu tahu, Aku sudah berpacaran dengan Lalika."
"Aku tahu. Aku hanya menyampaikan apa yang aku rasakan. Hampir delapan tahun aku mengenal kamu dan aku tahu pengakuan barusan tidak akan mengubah pilihan kamu. Satu hal yang ingin aku tanyakan ke kamu." Akira melirik Lika sekilas sebelum melanjutkan kembali kalimatnya, "Kalau saja kamu tidak mengenal Lika, apakah aku punya kesempatan untuk bersama kamu?"
"Mungkin iya, Kir." Jawab Gara cepat.
***
Sepasang mata Lika melebar saat membaca nama penelepon yang tertera di layar ponselnya. Tak berniat membuat penelepon menunggunya lama, tangan kirinya meraih ponsel yang tergeletak di paha kirinya.
"Halo, Bu." Setelah menarik nafas panjang, Lika menyambut sambungan telepon dengan nada suara senormal mungkin.
"Kamu dimana?"
"Saya lagi di jalan pulang sehabis siaran, Bu."
"Jam berapa sampai di rumah?"
"Kalau tidak macet, mungkin sekitar dua puluh menit lagi, Bu. Ada apa, Bu?"
"Saya sekarang ada di rumah kalian bersama Gara. Telepon saya kalau kamu sudah sampai di depan pintu. Biar saya bukakan pintunya untuk kamu."
Kedua alis Lika bertemu saat mendengar kalimat Zoana barusan. Seingatnya, belakangan ini tidak ada stasiun televisi yang menyiarkan bahwa waktu kiamat sudah dekat. Tapi kenapa sikap Zoana mendadak berubah baik kepadanya?
Sempat kebingungan, Lika akhirnya hanya mengiyakan permintaan Zoana dan memutuskan sambungan telepon. Sebenarnya Zoana tidak perlu epot melakukan hal itu karena Lika selalu membawa kunci di tasnya. Kalaupun Lika kesulitan membuka pintu, Lika bisa meminta bantuan kepada Gara.
![](https://img.wattpad.com/cover/97001518-288-k257214.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
distance
Literatura FemininaDistance /'distans/ noun an amount of space between two things or people; verb make (someone or something) far off or remote in postion or nature. Ketika kata setia tidak hanya sekedar diucapkan di mulut saja melainkan juga menepatinya...