08-Masa Lalu.

131 41 50
                                    

Maafkan aku yang terkurung didalam nostalgia masa lalu kita. Maafkan aku bila mengingatmu adalah sebuah kesalahan. Bila caraku menyakitimu, aku sudah siap melepaskan.

***

Alva merebahkan tubuhnya diatas kasur. Menatap langit-langit atas kamarnya. Meski sudah sore, matahari belum kalah. Ia masih bersinar terik melalui jendela kamar Alva yang tidak tertutup gorden.

Alva bangkit, melepas kemeja seragam sekolahnya yang sudah lengket karena seharian ini ia tak langsung pulang kerumah, lalu menggantinya dengan kaos hitam polos. Setelah pulang sekolah, Alva ditelpon Rifky agar datang kerumahnya lalu bermain PS hingga lupa waktu dan berakhir untuk sekedar nongkrong santai di warung kesayangannya.

Sebenarnya, Alva tau. Ini akal-akalan picik Rifky saja. Pertemuan seperti ini sudah sering terjadi, dan berakhir dengan mereka yang menjalankan skenario dan peran masing-masing dengan baik. Mereka akan berperan seperti orang asing, membiarkan Ara dan Alva bertekak, adu jotos yang akhirnya tak menyelesaikan masalah apapun. Tapi untunglah, hari ini tak ada adu jotos seperti biasanya.

Berjalan gontai, ia menatap langit jingga. Kedua tangannya ia tumpukan didasar jendela. Senyuman tulus Ara, seakan-akan tak pernah terganggu oleh hadirnya Alva. Masih teringat jelas dibenak Alva.

Padahal, Alva tau betul Ara merasa hari-hari nya seperti neraka, apalagi mereka duduk berdua sekarang.

Susah rasanya bagi Alva untuk menahan minat untuk menganggu Ara. Itu sudah seperti makanan sehari-harinya. Ia ingin Ara kembali, berbicara banyak.

Jujur, entah perasaan apa ini, Alva kesal setengah mati melihat segelintir cowok mendekati Ara. Meskipun Alva tau diri, ia bukan siapa-siapa bagi Ara.

Sudah jelas sekarang 'kan perasaan Alva untuk gadis itu?

Bahkan Alva sering curi-curi pandang saat Ara kedatangan Raka-seniornya, atau Wildan-gebetan Ara, atau bahkan Adirga-mantan Ara, lupakan saja yang satu ini, karena Alva menyimpan dendam kesumat terhadapnya.

Jangan lupakan belasan orang yang gencar melakukan pdkt pada gadis itu, Alva tau semuanya. Sebut saja, fans. Semua surat-surat dengan amplop berwarna pink, kotak kotak berisi hadiah, coklat atau sebagainya, tertumpuk diloker Ara.

Alva selalu memperhatikan gadis itu diam-diam.

Mau tau kebenarannya?

Alva dan Ara dulu satu sekolah saat SMP, itulah sebabnya mengapa saat Ara datang ke warung karena permintaan Rifky, disana ada Alva.

Dulu, Ara tetap cemerlang. Ara gadis ramah, gadis hangat, menyapa dan membalas teguran orang-orang dengan senyuman tulus atau sekedar ucapan 'hai' atau 'oi'. Gadis itu serba berkecukupan hidupnya, tapi Alva jujur, ini unik. Karena Ara adalah gadis yang rela menaiki angkutan umum, malas repot-repot untuk membawa kendaraan pribadi hanya demi pencitraan. Mungkin, keadaan berbeda sekarang karena ia satu sekolah dengan kakak kandungnya.

Ia setia kawan, berprestasi. Dan tentu saja, sejak SMP-bahkan SD, Ara sudah digilai banyak cowok. Ara hidup bahagia, tawa dan canda selalu melingkupinya.

Kelas 9 dulu, Ara banyak berpacaran. Bukan playgirl, Ara gadis setia. Namun, cowok cowok tak tahu diri diluar sana hanya memanfaatkan gadis itu. Menurut pandangan Alva, mereka adalah lelaki-lelaki labil yang sama sekali tak gentle.

Entahlah, Alva bingung mengapa Ara sekarang seolah menghiraukan banyak cowok disekitarnya. Padahal ada Alva, setia berdiri dibelakangnya walau dengan kedok 'merusuhi' Ara. Ara malah terlalu fokus pada Rifky, bukan, bukan karena Ara memiliki perasaan lebih. Tapi Alva tau, Ara tempat Rifky berlindung, begitu juga sebaliknya. Rifky tempat Ara bisa mencurahkan keluh kesahnya, mereka saling bergantung. Itulah kenyataannya, kadang Alva merasa cemburu namun sadar, dianggap ada saja Alva sudah bersyukur.

Dan hingga akhirnya saat menjelang tamat SMP Alva menyadari-

Tok, tok, tok..

Sialan, lamunan Alva buyar. Ia mendecak kesal. Sambil menghela nafas, Alva berjalan kearah pintu dan membuka pintunya. Disana berdiri seseorang, sedang menyengir kuda sambil menggaruk tengkuknya.

"Eh-eh, hai! Aku ganggu?"

Alva menghela nafas melihat senyuman lebar diperuntukan untuknya. Dengan rasa sebal yang menyergap, Alva lantas menutup pintu hitam itu dengan keras sampai berbunyi 'brakk'.

Sungguh, Alva tak peduli. Alva tak peduli bila gadis didepan sana terlonjak kaget atau pingsan ditempat dengan cara konyol seperti itu.

Gadis itu bernama Rabella-sepupunya yang entah mengapa memiliki obsesi pada Alva. Alva heran, wajarkah seorang sepupu seperti Bella menyimpan rasa untuk Alva? Obsesi, itu yang selalu Alva camkan pada Bella.

Gadis yang mengubah segalanya. Penyebab kurang lengkap dan kacaunya hidup Alva.

Dan sudah cukup jelas, Alva benci dengannya.

****

Ponsel gadis itu berdenting. Aktivitas novel marathon nya terpaksa berhenti sejenak. Ara mengambil ponselnya diatas nakas lalu melihat notifikasi yang menyinggah disana.

Keningnya berkerut, ia pikir ini Raka yang sering sibuk nge-greet, atau Wildan yang selalu sibuk menanyakan 'udah makan?' atau ia kira Adirga, mantannya yang selalu heboh minta balikan.

Tapi bukan, ini jarang terjadi.

Satu kalimat berarti terpampang dilayar ponsel Ara,

From: 082346xxxxxx
Cepat atau lambat, gue bakal buktiin kalau lo salah. Entah dengan cara apalagi supaya lo sadar, ada gue yang sabar menunggu. Buka mata lo, kapan gue bisa leluasa lagi dengan lo? Mungkin gak pernah haha, karena gue tau lo gak pernah mau kasih gue kesempatan. 143.

Mendesah kecil, ia melempar ponselnya disekitar jangkauannya. Kecewa, sedih, bercampur aduk menjadi satu.

Dadanya seolah bergumul oleh rasa sesak. Hatinya terasa terhimpit, dan itu justru membawa beban baru diatas punggung Ara. Sosok itu jarang mengirimnya pesan, dan ini pertama kali setelah sekitar 6 bulan yang lalu.

Pikirannya berkecamuk, seolah kenangan seperti bayangan yang memaksa masuk kedalam otak Ara. Padahal sudah Ara tetapkan ia harus move on dengan segala keburukan dan kesakitannya dimasa lalu.

Ini lelaki yang masih belum bisa dilupakannya. Bagaimana bisa?

Bahkan sudah setahun lebih, Ara mencoba mengenyahkan sosok itu. Nihil, ia tak pernah berhasil.

Ini Ara dengan segala teka-teki didalamnya, yang berharap akan segera melupakan kenangan pahit dimasa kelamnya dan kembali menjadi gadis normal tanpa di-cap es batu oleh banyak orang.

Ara menepis air mata yang jatuh tanpa kendali. Pipinya basah, dan buliran itu terus menetes tanpa ampun. Ara terisak, ia menutup wajahnya. Bahunya bergetar hebat. Tapi, Ara masih pintar, ia menggigit bibirnya agar isakan yang keluar tak terdengar.

Ia tak sadar, ada Renia yang sedang berdiri dicelah pintu kamarnya. Menyaksikan adiknya jatuh kembali.

Dan malam ini, entah untuk alasan apa.

Yang pasti, Ara tak sekuat yang dilihat orang-orang. Nyatanya, ia rapuh.

Renia akhirnya berlalu, walaupun sering bertekak, Renia tetap kakak yang menyayangi adiknya yang begitu dingin dan datar.

Dikamar Ara, ponselnya kembali berdenting. Walau masih kalap karena takut pengirimnya si dia lagi, Ara tetap meraih ponselnya.

From: Renia
Jangan nangis, lo jelek kalau lagi nangis. Btw, sukses untuk pameran lo, jangan terlalu baperan sama masalah lo. Wkwk

•••

A/N

Sorry yaa readers, pendek:")

jangan bosan ya sama cerita gaje ini:"))

See ya

Be My HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang