Hallooo, yang udah nungguin wkwk
Maap lama yaak
Santai santai, jangan pada panik dan khawatir karena Arfa baik-baik aja 😊
Happy reading guys, don't forget to vote and coment***
Dion sudah menunggu sekitar 20 menit, tapi tak ada tanda tanda pintu besi di hadapannya terbuka. Beberapa kali ia menggigit bibir saat mendengar bunyi dari dalam, rasanya ia ingin berlari kedalam dan melihat apa yang terjadi.
"Lo harus bertahan, Fa. Gue ga peduli gimana nantinya, yang penting Lo harus balik dalam keadaan sadar!"
"Halo, Wil. Lo balikin si Kiki dulu aja. Abis itu kesini lagi. Jangan lama!" ia menelpon Wildan dan mengatakan secara singkat, ia tak yakin untuk membawa Arfa ke tengah kerumunan orang di basecamp.
Lalu ia mendengar beberapa orang tertawa, pikirannya mulai kacau. Ia berusaha menajamkan pendengarannya, samar-samar ia mendengar suara Arfa. Antara benar dan tidak, ia terus berusaha mendengar dengan baik dan memilah mana suara sahabatnya diantara keributan itu.
Dan saat itu lah besi setinggi dua meter itu terbuka menampakkan sosok Arfa yang bersandar pada pintu. Ujung bibirnya berdarah, dan melihat bercak darah di kaos putih nya Dion bisa menyimpulkan kondisi Arfa lebih parah dari perkiraan nya.
Ia segera meraih tubuh Arfa yang hampir jatuh itu, beberapa orang di belakang mereka tertawa. Arfa lalu berbalik dan mengangkat tangannya memberikan lambaian lemah lalu berjalan dengan bantuan Dion.
"Lo bener-bener gila!" Dion benar-benar tak lagi bisa menahan amarahnya.
"Jangan base.."
"Gue ngerti." jawab Dion tak membiarkan Arfa berbicara dengan kondisinya yang antara sadar dan tak sadar.
Wildan segera keluar dari mobil begitu belihat Arfa yang berjalan dibantu Dion. Ia benar-benar terkejut dan tak menyangka Arfa serius membiarkan dirinya dihabisi.
"Jalan, Wil" mereka menuju ke sebuah kafe dimana mereka biasa berkumpul.
Tepat setelah memasuki pintu kafe tubuh Arfa roboh begitu saja, Dion dan Wildan segera mengangkat dan merebahkan tubuh penuh luka itu di salah satu sofa. Sebentar ia memperhatikan luka luka di tubuh Arfa sebelum akhirnya pergi mengambil sekotak peralatan P3K.
"Ini darah siapa?" tanya Wildan heran saat melihat bercak darah di baju Arfa.
"Arfa." Dion membayangkan kronologi pertempuran Arfa dalam benaknya. "Dia pasti kena pukulan telak" katanya yakin, dilihatnya lagi bercak darah di kaos putih yang jelas jelas bukan luka luar.
"Gimana kalo dia kenapa napa?" tanya Wildan, cukup tenang walaupun sebenarnya dia sangat khawatir. Baginya pukulan sekeras apapun bahkan sampai membekas biru tak bisa disebut parah, tapi untuk kasus sejenis 'muntah darah' karena pukulan, ini sudah sangat mengkhawatirkan.
"Lo tau sendiri gimana Arfa, begitu bangun bisa lari dia kalo tau kita bawa ke rumah sakit" kata Dion. "Biar gue minta Om Tony racik ramuan China, semoga dia baik-baik aja" tambahnya lalu melenggang pergi bertemu pria bernama Om Tony, pemilik kafe yang juga sepupu jauh Dion.
Sudah hampir 2 jam sejak Dion pergi, Wildan duduk diam berkutat dengan handphone nya. Ia merasa perlu memberi kabar pada kawanannya masalah keadaan Arfa saat ini.
"Gue baik-baik aja" suara lemah itu terdengar pelan, sangat pelan. Tapi sudah cukup membuat Wildan terlonjak kaget. Sedetik kemudian ia sudah berjongkok di samping sofa, memperhatikan kondisi Arfa dari dekat.
"Bego banget sih Fa jadi orang" rutuknya.
Arfa mencoba bangun dengan menggapai kepala sofa sebagai pegangan. Wildan dengan sigap membantunya duduk bersandar. Arfa hanya tersenyum samar melihat wajah Wildan yang selama ini datar dan tenang sedikit berekspresi, alisnya bahkan hampir menyatu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Karin (END)
Fiksi Remaja"Dia itu pentolan sekolah, anak paling nakal di angkatan kita. Berandalan banget deh. Suka nelat, cabut, ngerokok, ngga ada sopan sopannya juga kalo sama guru." - Putri Shania. Kehidupan Karin berubah setelah pertemuannya dengan Arfa, anak berandal...