Kadang aku berpikir, untuk apa sebenarnya kamu menghindar? Untuk menyembuhkan luka atau hanya sekedar mengorek luka jauh lebih dalam lagi?
***
Pagi-pagi, Razka bilang ia harus pergi ke Jerman untuk urusan bisnis yang Ara malas sekali untuk mengerti. Maka jika Razka sudah pamit begitu, Ara akan merasa sedikit kesepian. Maklumlah, Papa gantengnya pergi jauh dan tinggalah Mang Alde-tukang potong rumput rumah Ara yang paling ganteng dirumah.
Renia? Renia diizinkan hari ini karena ingin pergi mempersiapkan bahan untuk keperluan festival bulan depan. Persiapan harus dilakukan sesegera mungkin, agar nanti saat jadwal ujian tidak bentrok dengan prepare acara.
Dan disinilah Ara sekarang. Ngejogrok diperpustakaan, membaca novel wattpadlit yang diborongnya minggu lalu. Perpustakaan sepi, hanya ada Ara dengan penjaga perpustakaan beserta siswa atau siswi yang dijuluki nerd karena berkacamata tebal, dan memang nyatanya kutu buku.
"Sial," gumam Ara sudah mesem-mesem sendiri karena baper dibuat adegan novel yang dibacanya.
Pipi Ara menggembung dengan sedikit rona merah, bibirnya berkedut ingin senyum lebar atau tertawa. Namun masih memegang prinsip anak baik didalam perpustakaan. Ara tak mau di-cap orang gila karena mencak-mencak kebaperan didalam perpustakaan.
Tidak, jangan sampai.
Fokus Ara buyar karena tiba-tiba dirinya kepikiran sesuatu. Ini hari Selasa, dan sudah 3 hari setelah insiden ia ke Bogor bersama Wildan, akhir-akhirnya ia menangis lagi.
Ara memang bodoh, ia juga merutuk kenapa pintu hatinya tak ingin terbuka dan seolah terkunci. Menahan seseorang agar tak keluar dari hatinya.
Alah, Alva.
Alva juga membuatnya agak bingung, pasalnya semenjak hari Sabtu itu, sejak Wildan datang dan merusuhinya yang sedang merusuhi Ara, Alva menjadi lebih banyak diam.
Bahkan, hari Senin kemarin, Alva mogok bicara dengannya. Tidak ada banyolan, candaan receh milik Alva, tidak ada tindakan usil Alva. Tenang sih, tapi Ara merasa sedikit kurang dan tidak lengkap.
Demi bau kencing Jamil-kura-kura peliharaan Razka-Ara benci mengakuinya, benci mengakui bahwa ia merasa agak sedikit kangen dengan tingkah konyol Alva.
Menutup novelnya setelah diberi pembatas, Ara menelungkupkan wajahnya. Pikirannya sibuk menjelajah hingga otaknya lelah, sampai akhirnya ia kalah dengan rasa mengantuk. Ia juga menguap beberapa kali sebelum terlonjak kaget karena seseorang menepuk bahunya.
Dalam hati Ara sudah menggerutu, ayolah ia hanya ingin tidur beberapa menit saja. Menarik nafas pelan, Ara sudah mengambil kuda-kuda untuk menyerang pengacau nya kali ini. Namun praduganya salah, setelah Ara menemukan sosok itu, bukannya mengomel, bibir Ara langsung terkatup rapat.
Alva!
Ara mendengus, habis sudah rasa kantuknya melayang entah kemana. Dengan tatapan datar, ia memandang wajah lusuh milik Alva. Tanpa senyuman, atau cengiran. Alva yang sekarang dihadapannya hanya terdiam dan justru terkesan dingin.
Suasana perpustakaan berubah mencekam, saat itu Ara langsung sadar dan berpikir keras agar mengenyahkan lingkup canggung ini.
Entah mengapa, ia benci situasi dimana Alva harus bertingkah seolah ia hanyalah manekin yang biasa dijumpai ditoko pakaian.
Ara menghela nafas saat ia melirik tangan Alva yang masih bertengger manis dibahunya. Sadar, Alva melepasnya. Menjauhkan tangannya dari bahu mungil Ara yang tertutup helaian rambut. Mungkin biasanya Alva akan menyengir lalu menggodanya, tapi sekarang jauh berbeda. Dengan tatapan tajamnya, ia hanya menatap Ara lekat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Be My Home
Teen Fiction[REVISI SETELAH TAMAT] Ini tentang Ara. Bagaimana rasanya dikelilingi cowok-cowok tampan yang baik hati dan tulus? Sayang, masa lalu Ara membuatnya terkurung. Hatinya dingin, beku dan seolah mati rasa. Bukan bahagia ketika dia menjadi rebutan orang...