Sekeras-kerasnya niat orang, ada waktunya juga dia capek menunggu jawaban. -Nathan
***
"Hawhoo cinthaa nha akhuu.."
Kening Ara lantas mengernyit jijik mendengar itu. Kini dihadapannya ada Naya sedang mengunyah donat seribuan kesukaannya dengan rakus, melihat itu Ara hanya bisa bergidik ngeri sambil menggeleng kepala.
"Minggir ah," sahut Ara seraya menggeser tubuh Naya yang menghalangi akses masuk kedalam rumahnya. Naya mendengus kesal dan langsung menelan kunyahan donatnya dengan kasar,
"Si bangke bukannya peluk atau cipika-cipiki eh malah nyelonong aja, nasib, nasib," gumamnya bermonolog sendiri sambil menutup pintu masuk rumah Ara yang berwarna coklat.
Kakinya melangkah mendekati Ara yang sedang bercakap-cakap dengan Mamanya, dilihatnya kantung besar belanjaan Ara yang lantas membuat moodnya naik drastis.
"Waaa, banyak makanan!" seru Naya kegirangan. Mendengar itu, Sisil hanya terkekeh pelan, lain halnya dengan Ara yang sudah memutar bola matanya kesal.
"Makan mulu lo, pantas badan lo kaya badak," cetus Ara tanpa tedeng aling.
Raut wajah Naya langsung berubah terluka, "Jahat amat lo sama sahabat lo dari diperut." gerutunya dramatis.
"Sokap lo, gue gak kenal," balas Ara dengan raut wajah sedatar papan triplek, lalu ia beralih lagi pada Sisil, "Ada yang mau dibantu lagi?"
Sisil menggeleng mantap, "Gak usah, kamu temenin Naya aja gih."
Lidah Ara berdecak kesal, "Anjir ngerusuh doang lo bisa nya, Nay."
"Ara, language."
Mendengar ucapan Sisil, Naya menyengir lebar, "Ara, language." tuturnya ikut-ikutan dengan seringaian iblis.
Ara sempat ingin menolak, namun melihat tatapan tegas Sisil, sekarang Ara tak bisa membantah. Dengan berat hati, akhirnya Ara melenggang gontai ke kamar diikuti oleh Naya dibelakangnya. Kini, jengkelnya masih tak bisa hilang. Peristiwa 'pembodohan' tadi di minimarket membuatnya kehilangan mood yang bagus, ditambah lagi kehadiran Naya yang sekarang tengah membawa plastik isi cemilan yang dibeli Ara tadi.
"Lo kenapa sih? something wrong?" tanya Naya setelah mereka memasuki kamar Ara. Ara pun langsung merebahkan dirinya di kasur kamar yang bernuansa putih dengan langit-langit atas ruangan yang dipenuhi stiker glow in the dark itu.
"Nggak apa-apa, kesel aja gue," sahutnya datar sambil menatap langit ruangan. Sebenarnya kalau dipikir-pikir, ia sangat senang dengan nuansa galaksi. Tidak dikamarnya, tidak diruangan art-nya semua ia modifikasi dengan stiker kebanggaannya itu.
"Oh hell, lo tuh harusnya tau kalau lo itu gak pinter berbohong, Mikayla."
Ara mendengus kasar seraya mengusap wajahnya yang terasa penat. Jemarinya pun memijit pelipis yang entah kenapa membuat kepala Ara terasa berat sekarang.
"Capek aja kali," ucap Ara tanpa minat.
"Gue udah bilang tadi."
"Apa?" tanya Ara dengan nada menantang.
"Lo gak pinter bohong, Ara!" cetus Naya menahan gemas. Langsung saja ia melahap cemilan penuh penyedap rasa yang dibeli Ara tadi. Hah, kebiasaan buruk Naya memang hanya makan, tidak peduli suasana hati yang penting makan. Maka tak heran bila bobot tubuh Naya sedikit lebih besar dari Ara.
"Gue lagi kesal, ya ampun sabarkan lah hambaMu ini!" tutur Ara tak mau kalah.
Dilihatnya Naya menyengir lebar sambil memasukkan kepingan snack dari kentang itu, "Ya makanya cerita!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Be My Home
Teen Fiction[REVISI SETELAH TAMAT] Ini tentang Ara. Bagaimana rasanya dikelilingi cowok-cowok tampan yang baik hati dan tulus? Sayang, masa lalu Ara membuatnya terkurung. Hatinya dingin, beku dan seolah mati rasa. Bukan bahagia ketika dia menjadi rebutan orang...