"Loh? Arfa?" Putri terkejut melihat tamu di rumah Karin tak lain ialah Arfa.
"Hai, Put!" sapanya singkat.
"Ng.. ngapain.."
"Disuruh sama nyokap lo jagain lo. Katanya lo di rumah sendiri" celetuknya.
Karin menghela nafas berat. Usahanya menghindar berakhir seperti ini, cukup tragis memang.
Ia menunduk, raut wajahnya sedih. Ia enggan menerima Arfa masuk kedalam rumahnya atau bahkan menjaganya, tapi hatinya berkata ia harus."Ajak masuk dulu gih" Putri menyikut lengan Karin pelan. Setelah dirasa tak ada pergerakan dari sang empunya rumah, Putri menarik paksa Karin ke samping, memberikan celah bagi Arfa untuk masuk.
"Gue tunggu yang punya rumah kasih ijin aja, Put" katanya masih diam di depan pintu.
Karin kembali menatap mata itu lagi, sesuatu yang tak seharusnya dia lakukan. Pikirannya melemah, mengaku kalah pada hati yang terus meronta mengatakan hal sebaliknya dari apa yang selama ini ia pikirkan.
Tak mengatakan apa apa Karin melenggang masuk dan duduk di sofa ruang tamu, baginya itu sudah cukup bisa dimengerti. Dan Arfa memang mengerti, ia mengikuti Karin duduk di hadapannya.
"Gue mau ambil minum. Kalian disini aja dulu, entar gue buatin sekalian" Putri melenggang pergi.
Karin tau alasan sebenarnya Putri bertingkah seperti itu, ia hanya ingin memberikan Karin waktu. Tapi yang Karin butuhkan saat ini bukan itu.
"Rin" Arfa memulai percakapan. "Lo marah ya? Gara-gara masalah di rumah sakit itu?" tanya nya halus, sejujurnya Karin belum pernah mendengar suara Arfa yang satu ini.
"Tante Ana bilang apa ke lo?" tanya Karin mengalihkan pembicaraan.
"Mama lo yang minta tolong biar gue jagain elo. Katanya selama dia pergi gue yang harus antar jemput lo, anterin ke toko buku, dan harus pastiin lo baik baik aja." Arfa dengan pelan memberikan penjelasan, ia masih sangat takut gadis cantik di hadapannya ini akan meledak.
"Yaudah, gue ngerti." jawaban yang sangat singkat tapi benar benar melegakan bagi Arfa.
"Rin!!! Kayanya gue harus balik deh, gimana dong." Putri tiba-tiba saja berlari dan menubruk Karin.
"Kenapa? Katanya mau anterin beli ice cream." rengek Karin.
"Nyokap nii! Besok besok deh gue yang beliin. Sorry banget, Rin." Putri masih membujuk Karin yang merajuk.
Akhirnya Putri terpaksa pulang dan meninggalkan Karin dan Arfa. Ia masih duduk diam memajukan bibirnya, memberi tanda bahwa ia sedang tak senang. Arfa sedari tadi hanya diam, ia sedang menikmati pemandangan yang jarang sekali muncul di raut wajah gadisnya.
Diam diam ia mengeluarkan ponsel nya, mengutak-atik beberapa hal yang ia rasa perlu dilakukan lalu kembali sibuk menatap wajah cantik Karin.
Keduanya masih sibuk dengan pemikiran masing masing hingga bel pintu berbunyi. Karin menatap penuh harap selama beberapa detik, berharap itu adalah Putri. Tapi ia kembali murung saat sadar bahwa harapannya tak akan terjadi.
Arfa sudah bangkit untuk meraih kenop pintu terlebih dahulu, lalu kembali masuk dengan sesuatu di tangannya. Ia melangkah masuk melewati Karin yang mengawasinya.
"Sini kalo mau ice cream" panggil Arfa dari ruang tengah. Karin berjalan tanpa suara.
"Ni buat pinces. Makan aja, jangan sedih." ia menyerahkan satu cup besar ice cream kearah Karin. Masih bingung harus bagaimana bereaksi Karin hanya menatap Arfa dalam diam hingga Arfa meraih tangan nya lalu menuntunnya untuk memegang cup ice cream yang cukup besar itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Karin (END)
Teen Fiction"Dia itu pentolan sekolah, anak paling nakal di angkatan kita. Berandalan banget deh. Suka nelat, cabut, ngerokok, ngga ada sopan sopannya juga kalo sama guru." - Putri Shania. Kehidupan Karin berubah setelah pertemuannya dengan Arfa, anak berandal...