Hujan mencurahkan sakitnya, lewat tetes air yang jatuh seakan sedang menangis. Ketika hujan berhenti, belum tentu pelangi akan datang. Ia benar-benar mengerti jika perasaan takkan semudah itu untuk pergi.
***
Deru AC mobil yang keluar semakin menambah kedinginan disini. Apalagi, diluar sana langit sedang menangis terisak. Apa yang diharapkan oleh langit? Apa langit mengharapkan bumi agar dapat bersatu? Apa langit sore mengharapkan adanya bintang dan bulan bersamanya? Mengapa langit menangis hingga mengeluarkan suara gemuruh?
Sebegitu sedihnya kah?
Ara juga heran, bagaimana bisa saat hujan turun orang-orang sibuk berumpama jika air yang turun adalah tetes-tetes kenangan? Herannya lagi, Ara salah satu dari orang yang berumpama seperti itu.
Disaat Ara sibuk melihat tetesan air yang mengenai kaca mobilnya, ia juga berdecak sebal. Lagi-lagi, hujan membawanya terjebak kemacetan. Bahkan mobil yang dikendarainya hanya berjalan 1 meter lalu menyendat lagi.
Matanya menelusuri pinggiran jalan, banyak orang orang yang berbondong-bondong untuk mencari tempat berteduh. Belum siap rasa kesalnya karena terjebak kemacetan, matanya dimanjakan oleh pemandangan orang-orang yang mengambil kesempatan untuk bermesraan diatas motor bebek di dinginnya udara.
"Ck, gak modal."
Ara lalu menjalankan mobilnya lagi, keadaan jalan raya sudah agak lenggang sehingga ia dapat menyetir dengan kecepatan yang lebih dari yang sebelumnya. Suasana mobilnya sepi, ia mengendarai sendiri dalam mencekamnya cuaca. Bahkan tidak ada lagu slow yang biasanya menemani ia berkendara.
Berusaha fokus dan mengenyahkan banyak pikiran dalam benaknya. Konsentrasi yang penting jika ia tidak mau pulang tinggal nama.
Ara menggaruk kepalanya tiba-tiba, "Kenapa hujan ini selalu identik dengan kenangan? Apa konsepnya?" gumamnya pada dirinya sendiri.
Namun lamunannya pecah ketika benda pipih diatas dashboard berdering. Ara menggapai ponselnya, melihat Papanya menelpon. Tak tunggu lama, Ara mengangkat panggilan itu.
"Assalamualaikum Pa."
"Waalaikumsalam, Ra. Kamu gak latihan 'kan? Hujan."
Ara menggumam tidak jelas untuk pertanyaan Papanya. Latihan yang disebut Razka adalah latihan art untuk pamerannya 2 minggu lagi.
"Enggak, hujan jadi diundur mungkin." balas Ara sambil menggeleng walaupun ia tau Razka tidak bisa melihatnya.
Ara tau ini salah, harusnya ia tak menelpon saat menyetir namun Ara cukup fokus. Disebrang sana, Razka terus-terusan berceloteh, ia menceritakan jika Razka akan segera membangun toko kue untuk bisnis Sisil-Mamanya. Ara masih fokus, ia berdeoh senang lalu manggut-manggut menanggapi perkataan Razka ditelpon.
"Ra, kamu lagi nyetir ya?"
Dan disaat Razka mengatakan itu, Ara tepat sedang berbelok kiri saat menjumpai persimpangan tiga. Dan saat itu jugalah ia mengerem mendadak sampai ban mobilnya berdecit. Tubuhnya maju hingga kepalanya terpentuk.
"Aduh!" pekiknya.
"Raa? Are you okay?"
Sambil mengusap keningnya ia menghela nafas, "I'm okay, Ara tutup ya Pa, Assalamualaikum."
Lalu Ara melempar ponselnya ke dashboard sambil meminggirkan mobilnya disaat kendaraan lain sudah sibuk menggerutu dengan klaksonnya karena Ara berhenti mendadak.
"Sialan." umpat Ara, lalu mobilnya berhenti tepat 3 meter dibelakang gadis yang terduduk lemas diaspal sambil mengurai air mata. Dibawah guyuran hujan, sedang apa dia menangis?
KAMU SEDANG MEMBACA
Be My Home
Teen Fiction[REVISI SETELAH TAMAT] Ini tentang Ara. Bagaimana rasanya dikelilingi cowok-cowok tampan yang baik hati dan tulus? Sayang, masa lalu Ara membuatnya terkurung. Hatinya dingin, beku dan seolah mati rasa. Bukan bahagia ketika dia menjadi rebutan orang...