Kedua alis Gara tertaut saat membaca nama penelepon di layar ponselnya. Tidak seperti biasanya, Egi meneleponnya disaat hari kerja dan sudah pasti tidak ada Lika di sisinya. Kebingungannya bahkan membuat Gara melupakan rasa laparnya dengan meletakkan sendok di piringnya untuk mengangkat sambungan telepon Egi dengan tangan kanannya.
"Halo."
"Anggara."
Gara bisa merasakan perbedaan nada suara di panggilan namanya barusan. Nada ramah yang selalu dikeluarkan Egi saat Lika di sisi Gara kini berganti dengan nada penuh amarah yang berusaha Egi tahan.
"Ada apa, Gi?" Sahut Gara dengan nada tenangnya. Berusaha tidak terpancing dengan suara Egi.
"Enggak perlu basa-basi. Gue enggak mau ganggu kesibukan lo. Gue nelpon lo untuk mengingatkan perkataan lo sama gue tentang Lika."
Gara mengurut pelan batang hidungnya. Seharusnya Gara sudah tahu dari awal ke arah mana pembicaraan Egi saat ini. Apalagi kalau bukan yang berhubungan dengan Lika, istrinya.
"Gue masih ingat." Jawabnya cepat.
"Bagus kalau lo masih ingat. Tapi apa lo melakukan apa yang lo ingat itu?"
"Gue berhak tidak menjawab pertanyaan lo barusan."
"Kenapa? Karena lo tahu kalau jawaban dari pertanyaan gue tadi adalah enggak."
"Itu bukan uru--
"Itu urusan gue, Gar!" Sanggah Egi cepat, "Apapun yang berkaitan dengan Lika, itu urusan gue. Kalau lo enggak bisa membuktikan perkataan lo yang kemarin gue siap untuk melakukannya."
Tut.tut.tut.
Kalimat terakhir yang dilontarkan Egi sebelum memutus sambungan teleponnya menyeruakkan sedikit rasa takut di hati Gara. Takut jika Egi benar-benar membuktikan kalimatnya. Ingatan mengenai cerita Lika terlintas di kepalanya. Ketika mereka berpacaran saja, Egi pernah melakukan sesuatu dengan tujuan memisahkan keduanya.
"Kontrak satu tahun?"
Sepasang netra Lika menatap tak percaya Egi yang duduk di hadapannya. Tak percaya tangannya kini mengenggam beberapa lembar kertas bertuliskan 'kontrak kerja' di bagian tengah atas kertas halaman pertama.
"Yap." Egi menjawab enteng sebelum menghirup sebatang racun yang baru disulutnya.
"Ini serius?"
"Serius." Kedua tangan Egi kini Egi letakkan di atas meja yang memisahkannya dengan Lika. "Tanda tangani kalau lo setuju. Kembalikan kertas itu kalo lo nggak setuju. Sekarang juga, Ka. Gue enggak bisa ngasih waktu lama untuk lo berpikir." Desak Egi.
"Tapi kenapa tiba-tiba pakai kontrak, Kak? Gue udah bertahun-tahun kerja sama lo dan selama itu lo nggak pernah membahas mengenai kontrak. Gue bingung, kenapa tiba-tiba lo ngasih kontrak ke gue?"
"Gue cuma mau memperlakukan sama semua karyawan di garuda. Selama ini lo, Penny dan Andra kerja sama gue tanpa kontrak apapun. Gue enggak mau karyawan lain menganggap gue berlaku enggak adil karena kalian bertiga adalah teman gue. Hari ini lo, besok dan lusa gue akan mengajukan kontrak yang sama ke Penny dan Andra."
Lika mengangguk mengerti. Alasan yang diutarakan Egi wajar dan dapat diterima akalnya. Terjawab sudah pertanyaan yang ada di kepalanya. Lika diam sebentar, menimang-nimang kertas di tangannya, "Oke." Tanpa niat untuk membaca dan memikirkan lebih lama lagi, Lika membubuhkan tanda tangannya di selembar kertas di genggamannya.
Selesai menandatanganinya, jemari tangan kanannya membuka lembaran berikutnya, dan membaca satu persatu poin dalam kontrak. Saat memasuki poin ke sepuluh, matanya mengerjap berkali-kali, memastikan apa yang tertera di kertas itu tidak berbeda dengan yang dikatakan Egi.
KAMU SEDANG MEMBACA
distance
ChickLitDistance /'distans/ noun an amount of space between two things or people; verb make (someone or something) far off or remote in postion or nature. Ketika kata setia tidak hanya sekedar diucapkan di mulut saja melainkan juga menepatinya...