"Fa, lo bawa topi? Hari ini upacara" tanya Dion.
"Itu apaan sih? Makanan asal mana?" tanya Arfa dengan wajah tolol.
Beberapa siswa perempuan terkikik geli mendengar candaan Arfa, seperti biasa. Hari ini ia sedang malas mengikuti pelajaran di kelas, karena itu ia sengaja tidak membawa topi, walau sebenarnya ia tak punya topi untuk upacara.
"Gue cabut, join?" tanya nya sembari melenggang keluar kelas, Dion tersenyum senang melihat Arfa akhirnya kembali menjadi Arfa yang biasa setelah selama ini sedikit gila karena seorang gadis.
"Siap kapten!" sahut Dion sebagai tanda setuju.
Yang diikuti justru melenggang kearah lapangan. Dion yang masih belum mengerti kemana arah pikiran sobatnya hanya mengikuti dari belakang.
***
"Arfa, kamu lagi kamu lagi. Kenapa kamu disini?" tanya pak Iwan selaku kesiswaan sekolah. Ia jarang kelihatan mungkin karena sibuk, tapi ia selalu datang pertama saat Arfa dihukum.
"Saya disini karena saya orang yang bertanggung jawab pak" Arfa tersenyum bangga.
"Bertanggung jawab apanya! Topi saja ngga dibawa"
"Pak, karena saya ngga bawa topi makannya saya kesini untuk dihukum. Coba saja saya tidak bertanggung jawab, pasti saya sudah ke kantin pak" jelas Arfa.
Ketiganya mendapat hukuman lari lapangan 5 kali. Walaupun Dion dan Kevin sempat mengeluh, Arfa justru terlihat sangat senang dengan hukuman ini.
Oh iya, hari ini kelasnya Karin ada jam OR. Anjir emang, jelas aja dia mau dihukum. Pikir Dion.
"Fa, emang ngga ada cara lain ya buat ketemu Karin? Kudu banget lari begini?" tanya Kevin memprotes.
"Iya Fa, kan bisa kita cabut aja dari pelajaran trus ngintipin doi. Kenapa kudu ngikut dihukum begini sih?" Dion menambahkan.
"Lupa, ngga kepikiran tadi" yang dicecar hanya menjawab santai dengan cengiran khas nya.
Emang susah kalo udah jatuh cinta mah. Batin Dion.
***
Hari sudah beranjak gelap, sosok Arfa masih menatung di dekat jendela kamarnya saat seseorang kembali mengetuk pintu coklat di balik punggungnya. Ini sudah kesekian kali pintu itu diketuk agar sang empunya kamar berkenan keluar, tapi pada kenyataannya ia masih asik larut dalam setiap rencana di otaknya.
"Den, makan dulu den. Sudah malam ini" tutur Bi Sari.
"Nanti, Bi. Belum laper" jawabnya lembut.
Ia bukannya tak ingin makan, bukan juga tak lapar. Ia lapar, tapi ia juga tak ingin makan sendirian. Perasaan rindu yang sudah seharian ini dipaksa diam kembali menangis meminta sebuah pertemuan. Kalau sudah begini ia hanya bisa mencari cari akal bagaimana mengajak gadis itu keluar dan menemani nya makan.
Gue culik aja kali ya.
Eh jangan, nanti nggajadi menantu idaman mertua.
Apa gue bilang nyokap nya biar dibujukin jalan lagi sama gue.
Kayanya itu satu-satunya jalan yang gue punya.
Lalu ia segera meraih benda hitam diatas tempat tidurnya. Sesaat ia mencari nama seseorang di kontak ponselnya sampai ia teringat.
Bego emang! Gue kan ngga punya kontak nyokap nya dia! Duh otak, lu kalo mikir seriusan dikit kek! Bikin malu aja!
Ia menyerah, sepertinya ia akan menunggu sampai besok. Ya, besok.

KAMU SEDANG MEMBACA
Karin (END)
Jugendliteratur"Dia itu pentolan sekolah, anak paling nakal di angkatan kita. Berandalan banget deh. Suka nelat, cabut, ngerokok, ngga ada sopan sopannya juga kalo sama guru." - Putri Shania. Kehidupan Karin berubah setelah pertemuannya dengan Arfa, anak berandal...