Perasaan Arma tak tenang sejak sore tadi. Padahal ia tau tak ada sesuatu yang salah di hari itu, semua tampak normal bahkan terlalu normal.
"Adeenn!!" jerit Bi Sari sambil berlari tergopoh gopoh kearah Taman belakang.
"Kenapa, Bi?"
"Den Arfa kecelakaan. Barusan Bibi ditelpon sama Den Dion." jelasnya.
Jantung Arma berdetak lebih kencang, firasatnya benar. Ternyata memang mereka belum sepenuhnya terlepas dari kontak batin. Ia sekarang tau apa yang membuatnya gusar seharian ini.
"Dimana?" ia menghela nafas berusaha bersikap tenang.
"RS Teratai. ICU den"
"Bibi jaga rumah. Jangan panik. Arma susulin Arfa dulu." ia segera melenggang pergi bahkan sudah tak ingat untuk membawa jaketnya.
Arfa. Arfa. Arfa. Arfa. Arfa.
Di benaknya hanya nama itu yang bisa ia ingat. Ia kembali menyalahkan dirinya yang nekat pulang ke rumah hanya karena rindu pada adik kecilnya. Tapi kini, ia justru mencelakakan adiknya sendiri karena pikiran bodohnya.
Maafin gue, gue janji gue bakal pergi asal lo sehat lagi.
***
Lorong berwarna putih itu terasa mencekam siapapun yang berada disana. Tak berbeda dengan dua orang yang terduduk di lantai dengan tatapan menerawang. Satu orang lagi berdiri menyilangkan tangan di hadapan mereka.
"Arfa" samar-samar suara seseorang memanggil.
Dion bangkit dari lantai putih melihat sosok serupa itu datang. Wildan dan Kevin masih saja takjub melihat betapa ia sangat mirip dengan seseorang didalam sana.
"Dia banyak berdarah. Bagian kepalanya kebentur jadi kita belum tau perkembangan nya." jelas Dion.
Saat itu juga seorang dokter keluar dengan dua orang perawat dibelakangnya membawa ranjang rumah sakit. Disana lah Arfa dengan tenang nya hanya diam tanpa perlawanan.
"Beberapa ikut ke ruangan saya" Dion dan Arma mengikuti dokter sementara Kevin dan Wildan menuju ke ruangan Arfa.
"Arfa gimana dok?" tanya Dion.
"Tidak ada cedera serius pada bagian tubuhnya, hanya saja ia kehilangan terlalu banyak darah. Dan karena benturan yang keras pasien mengalami gegar otak ringan. Untuk saat ini harap menjaga ketenangan di sekitar pasien." jelas dokter.
"Amnesia juga?" tanya Dion
"Sepertinya tidak, mungkin akan kehilangan keseimbangan atau mungkin sering sakit kepala."
Setelah mengerti dengan penjelasan dokter, mereka bergegas menuju ke ruang inap Arfa.
"Dia mau kemana tadi?" Kevin bertanya acak tapi secara tidak langsung menanyakannya pada Arma.
"Kencan"
Dion, Kevin, dan Wildan saling menatap. Ini sudah 3 jam sejak waktu kecelakaan Arfa. Dengan segera Dion mengirimkan pesan kepasa Karin dengan handphone Arfa.
To : Princess ♚
Rin, sorry gue gabisa jemput lo. Kencan hari ini batal, sorry banget.
***
Karin murung. Ini sudah jam 7.30 dan sudah lebih dari 2 jam dari janji Arfa. Ia kesal dengan keadaan seperti ini. Kalau memang tidak bisa pergi kenapa juga harus diam. Lebih baik bilang dari awal daripada membuat orang menunggu.
"Ngga jadi pergi?" tanya Allita melihat putrinya masih terduduk di sofa ruang keluarga.
"Nggajadi aja. Karin males" jawabnya singkat lalu melenggang ke arah kamar.
Kenapa gue bisa percaya sama orang kaya dia. Kenapa juga bisa bisa nya gue suka sama orang sejelek dia, sengeselin dia, seresek dia. Aaahhh!!! Ngeselin banget sih tuh orang.
Allita yang tau putri kesayangannya sedang dirundung perasaan tak enak diam-diam menelepon seseorang.
Tak lama kemudian orang yang ditunggu akhirnya datang. Allita mempersilahkan nya masuk tanpa mengantar. Toh sang tamu sudah ingat betul isi rumah ini.
Tok. Tok. Tok.
"Karin capek" jawab sang pemilik kamar dengan pelan.
"Ini gue, bukain buruan!" ancam Putri dari depan pintu.
Karin terperanjat. Kenapa putri bisa ada disini. Disaat keadaannya yang sangat menyedihkan kenapa juga ia harus disini.
"Mau apaan?" ia masih enggan membukakan pintu.
"Pinjem buku biologiii. Gue kan remidi besok senin"
Mau tak mau Karin bangkit, dilihatnya bayangan dirinya di kaca. Setelah merapikan sedikit penampilannya ia membuka pintu kamarnya.
"Cari sendiri ya, Put" katanya dengan senyum tipis.
Putri melenggang masuk kedalam kamar. Dicarinya buku tulis bersampul biru milik Karin di meja belajar. Sesekali ia melirik sang empunya kamar yang masih terduduk diam diatas ranjang nya.
"Kenapa sih lo? Patah hati?" tanya Putri tak sabar dengan sikap diam Karin.
"Kariinnn. Cerita dong kalo ada apa-apa" bujuk Putri tak tahan melihat sikap sahabat nya.
"Arfa ingkarin janji dia, Put" jelasnya singkat tapi jelas.
Putri yakin sahabatnya satu ini memang menyukai Arfa. Dia hampir gila membayangkan berandalan seperti Arfa mendekati Karin mati-matian.
"Lo suka ya sama Arfa?" tanya Putri yang dijawab anggukan mantap Karin.
***
Ruangan serba putih itu terasa sunyi, hanya suara alat rumah sakit yang dengan teratur memberi tanda kehidupan laki laki yang tertidur pulas ini.
Sosok yang sama dengannya duduk termenung di sisi ranjang sementara ketiga orang lainnya sudah mendahuluinya ke alam mimpi di sofa rumah sakit.
Sampe kapan lo mau tidur?
Itu yang sering kali muncul di benaknya tiga hari ini saat melihat adik kesayangannya tertidur lelap, bahkan terlalu lelap.
"Dia kuat, dia bakal baik baik aja" suara Dion memecah hening.
Ia sama sedihnya dengan Arma. Sahabat karibnya terbaring diam di ranjang rumah sakit dan ia masih tak bisa melakukan apapun untuk membantunya.
Gegar otak ringan yang dideritanya membuatnya sedikit kesulitan untuk mengambil kembali kesadaran nya. Belum lagi luka luka pada tubuhnya yang membuatnya kehilangan cukup banyak darah. Tapi dokter cukup yakin ia akan segera pulih.
"Ceweknya gimana?" tanya Arma.
"Masih seperti kemarin. Gue ngga tega terus terusan nutupin semua ini dari Karin" keluh Dion.
Ia sungguh lelah setiap hari ditanyai keberadaan Arfa. Ia bahkan tak tahan melihat pesan pesan yang masuk ke handphone sahabatnya. Tapi ia masih tak yakin harus bercerita atau tidak pada Karin tentang kondisi Arfa.
"Kenapa lo ngga cerita sama Karin?" tanya Arma.
"Karena gue yakin itu juga yang diinginkan Arfa. Dia ngga pernah biarin siapapun berani buat Karin khawatir, terlebih dirinya"
"Tapi sekarang Karin juga pasti khawatir"
"Gue tau. Tapi gue rasa ini yang terbaik buat saat ini"
"Gue setuju sa.."
Percakapan singkat itu terhenti saat Arma merasakan jemari adiknya bergerak dalam genggamannya. Beberapa detik Dion masih tak mengerti apa yang membuat Arma termenung diam.
Arma berdiri cepat setelah dirinya yakin bahwa jari jari adiknya benar-benar bergerak, bukan sekedar imajinasinya yang terlalu merindukan adiknya. Akhirnya ia melihat Arfa mulai membuka matanya perlahan.
"Arfa.." panggil Arma lembut, untuk pertama kalinya setelah sekian lama ia kembali menemukan pandangan adiknya dalam diri Arfa. Betapa ia merindukan tatapan ini, merindukan sosok adik kecil dalam diri Arfa.
"Kak" ucap Arfa tanpa suara.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Karin (END)
Teen Fiction"Dia itu pentolan sekolah, anak paling nakal di angkatan kita. Berandalan banget deh. Suka nelat, cabut, ngerokok, ngga ada sopan sopannya juga kalo sama guru." - Putri Shania. Kehidupan Karin berubah setelah pertemuannya dengan Arfa, anak berandal...