Dua Puluh Tujuh

1.6K 65 2
                                    

"Fa, ini udah hampir malem. Nggabisa kita pulang besok pagi?" tanya Karin saat melihat Arfa memasukkan baju bajunya dengan tergesa.

Tak ada jawaban. Sudah satu jam sikapnya begitu dingin sampai Karin dibuatnya kesal. Sebenarnya apa yang terjadi, sampai sampai semua sikap manis Arfa menghilang dalam hitungan detik. Ia bahkan beberapa kali mengumpat saat tangan kanan yang dibalut perban terasa nyeri, tapi ia tetap berkemas dengan tergesa.

"Fa"

Karin sudah benar-benar kehilangan akal, ia tak tahu lagi harus bagaimana menenangkan laki-laki itu. Ini kali pertamanya melihat sikap gusar Arfa. Biasanya sosok di hadapannya ini begitu tenang, bahkan terkesan cuek. Arfa yang saat ini benar-benar jauh berbeda dari apa yang Karin tau.

"Kamu cek sekali lagi kalo ada yang ketinggalan, koper biar aku masukin mobil" tanpa menunggu jawaban Karin, ia melenggang pergi dengan sebuah koper.

Tak lama setelah itu ia kembali, hanya untuk mengambil alih koper Karin. Beruntunglah gadis itu tak mengeluarkan banyak barang dari kopernya, semua baju sengaja tetap ia letakkan dalam koper.

"Ayuk Rin, kita ngga ada waktu" kini Arfa menarik tangan Karin yang tetap berdiri di tempatnya.

"Lo kenapa sih, Fa? Tiba-tiba aneh gini,"

Sejenak, Arfa memandangnya lekat, Karin sempat berpikir bahwa akhirnya laki-laki aneh ini akan buka mulut. Tapi harapannya musnah saat tak ada sepatah kata pun keluar dari mulut manis itu, hanya gelengan kecil.

"Kalo gitu gue nggamau" ia mendudukan dirinya diatas ranjang, dengan tangan bersilang didepan dada.

"Rin, plis"

"Lo demam Fa, badan Lo panas." Karin bisa melihat wajah pucat Arfa yang memerah, keringat dingin di dahinya, dan nafas beratnya.

"Ada sesuatu yang harus gue urus sesegera mungkin. Kita harus pulang Rin" pinta nya, "please"

Karin menghela nafas kasar, kesal dengan dirinya sendiri. Pada akhirnya ia masih saja menuruti semua keinginan Arfa. Sebenarnya apa yang ia sembunyikan, Karin bahkan ragu untuk bertanya.

Arfa sudah duduk di balik kemudi saat ia menelpon seseorang. Ia mengatakan sudah meninggalkan mansion, lalu berterimakasih. Karin menebak seseorang disana memang bertugas merawat mansion selama tak ditempati.

Mobil sedan itu akhirnya melesat meninggalkan mansion.

***

Karin membuka mata saat mendengar klakson truk yang cukup keras, mobil yang dinaikinya sedang menepi. Ia melihat jam di handphone nya, ini tengah malam.

"Fa"

Tak ada respon, detik berikutnya ia sadar Arfa tengah tertidur. Karin merasakan udara cukup dingin karena kaca mobil yang terbuka, sepertinya Arfa sengaja melukannya.

"Ngga" Karin menoleh, suara orang disampingnya serak.

Kecurigaannya sudah tak bisa ditahan, ia menyentuh dahi Arfa dengan tangannya. Panas. Arfa demam.

Karin membuka pintu dan berlari keluar, mencoba mencari mini market terdekat. Semoga ia bisa menemukan paling tidak obat penurun panas.

"Mbak, Paracetamol satu" katanya dengan nafas tersengal setelah berlari.

Begitu mendapatkan obat, roti, dan air minum ia segera berlari kembali ke mobil. Arfa masih pada posisinya yang menjadikan roda kemudi sebagai bantalnya.

"Fa bangun dulu, makan trus minum obat" Karin mengguncangkan tubuh Arfa pelan, ia bergerak, lalu memindahkan kepalanya ke bahu Karin dan kembali terlelap.

Karin (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang