Ketika waktu sudah memaksa untuk melepaskan, namun hati masih berat untuk meninggalkan. Yang bisa dilakukan hanyalah mengharap adanya keajaiban.
***
Hari demi hari tlah terlewati. Masih jelas terekam dalam memori bagaimana payahnya meninggalkan dia. Bahkan, lelaki itu nekat terus merengek,
"Tan, biar Alva aja yang nemenin Ara..," pintanya terang-terangan pada Mama Ara saat mengantar Ara pulang seusai karaoke.
Namun, rengekan itu tak ada gunanya. Bukan kewajiban Alva untuk menjaga Ara, Alva tetaplah harus melakukan kewajiban sebagai murid walau sudah libur, juga akan lebih baik jika Alva menghabiskan waktu dengan keluarganya bukan?
Oh ya Tuhan, setiap mengingat rengekan itu kenapa Ara jadi senyum-senyum sendiri begini?
"Ra, kok mesem-mesem gitu sih?" kata Sisil yang entah sejak kapan sudah ada dihadapannya. Sedang menatap putrinya dengan tatapan heran.
Untunglah, Ara pandai mengontrol emosi dan raut wajahnya. Sedikit terlonjak kaget, namun wajahnya tetap kalem. Jemarinya menggaruk pelipis kikuk sambil tersenyum, "Gak papa, lagi ingat pamerannya berjalan lancar jadinya Ara seneng," ucapnya kemudian menyengir.
Hampir terlupakan, pameran Ara pun berjalan dengan lancar bahkan sangat lancar. Lukisan Ara bahkan laku terjual dengan harga yang bukan sedikit. Sertifikat pun sudah berada dalam tangannya. Baguslah, ini prestasi yang sangat gemilang. Orang tua juga sekolahnya juga sudah pasti sangat bangga.
Benar, memikirkan itu juga sudah membuat Ara tersenyum dalam diam.
Ternyata sekarang ada dua hal yang bisa membuat Ara tersenyum sendiri.
Pameran dan Alva.
Dikamar hotelnya, hanya tinggal Ara sendiri. Mamanya izin pamit untuk berbelanja katanya, sedangkan saraf otot Ara sama sekali belum lurus. Tubuh Ara masih sangat lelah. Sambil memandang langit kamarnya, Ara lagi-lagi tersenyum.
Hey, Ara! Apa harus pergi ke psikiater?
Tentu tidak. Tanpa sadar, Ara juga ikut menggeleng. Lagi-lagi Ara memikirkan Alva, sedang apa dirinya sekarang?
Ah iya! Sudah 3 hari Ara tidak memegang ponselnya. Mana ponselnya itu sekarang? Dengan rasa ingin tau yang sangat besar, Ara bangkit dari kasurnya dan mulai mengobrak-abrik nakas demi menjumpai benda pipih itu.
Didalam laci, Ara melihat benda pipih berwarna gold, huh. Menghela nafas lega, tangan Ara meraihnya dan mulai mengaktifkan ponselnya. Tak perlu waktu lama, layar hpnya sudah kembali hidup. Dan untuk kesekian kalinya, senyum Ara kembali terbit disaat notifnya dipenuhi oleh pesan-pesan dari Alva.
"Ra, kangen:("
"Vc kuy?"
"Lo kemana sih?"
"Harusnya gue yang nemenin lo tuh!"
"Ra!"
"Oey, mantan!"
"Always waiting u, hm."
KAMU SEDANG MEMBACA
Be My Home
Teen Fiction[REVISI SETELAH TAMAT] Ini tentang Ara. Bagaimana rasanya dikelilingi cowok-cowok tampan yang baik hati dan tulus? Sayang, masa lalu Ara membuatnya terkurung. Hatinya dingin, beku dan seolah mati rasa. Bukan bahagia ketika dia menjadi rebutan orang...