26-Priorities

91 16 100
                                    

Aku selalu menomor-satukan kamu, selalu berjuang keras untukmu. Aku tak peduli tentang kau yang selalu acuhkan aku. Pertanyaannya hanyalah, apa arti aku untukmu?

***

Cuaca hari ini cukup kondusif. Mungkin saja, karena sekarang masih pagi hari, lebih tepatnya masih jam 9 pagi. Seraya menggulir layar ponselnya, tangan jenjang Ara bergerak mencepol asal rambut sebahunya.

Sedangkan, Alva yang duduk dihadapannya sudah memasang muka khas mupeng. Meneguk salivanya susah payah, siapa yang berpikir jika gerakan keramat itu tidak indah? Rambut coklat gelap Ara kini diterpa sinar matahari, menghasilkan efek mengkilap pada setiap helaiannya.

Ara masih diam sampai akhirnya tangannya menjauhi rambutnya yang sudah dicepol asal. Sebenarnya ia tau, Alva sedari tadi memandangnya dengan tatapan memujanya. Hanya saja, Ara terlalu cerdas memainkan perannya. Bukan Ara namanya bila ia tidak pura-pura tidak peka.

Dilihatnya sekarang Alva sedang menggeleng samar. Bahkan dibalik fokusnya ke layar ponselnya, ujung mata Ara masih dapat menangkap baik bayang-bayang Alva dihadapannya. Sayangnya, Alva tak lihai memainkan gestur tubuhnya. Diam-diam, bibir Ara menahan sudutnya yang berkedut. Menahan senyumnya yang ingin merekah.

Keheningan mereka terpecah saat seorang gadis sepantaran anak SD membawakan dua mangkuk bubur ayam keatas meja mereka dengan senyuman lebar.

"Makasih ya adik, kamu unyu deh," ucap Alva dengan nada yang sok imut. Bibirnya melengkungkan senyuman manis membuat bocah tadi tersipu malu dan berlalu.

Dalam hati Ara menahan geli melihat Alva yang menggoda bocah tadi. Sisi lain, Ara membenarkan juga. Apalah arti pesona seorang Alva bila tidak dimanfaatkan dengan baik. Tapi ini salah! Sekarang Alva sudah mirip seorang pedofil yang menggoda anak-anak SD dengan senyuman manisnya.

"Idih, geli gue," gumam Ara pelan, mendengar itu Alva langsung menaikkan alisnya sebelah dengan sorot jenaka.

"Kalau cemburu bilang aja keleusss." sejurus kemudian ia terkekeh, mencoba mengabaikan plototan ganas Ara padanya.

Bibir Alva mengerucut sebal, "Dih jangan galak-galak dong, gue kan butuh hiburan setelah menemani ibu negara pergi bertamasya keliling keliling kota."

Bola mata Ara memutar malas sembari mendecih kesal, "Sampah."

Memang iya, mereka sehabis berjalan-jalan. Tadi pagi, Ara sampai di Indonesia pukul setengah 7 pagi. Ternyata ucapan Alva tak main-main, lelaki itu benar menjemputnya. Sedangkan Razka dan Renia juga berada disana, namun karena keberadaan Alva jadilah mereka hanya menjemput Mama Ara dan membiarkan Ara berduaan dengan Alva.

Bodohnya lagi, Alva mengajaknya pergi jalan-jalan. Bahkan dengan tubuh yang hampir remuk, Alva memaksanya agar menurut. Tak ada yang istimewa, mereka hanya berjalan-jalan, mengunjungi satu taman ke taman lain dan berakhir di warung bubur ayam sekarang.

Mendengar celetukan ketus Ara, Alva hanya terkekeh kecil, "Abisin buburnya, baru gue anter pulang."

Ara menghela nafas kesal sambil menyuap sendok buburnya, "Lo tuh ya, mau buat badan gue ancur terus mati ya?" tudingnya.

"Elah, ya kagak lah!"

Lidah Ara berdecak emosi, "Alah, gue tuh butuh tidur bukan butuh jalan-jalan."

"Dih biarin, nasi sudah menjadi bubur," balas Alva tak kalah dramatis, "Layaknya bubur ayam Mang Udin  kesayangan gue ini."

Tangan Ara refleks memukul meja dengan keras, namun tak membuat gaduh tentunya. Matanya menatap sengit Alva sembari mendengus keras,

Be My HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang