Rindu ini menyiksa. Dan jika terlalu lama, aku mulai takut kalau-kalau kamu kembali pergi. Maka menetaplah, aku membutuhkanmu.
***
Seusai melaksanakan ibadah shalat ashar, Alva langsung menginjakkan kakinya di balkon kamarnya. Menikmati semilir angin sore hingga membuat rambutnya yang berjambul turut tertiup. Seraya menengadah, Alva memikirkan Ara.
Bagaimana dia? Apa yang sedang dilakukannya? Apa dia senang? Bagaimana rasanya, apakah ia merasakan hal yang sama dengan Alva? Tidakkah Ara rindu dengannya?
Oh ya, Alva baru ingat jika tadi Ara menyatakan 'kangen' dengannya. Ah Alva bisa gila jika memikirkan itu terus.
Tangan besarnya kini dengan lincah memutar-mutar ponselnya. Kadang-kadang ia juga melempar lalu menangkapnya sebelum ponselnya jatuh terbanting mengenaskan. Saat sedang asyik melakukan kegiatannya, benda itu justru berdering membuat Alva terkesiap.
Mungkinkah itu.... Ara?
Tapi detik itu jugalah ia mendesah kecewa, bukan Ara yang menelponnya. Sambil mendecak kesal, ia menjawab panggilan itu.
"Iye, apaan?" kata Alva masih dengan kekesalan.
Seseorang di ujung sana justru tertawa, "Mantep disini, bro!"
Alva mendengus kesal, "Terus?"
"Berita baiknya gue besok pulangkan, ya udah gue kerumah lo ya?"
Mendengar itu, alis Alva langsung terangkat naik, "Apa? Lo mau kesini jemput kembaran lo 'kan?"
Suara disebrang sana malah terkekeh, "Males, dia mah maunya lengket sama lo terus."
"Bawa dia pergi deh, gak minat gue."
Sosok yang menelpon Alva mendecih angkuh, "Gak Al, gue selama liburan kan sama lo, dan kemungkinan terbesarnya juga Mama gue bakal pindah kesini lagi terus gue satu sekolah sama lo."
Alva mendesah pasrah, "Ya udah terserah deh, jangan lupa oleh-oleh gue."
"Siap!"
"Dah ah, gue mau bobok, bye..," balas Alva kemudian mengakhiri panggilan itu. Saat hendak menutup pintu balkon, satu hal terlintas cepat dipikirannya.
Mulut Alva melongo seketika, emosinya sudah mencapai ubun-ubun. Tak peduli lagi jika penghuni rumahnya mendengar ia sedang mengerang kesal.
Ia tidak boleh membiarkan sepupunya tadi pindah dan disatu sekolahkan dengannya.
Karena itu hanya akan membawa dampak buruk. Sudah cukup jelas bukan? Alva ingin berjauhan dengan Rabella, dan sepertinya bukan keputusan yang bagus bila kembaran cewek itu berada dalam satu lingkup dengannya.
Pikiran Alva langsung kalut, astaga!
Jika sepupu tengilnya berhasil satu sekolah dengannya, otomatis Bella juga akan..
Ah, tidak akan Alva biarkan!
***
Gadis berambut panjang berwarna coklat terang itu tersentak saat tiba-tiba pintu kamarnya diketuk-bahkan digedor.
"Keluar, gue mau ngomong!" tegas Alva dengan suara dingin.
Bella yang tadinya sedang menggulirkan jemarinya diatas layar ponsel langsung meneguk saliva dengan kasar. Alva meminta waktu untuk berbincang? Tapi bukankah Alva membencinya..?
Ah Rabella, bodoh! Harusnya dirimu cepat membuka pintu atau macan diluar sana akan mengamuk!
Dan tepat, saat Bella ingin bangkit dari kasurnya, pintunya kembali didorong.
KAMU SEDANG MEMBACA
Be My Home
Teen Fiction[REVISI SETELAH TAMAT] Ini tentang Ara. Bagaimana rasanya dikelilingi cowok-cowok tampan yang baik hati dan tulus? Sayang, masa lalu Ara membuatnya terkurung. Hatinya dingin, beku dan seolah mati rasa. Bukan bahagia ketika dia menjadi rebutan orang...