Kau sudah bermimpi sejauh ini, sedangkan aku masih berangan-angan dapat mengejarmu juga mimpimu itu. Akuilah, dirimu terlalu sulit digapai.
***
Sepi, gadis berambut sebahu itu terus berjalan. Kadang, ia juga menguap. Ini hari pertamanya ikut ekskul art lagi setelah libur panjang. Capek? tentu, Ara memasang target untuk tahun ini.
Saat pulang sekolah, Ara diminta menemui kepala sekolah. Ara tak memikirkan apa-apa, ia yakin dirinya tak memiliki masalah. Heran? gadis itu heran, tapi sampai diruang kepala sekolah, asumsinya berganti. Ia dipanggil bukan karena masalah.
"Ara, duduk dulu."
Ucap Sir Virgo, kepala sekolahnya. Dihadapan bapak itu ada lelaki berperawakan kepala 4 dengan balutan jas, dan kacamata hitam yang melekat diwajahnya membuat kulit putihnya benar-benar terekspos.
"Papa ngapain?"
Razka yang tadi terdiam sambil menggulir layar ponselnya mendongak, "Nongkrong."
Raut wajah Ara berubah datar, "Serius."
"Ada urusan." Jawab Papanya cuek sambil mengalihkan pandangannya kembali ke ponselnya.
Ara menarik nafas panjang lalu duduk dikursi yang berhadapan dengan meja kepala sekolahnya.
Ara diam, ia kadang menunduk. Entah apa yang ingin dibicarakan, Ara merasa gugup saja.
Matanya berkeliaran sampai terhenti diatas meja dihadapannya. Secarik kertas disodorkan Razka, Ara menoleh mendapati Razka tersenyum bangga, "Buka, Ra."
Alis Ara menaik sebelah, dengan ragu ia mengambil kertas itu. Pak kepala sekolah hanya diam memperhatikan, suasana berubah semakin dingin apalagi suhu AC sudah mencapai 18 derajat.
Ia membaca pelan kertas itu, dan matanya sontak membulat sempurna. Ini mimpi!
Razka memberi kertas, dan kertas itu adalah tiket pameran lukisan di Sydney. Beberapa hari yang lalu, Ara memang memberitahu Razka bahwa ada pameran di Sydney, sebatas itu saja. Memang Ara terlalu obsesi dengan hal-hal berbau seni.
Namun, Papanya malah bertindak lebih.
"Are you kidding me? Pa, jangan bercanda."
Razka tersenyum geli, "Usaha Papa dianggap main-main? Ya udah, sini Papa ambil."
Dengan sigap, Ara menahan kertas itu lalu tersenyum tulus. Siapapun yang melihat senyuman Ara, pasti mereka akan mengira Ara sedang dalam kondisi bahagia-dan benar!
Ia memeluk sekilas Razka, mengacuhkan Sir Virgo yang sedari tadi hanya tersenyum.
"Thank you, Papa!"
"Kamu persiapkan baik-baik ya, Ara. Kamu membawa nama sekolah juga. Kamu berangkat 2 minggu lagi, hari ini kamu bisa langsung ikut kelas art."
Pelukannya merenggang, ia menoleh penuh kearah Sir Virgo, kemudian mengangguk mantap sambil mengacungkan ibu jari.
Ara senang, tentu saja. Ara selalu mendamba-dambakan mimpi, ia selalu bermimpi agar orang tuanya bangga dan bahagia. Dan Ara selalu berdoa, alasan kebahagiaan orang tuanya adalah dirinya sendiri.
Menghela nafas lelah, Ara berjalan menapaki aspal menuju ke parkiran sekitar 30 meter dari gerbang. Sambil berjalan fokus, ponselnya berdering. Nama seseorang tertera jelas dan Ara langsung mengangkat panggilan itu tanpa babibu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Be My Home
Teen Fiction[REVISI SETELAH TAMAT] Ini tentang Ara. Bagaimana rasanya dikelilingi cowok-cowok tampan yang baik hati dan tulus? Sayang, masa lalu Ara membuatnya terkurung. Hatinya dingin, beku dan seolah mati rasa. Bukan bahagia ketika dia menjadi rebutan orang...