34-Enemy

87 9 21
                                    

Seseorang yang kau lupakan bisa jadi yang mengingatmu paling banyak. Contohnya, aku. Aku yang kau lupakan dan yang paling banyak mengingatmu.

***

Pagi ini tak seperti pagi-pagi biasanya. Jika pagi-pagi sebelumnya di rumah Alva akan ada kegaduhan, sepertinya itu pengecualian untuk kali ini. Benar-benar hening, hingga suara dentingan besi dari dapur terdengar hingga kamar Alva yang berada di lantai dua.

Alva adalah lelaki yang tidak pernah mencoba lintingan tembakau. Cowok itu anti dengan rokok, alasannya juga ia tidak ingin menyakiti atau membunuh dirinya sendiri. Dan ya, alasan terkuatnya juga.... karena Ara tidak suka pria perokok.

Maka saat pikirannya sedang kacau dan butuh pengalihan, Alva akan memilih opsi untuk bermain playstation sampai matanya sayu. Seperti sekarang, bermain sendiri dan sudah bosan dengan kemenangannya sendiri.

Tak ada minuman atau makanan, bahkan cemilan juga tidak ada. Alva benar-benar bermain ditemani kesunyian. Hanya saja, ia butuh pengalihan agar dadanya tak melulu sesak.

Kejadian kemarin, tentang Azka yang menyukai Ara benar-benar membuatnya kacau. Sepupunya sendiri bahkan bisa jadi saingan terbesarnya. Bukan tidak mungkin bila Ara membenci Azka, lelaki itu tidak bisa menaklukan Ara. Hey, dulu Ara juga membenci dirinya, bukan?

Saat ia mengutak atik stik, dan mengatur pemain agar menendang bola ke kandang lawan, pintu kamarnya terbuka.

Ceklek.

Alva tak menghiraukan siapa itu, ia terus melanjutkan permainan yang ia sendiri sudah bosan memainkannya itu.

Merasa tak dipedulikan, Azka berdeham. Keningnya berlipat menatap kantung mata Alva yang menghitam, matanya yang sayu. Penampilannya benar-benar mendeskripsikan satu kata. Yaitu, berantakan.

Suasana sekejap menjadi canggung, Azka menghela nafas panjang. "Boleh gue masuk?" tanyanya.

Raut wajah Alva sempat mengeras walau sedetik selanjutnya wajahnya berubah datar, ia mengangguk sekilas. Menyetujui agar Azka memasuki daerah privasinya.

Diam-diam, Azka sudah mempersiapkan mental. Jujur saja, detak jantungnya sudah porak poranda. Rasanya jantungnya ingin melompat keluar. Sekali lagi, Azka menghembuskan nafas samar, mencoba menetralisir kegugupan.

"Apa..." Azka menjeda, ia menelan salivanya susah payah lalu melanjutkan, "Apa... lo marah sama gue?"

Entah mengapa, telinga Alva langsung panas mendengarnya. Dibantingnya tanpa sadar stik PS yang sedari tadi ia remas kuat-kuat. Mendapat respon seperti itu, Azka berjengkit kaget. Ia mengelus dadanya penuh sabar sembari menatap sendu sepupunya.

Tiba-tiba, Alva terkekeh. Terkesan terpaksa kedengarannya, tapi Azka cukup lega mendengar tawa itu.

Alva menoleh dengan alis yang terangkat satu, "Apa gue mesti marah?" balasnya.

Azka mengedikkan bahunya pelan dengan raut wajah tegang, "Mungkin...?" jawabnya lebih menjurus ke bertanya pada dirinya sendiri.

Senyuman sinis lolos dari bibir Alva, ia tertawa renyah, "Kita sayang sama satu orang yang sama, Az. Menurut lo, gue mesti marah sama lo?"

Be My HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang