Hari Jumat pagi, Ara sudah dalam keadaan unmood.
"Udah, gak usah dibangunin. Kamu duluan gih, entar telat lagi."
Suara Sisil—Mama Ara, terdengar. Wajah Ara bahkan sudah ketat, berusaha meredam emosi. Renia, kakaknya tak henti-henti membuat rasa kesalnya tersulut.
"Mau Papa antar?" Razka menghampiri Ara dengan setelan jas dan celana bahan serta dasi navy yang sudah tertata rapi. Jangan lupakan, bahkan masih dirumah saja Papanya sudah menggunakan kacamata rayban hitam.
"Gak usah, Pa." Ara mendengus kesal kemudian meneguk teh hangat yang dibuat Mamanya, lantas menyalim tangan kedua orang tuanya.
"Gak sarapan, Ra?" Sisil menaikkan alisnya dengan tatapan bertanya yang dijawab gelengan pelan Ara,
"Gak ma, Ara gak mau telat lagi."
Sisil hanya mengangguk pelan menanggapi ucapan Ara, ia tersenyum dalam diam mengingat sifat anaknya yang sangat bertolak belakang. Sifat kebo Renia memang sulit dihilangkan.
"Araa!!! Kok lo nggak bangunin gue sih?!" tiba-tiba Renia turun dari anak tangga, bahkan masih mengenakan piyama tidur yang kusut.
Ara memutar bola mata kesal, "Ma, Pa, Ara berangkat, assalamualaikum." ucapnya dengan nada datar.
"WOI, AELAH TUNGGUIN."
Ara tak menoleh, ia tetap melangkah mengacuhkan kakaknya yang sudah ribet sendiri, "Bodo." serunya sengaja dengan suara keras agar Renia mendengar, kemudian masuk kedalam bangku pengemudi.
Sambil menyetir, Ara menghela nafas berkali-kali, salahkah ia jika ingin Renia kembali ke perut mamanya?
Lalu tangan kiri Ara beralih menyalakan tape agar mobilnya tak terlalu sunyi, sekalian Ara ingin bersenandung kecil sekiranya dapat menghibur diri.
Alunan lagu terputar dari sebuah saluran radio terkenal, tubuh Ara menegang. Bahkan air matanya ingin melesak keluar, namun percayalah tak ada setitik air pun dipelupuk matanya. Hatinya yang menangis.
D-dont let me down, don't let me down, Don't let me down, down, down....
Saat bagian reff mengalun indah, tangan Ara langsung terangkat. Ia mematikan tape, batinnya berulang kali menyumpah serapahi radio tersebut.
Lagu itu membuatnya teringat secercah kecil kenangannya.
****
"Dont let me down, down, down.."
Alva tak henti-hentinya menyanyi, tak apa kalau suaranya merdu, tapi suara Alva yang sekarang terkesan terlalu dipaksa. Seperti ada unek-unek yang ingin dikeluarkan oleh Alva.
"DONT LET ME DOWN UOOOOO.."
Bahkan Alva sampai menutup matanya saat mendengar suaranya sendiri, "E buset, suara gue menggelegar badai halilintar."
Alva menggeleng kecil kemudian meraih botol air mineral disamping tas ranselnya. Meneguknya sedikit demi sedikit, tenggorokannya terasa tercekat, padahal ia baru menyanyi sebentar.
Oh Alva, wajar, suaramu mengalahkan toa mesjid.
Setelah meneguk air tersebut, fokus Alva kembali penuh. Memang benar, meminum air mineral dapat menambah fokus, sampai sekarang satu pertanyaan berputar-putar dibenak Alva.
"Kok lagunya familiar ya?"
Alva tertegun, mencoba mengingat-ingat namun ia gagal. Memang ia lemah dalam daya ingat, tak heran Alva dijuluki pikun oleh mamanya.
Matanya agak menyipit, ternyata ia sudah sampai diparkiran. Dan senyumnya kembali merekah saat melihat Ara baru saja keluar dari mobil mini warna biru laut.
"Oh, gue ingat!"
****
"Alva! maju kedepan!"
Alva meneguk ludah kasar, kemudian menaikkan alisnya sebelah saat melihat Bu Azwa-wali kelasnya berdiri sambil berkacak pinggang.
"Kok saya bu?"
Bu Azwa menggeram tertahan, tangannya meraih kacamatanya lalu memijit pangkal hidung karena rasa penat.
"Cepat, gak usah banyak cincong kamu!"
Alis Alva tertaut, karena tak ingin melawan lagi Alva akhirnya mengalah. Dengan gontai, kakinya beranjak kearah meja guru.
"Ada ap—"
"KAMU YA, BANYAK GURU LAPORAN SAMA SAYA KALAU KAMU SERING TIDUR DIKELAS!"
"Astaghfirullah.." gumam Alva sambil mengusap-usap telinganya. Alva mendengus kesal karena suara petir Bu Azwa membuatnya sudah mundur beberapa langkah ke belakang.
"Saya gak salah bu! Namanya ngantuk, kalau ngantuk ya tidur!" sahut Alva mengundang tawa seisi kelas. Ara yang memperhatikan hanya bisa pura-pura tak peduli. Gadis itu lalu melanjutkan kegiatan meringkas yang diberi gurunya.
"Ngelawan aja kamu! Saya tegaskan ya, ini sekolah! Kalau kamu mau tidur, ya pulang saja."
Alva terkekeh, "Ya maunya juga gitu, bu. Tapi gak dibolehin satpam."
Wajah Bu Azwa langsung memerah, dadanya naik turun. Ekspresinya juga kentara, Bu Azwa sedang marah sekarang. Alva tau, tapi Alva tak ingin terlalu dipengaruhi keadaan, mendingan santai saja.
Menghela nafas jengah, Bu Azwa menatap sengit murid dihadapannya, "Kamu saya pindah tempat duduknya, jangan dipojok lagi entar kamu tidur lagi."
Alva melongo, hendak protes, "Yah jangan dong bu—"
"Naya, kamu pindah ke belakang, Alva kamu duduk sama Ara!"
Mata Alva sontak membulat, "Wah—gak jadi protes saya bu, Bu Azwa memang guru ter-dabes yang saya kenal, love you to the moon and back ibu!"
Bu Azwa hanya mengedikkan bahu acuh, ia menatap Ara yang terlihat biasa saja, tatapan Ara lurus kedepan bahkan tak minat menatap guru dan murid yang sedang adu cekcok didepan kelas.
Tentu telinga Ara tidak tuli, ia mendengar dengan jelas. Namun ia coba mengenyahkan itu, raut wajahnya dibuat setenang mungkin padahal Ara sudah memaki wali kelasnya didalam hati.
Jahanam emang, gerutu Ara dalam hatinya.
Alva langsung melangkah dengan langkah besar, ia senang akan duduk bersama Ara. Kesempatannya untuk mendekat—oh, untuk menjahili Ara semakin terbuka lebar.
Dengan semangat ia meletakkan bokongnya diatas kursi bekas Naya, "Well, hai chairmate, gak niat jadi soulmate gue?"
Ara menghela nafas lelah, lalu menumpukan kepalanya diatas lipatan tangan.
This is more than just a nightmare, well, welcome hell.
•••
Eumm, ada apa ya diantara Ara-Alva?
Penasaran gak sih, guys?
Nanti juga terungkap, selaw aja santaii. Wqwq, yowes, enjoy❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Be My Home
Teen Fiction[REVISI SETELAH TAMAT] Ini tentang Ara. Bagaimana rasanya dikelilingi cowok-cowok tampan yang baik hati dan tulus? Sayang, masa lalu Ara membuatnya terkurung. Hatinya dingin, beku dan seolah mati rasa. Bukan bahagia ketika dia menjadi rebutan orang...