12-Chance

108 32 38
                                    

Melepaskan bukanlah perkara mudah. Ini tentang dua insan, dua hati, dan dua pemikiran. Karena mengikhlaskan butuh perasaan juga logika.

***

Pelajaran matematika kali ini dipenuhi dengan derai tawa, candaan jayus, dan gosip-gosip ria. Pasalnya, guru matematika yang jago membuat semua muridnya kicep itu, absen! Bukan hal baru lagi, kelas Ara jadi ricuh seketika layaknya pasar malam.

Bagian laki-laki didalam kelasnya sudah ngacir duluan ke kantin. Itu hanya berlaku untuk orang-orang tak tau aturan, malah sekarang Ara ingin kabur ke perpustakaan saja biar tenang dan terhindar dari manusia yang duduk disampingnya.

"Nonton nyok ama gue, Ra?"

Bodo amat bodo amat, Ara membatin. Helaan nafas panjang terdengar keluar dari mulut Ara, ia sendiri tak sadar mengapa ia lelah berlama-lama dalam kondisi begini. Kondisi menyiksa diri sendiri. Kondisi membohongi perasaan sendiri.

Padahal jauh dilubuk hatinya, Ara tak ingin semua serumit ini. Ia juga tak ingin kehilangan sahabatnya yang sekarang terasa menjadi orang asing. Alva, ia kehilangan Alva. Satu orang berarti yang selalu berada disisi Ara saat dibutuhkan, dan Ara meninggalkan Alva, ia kehilangan sahabat sekaligus pacarnya.

Dulu sewaktu SMP, Ara yang masih bocah baru gaul akan berkata,

'nanti kalau gue putus sama pacar, gue gak mau musuhan sama mantan, gak berkelas!'

Tapi, ia juga yang mengingkari kata-kata bodoh hasil racikan pemikiran polosnya.

Menjauh itu lebih terasa mudah kalau memang benar-benar dibutuhkan. Sayangnya, Ara tak pernah benar-benar ingin menjauh.

"Woi, jawab elah! Oh lo maukan nonton berdua sama gue? Ngedate kita, yang."

Ni anak sableng kali ya? pikir Ara begitu.

"Diam berarti iya! Ya udah nanti pulang sekolah langsung sikat aja, yakan Ra?"

Ara mendengus, "Lo salah persepsi kalau ngira gue bakal mau."

"Yahh....."

Alva mengerucutkan bibirnya sambil bersedekap. Kadang, Ara heran. Apa mungkin Alva kebanyakan makan mecin makanya bisa agak alay begini?

"Nonton Guardians of Galaxy 2 lho, gak minat sis?"

Ara diam, sebenarnya film begitu ia minat sekali. Tapi kalau sama Alva, kok terasa berat ya? Ara mendecih, hah mana mau dia menoreh luka lagi.

Sambil memandangi roti isi beserta susu kotak rasa sereal yang diberi Raka-seniornya tadi pagi dalam laci, ia berpikir. Kenapa semua orang tak lelah-lelah mengejar? Bahkan, Ara yang begini saja ia sudah lelah. Lelah berpura-pura.

Masih ingat sekali dalam ingatan Ara, saat tadi ia meninggalkan Alva dalam perpustakaan. Saat kembali ke kelas, Ara menemukan roti isi beserta susu dengan rasa favoritnya, masih dengan kantung plastik logo supermarket. Dan terdapat sticky note yang tertempel di kresek itu, tulisannya;

Ara, jangan lupa sarapan. Ni udah gue beliin, jangan lupa dimakan. Kebiasaan lo gak pernah sarapan dirumah. Ehehe,

-Raka
D

isampingnya, Alva masih tak henti-hentinya mengoceh panjang lebar. Menghela nafas, Ara menatap lekat susu kotak favoritnya, lalu tanpa aba-aba ia menancapkan pipet dan mulai menyedot isinya.

"Wah wah, gue kira bakal lo anggurin terus disana." komen Alva.

Nada Alva berubah sendu, entahlah Ara heran kenapa Alva tak bergabung saja dengan laki-laki dikelasnya. Kenapa lebih memilih merecoki hidup Ara?

Be My HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang