Untuk apa kamu berjuang pada sesuatu yang sudah kamu ketahui akhirnya? Seperti kamu yang memperjuangkan dia yang mencintai orang lain, untuk apa?
***
Ini hari ketiga Ara dan keluarganya di Malaysia, dan sekarang masih pukul 5 pagi. Untuk liburan, bangun pagi adalah hal yang paling tak bisa ditoleransi oleh Ara mengingat sudah banyak hal yang dilakukannya beberapa hari yang lalu. Seperti mengunjungi Legoland, Aquaria KLCC, Menara Petronas, Batu Caves, Sunway Lagoon Theme Park, dan tempat-tempat lainnya yang menguras hampir seluruh tenaga Ara.
Tentu itu membuat tubuh Ara remuk, tidur hanya 8 jam pun tidak akan membantunya untuk menjadi lebih fit lagi.
Suasana kamar hanya hening. Hanya terdapat Ara dengan posisi miring ke kanan, dan di sebelahnya terdapat Naya dengan posisi tengkurap beserta dengkuran khasnya. Berbeda dengan cara tidur Ara yang terkesan anggun, Naya malah sebaliknya. Selimutnya bahkan compang camping dengan piyama yang sudah kusut akibat kebanyakan bergerak.
Masih enggan membuka matanya, Ara pun masih larut dalam mimpinya. Namun ia merasa mimpinya seolah berisik sekali. Ara berusaha menghiraukannya, tapi gagal. Suara itu semakin keras membuatnya menggeliat, berpindah posisi jadi miring ke kiri.
Di hadapannya, Naya juga merasa risih dan tidak nyaman. Posisinya yang berhadapan serta alam bawah sadarnya yang entah sedang merasakan apa, membuat tangan Naya melayang layang hingga mengenai pipi Ara, menaboknya keras hingga mengakibatkan Ara terusik dari lelapnya tidur.
"Anjay," gumamnya serak sambil menyingkirkan tangan Naya, "Nih anak ngapain sih nempeleng-nempeleng, dikira gue apaan," tambahnya secara tak sadar.
Naya menggeliat, perlahan membuka matanya. Oh ya, jangan lupakan suara bising yang tak ada henti-hentinya, membuat kencannya dengan cogan di mimpi berakhir berantakan.
Naya mendengus, secara samar matanya menatap Ara yang menutup kedua telinganya dengan bantal berseprai putih.
Lantas, tangannya kembali menoyor kepala Ara kencang hingga gadis itu terpentuk nakas, membuatnya mengaduh kesakitan.
"AW--ADUH, DUGONG, SAKIT PEA!" Ara menatap Naya seolah menuntut jawaban, dan dibalas oleh kedikan bahu cuek dari Naya,
"Heh, hape lo berisik bodat!" jawabnya sambil memutar bola mata kesal.
Kening Ara mengernyit, seolah sadar suara bising yang telah mengganggu mereka berdua ternyata berasal dari ponselnya. Ara mendengus sembari merapikan rambutnya, "Mana lagi hape gue?" cetusnya sambil meraba nakas dengan mata tertutup.
Setelah dapat, ia melihat nomor yang tidak dikenal. Mata Ara melirik Naya yang sudah kembali telentang dengan mulut yang sedikit terbuka. Di tembok hadapannya, Ara melihat jam dinding masih menunjukkan pukul lima lewat lima belas menit. Dering itu sempat berhenti sebelum kemudian kembali berbunyi nyaring, membuat sang empunya ponsel menggeram kesal, dengan emosi ia hampir saja meremukkan ponselnya.
Sabar, Ra, sabar.. gak boleh beringas, ucapnya dalam hati meyakinkan, kepalanya pun manggut-manggut mengerti.
Kemudian ia menarik nafas dalam, lalu menghembuskannya pelan.
Sekali..
Dua kali..
Di detik ketiga, ia mengangkat panggilan itu, menggeser tombol hijau dan mendekatkan ponselnya ke telinga.
"Heh, tau adab dong kalo nelpon. Siapa sih, lo? Berisik amat ganggu tidur orang, pagi-pagi buta!" ceplosnya dengan ketus, dadanya beringsut naik turun dengan wajah memerah yang kentara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Be My Home
Teen Fiction[REVISI SETELAH TAMAT] Ini tentang Ara. Bagaimana rasanya dikelilingi cowok-cowok tampan yang baik hati dan tulus? Sayang, masa lalu Ara membuatnya terkurung. Hatinya dingin, beku dan seolah mati rasa. Bukan bahagia ketika dia menjadi rebutan orang...