25-The Truth

63 15 94
                                    

Kadang, aku bingung. Apa semua kejujuran selalu berakhir menyakitkan?

***

"Yuhu... assalamualaikum! Spadaaa!"

Jeritan dari halaman rumah itu menggema, memasuki indra pendengaran Alva yang nyaris tertidur siang. Sialan, Alva mengantuk sekali tapi ada saja halangan yang menganggunya untuk tidur.

Tadi, Vera—Ibunya memintanya menguras kolam ikan, lalu Devano—Papanya mengajaknya bermain ludo diponsel pintarnya, yang terakhir tadi Rabella, sibuk meminta maaf atas kejadian kemarin. Huh, untuk yang terakhir itu, memang peduli apa Alva dengannya?

Alva menggeram tertahan saat teriakan itu tak henti-hentinya merusak gendang telinga Alva. Tangannya mulai menjambak jambulnya dengan kasar lalu menyingkap selimutnya.

Dengan langkah tertatih, Alva berhasil mendekati pintu pembatas balkon dan langsung membukanya. Dari sana dapat kedua bola matanya tangkap sosok berkacamata dengan wajah blasteran Belanda itu sedang berteriak-teriak sambil melirik ke segala arah. Mungkin ia lupa melirik ke balkon kamar Alva, hah.

"WOI, GUE GAK TERIMA ORANG MINTA SUMBANGAN, BALIK AJA SONO KE HABITAT LO, GANGGU AJA!"

Lelaki itu terperanjat dan langsung menatap Alva dengan tatapan membunuh. Alva mendecak, balas menatap sepupunya dengan tatapan nyalang.

Lagian, apa kurang keras jeritan membahana si Azka—sepupu dungunya itu—sampai sampai tak ada yang mau membukakan pintu? Bukankah kembarannya itu berada dikamar tamu dilantai bawah? Kuping kembarannya sudah tuli? Oh mungkin, pantas saja gadis itu tak pernah mengerti bahasa yang Alva katakan, ternyata ada masalah dengan pendengarannya.

"WOI ENTENG BANGET TU RAHANG! BUKAIN GAK?!" balas Azka tak kalah kuat.

Alva mendengus kesal, "OGAH!" serunya.

Bola mata Azka terputar jengah, memilih tak menanggapi sepupunya yang diatas sana, "TANTE VERAA, BUKAIN DUNG! ASSALAMUALAIKUM!!"

"Astaghfirullah, ngucap lahir batin gue," gumam Alva kepalang emosi, emang dasar, nggak adik nggak kakaknya, sama aja! Sama-sama parasit.

"Kok kamu ga bukain sih, Al?"

Vera muncul dibalik pintu kamarnya, entahlah sejak kapan pintu itu terbuka. Raut wajah cantik Mamanya kini sedikit mencebik kesal. Sambil mendesah pelan, Alva berjalan mendekati ibunya.

"Mama ku sayang, daritadi Alva ngantuk, pas Alva mau tidur ada aja yang menghalangi—"

"Oh jadi kamu bilang Mama ganggu kamu mau tidur?"

Alva meringis, "Kan emang iya," celetuknya tanpa dosa. Vera langsung melotot kearah anak tunggalnya.
Tak ingin kena semprot emosinya Vera, Alva lantas melanjutkan,

"Tadi Alva udah hampiirrrr.... mau bobok, eh si gila itu datang teriak-teriak, Ma. Mengertilah Alva, Alva ngantuk!" sahutnya dramatis.

Seraya memutar bola mata malas, Vera mengangguk pasrah, "Ya udah biar Mama aja yang buka, kamu pemalas."

Alva hanya diam, saat Vera pergi berlalu diam-diam Alva terkekeh kecil lalu menutup pintu kamarnya. Lantas dengan gesit, Alva menggapai secarik kertas dan bolpoin untuk menulis sesuatu. Ia pastikan tak ada yang bisa mengganggu tidur siangnya lagi, bahkan ia sudah menguap beberapa kali saking ngantuknya.

Gue tau lo mau kacauin seisi rumah ini, tapi gue lagi ngantuk dan gak available untuk diganggu. Jangan masuk ke kamar gue, jangan teriak-teriak. Awas anjing galak!

Begitulah hasil karya tangan Alva dengan tulisan ceker ayamnya. Setelah itu ia segera menyelipkan kertas itu dicelah bagian bawah pintunya. Alva kembali bernafas lega saat menyudahi aksi penuh rasa was-was itu. Akhirnya, ia bisa tidur nyenyak.

Be My HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang