Finnaly, weekend! Karin sangat bersemangat karena ini adalah hari terakhirnya bersekolah dalam satu minggu. Dua minggu merupakan waktu yang singkat bagi Karin, tapi baginya ia sudah cukup banyak mengenal dan dikenal seisi sekolah.
"Dek, ntar malem Mama balik loh. Mau ikutan jemput ngga?"
"Okay. Jam berapa? Soalnya aku mau ke toko buku dulu ntar sore, novel udah abis"
"Jam 8 katanya sih sampe. Ntar telpon aja, gue jemput."
"Okay."
Hari baik bagi Karin karna wanita berumur 46 tahun yang sangat ia rindukan itu akhirnya pulang. Mamanya memiliki garis keturunan Jerman dari kakek karna itulah Mama lebih terlihat seperti orang Jerman dengan kulit putih dan mata keemasan.
"Rin, biologi lu udah?" todong Nina.
"Udah sih, 2 soal aja kan? Tapi ya nggatau jawaban bener nya,"
"Liatin liatin"
Hari ini di kelas X.2 lebih banyak guru yang tidak bisa mengisi jam pelajaran membuat Reno cs senang mendapat jam kosong.
"Kantin yuk!" ajak Nina.
"Duluan deh,"
Setelah menyelesaikan catatan ekonomi karna sempat tertinggal , ia segera menyusul ketiga temannya. Belum sampai lima langkah ia meninggalkan kelasnya, seseorang dengan lembut menarik lengannya.
"Arfa? Lo ngapain?" Karin bingung saat menyadari seseorang yang menarik lengannya tak lain adalah Arfa.
"Sorry buat tadi pagi. Gue kelepas emosi. Gue masih nggatau apa yang sebenernya gue mau."
"..." Karin masih tak mengerti kemana arah pembicaraan ini.
"Tangan lo?" Arfa mendekatkan tangan Karin agar dapat melihat lebih jelas.
"Gue nggapapa." Karin dengan segera menarik paksa tangannya dalam genggaman Arfa. "Gue duluan." Karin segera berjalan tanpa memperdulikan Arfa yang sudah membuka mulut ingin menahan gadis itu lebih lama lagi.
"Lama amat sih, udah kelar nih kita" kata Putri saat melihat Karin mendekat ke meja.
"Yaudah balik aja yuk. Gue ngga mood makan nih tiba-tiba"
"Yakin?" Nina menatap aneh Karin.
"Heem. Yuk. Keburu masuk"
Karin sudah cukup tenang saat berjalan menuju kelasnya yang terletak di lantai 2. Namun sepertinya hari buruk sedang menimpanya saat dilihat seorang cowo tengah bersandar di depan kelasnya.
"Karin ada?" tanya suara yang seketika membuat jantung Karin bertegup lebih cepat.
"A-ada kok." Erni sedikit tergagap.
Karin yang berada tepat di belakang Erni merasa tangannya ditarik kedepan hingga kini posisi mereka bertukar.
"Kenapa?" tanya Karin ketus, nada bicaranya sama sekali tidak menunjukan rasa takut yang sebenarnya ia sembunyikan. Yang ditanya justru menatap balik kearah tiga temannya yang lain memberi isyarat bahwa ia ingin berbicara dengan gadisnya tanpa ada mereka.
"Yaudah, Rin. Gue masuk dulu ya" Putri yang menangkap maksud Arfa segera membawa kedua temannya masuk.
"Gue minta maaf, Rin" ucap Arfa pelan, hampir terdengar seperti berbisik.
"Udah gue maafin."
"Lo marah?"
"Engga"
"Rin.." kini ia menggantungkan ucapannya, menunggu reaksi dari gadis yang tetap terdiam di hadapannya. "Kayanya gue suka sama lo."
Karin mendongak dan menatap mata cowo di depannya secara langsung tak percaya dengan apa yang di dengarnya. Untuk beberapa saat jantungnya justru berdetak lebih pelan, seperti tak berdetak. Rongga perutnya penuh oleh sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Ia berkedip beberapa kali berharap semua ini hanya ilusi.
Gila! Bego! Mati lu Rin. Dia nembak lo!
"Gue ngga minta jawaban dari lo kok. Gue cuma mau lo siap-siap aja buat kedepannya," Arfa tersenyum lembut, seketika itu juga jantung Karin yang tadinya tenang kembali berpacu. "Gue ke kelas duluan ya"
"Dia kenapa?" selidik Putri.
"Minta maaf masalah tadi pagi" Karin tidak berbohong, memang benar itu yang dibicarakan Arfa tadi. Hanya saja ia tidak menceritakan bagian akhirnya.
"Tumben amat dia ngerasa segitu bersalahnya."
"Terserah dia aja lah. Nin, minta minum lo dong!" Karin berusaha menetralisir degup jantungnya.
"Mungkin dia suka sama lo" Karin tsrsedak mendengar penuturan Erni. Ia tak menyangka Erni yang lebih diam justru bisa menebak dengan benar.
"Lo kenapa sih, Rin??" tanya Putri membantu Karin yang terbatuk-batuk.
"Engga, kaget aja. Lo asal ngomong ah, Er! Mungkin emang dia ngerasa bersalah aja, lagian gue kan anak baru." kata Karin berusaha membuat alibi.
Pelajaran hari ini berakhir lebih cepat dari biasanya dikarenakan guru-guru harus menghadiri rapat yang entah apapun itu tak ada satupun siswa yang peduli, yang mereka pedulikan hanya mereka bisa pulang lebih awal dari hari biasanya.
"Mau langsung balik? Ini masih 3 jam dari jadwal asli kita pulang loh" Putri seakan tak rela ketiganya melangkah keluar dari kelas.
"Iyaa, jalan yuk. Kapan lagi bisa ada waktu?" ajak Nina.
"Gue iya aja deh. Lagi ngga ada les juga" Erni mengangguk setuju.
"Karin?"
Belum sempat Karin menjawab, terdengar ramai ramai dari luar kelas. Beberapa siswa sudah memenuhi teras depan kelas dan melongok ke arah lapangan di bawah.
Putri tidak bisa menahan rasa penasarannya segera menyusul untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi di lapangan bawah.
"Ngapain tuh anak?" tanya Putri entah pada siapa. Karin yang sedang asik dengan handphone di tangannya tidak terlalu memperhatikan apa yang sebenarnya terjadi.
"Cari sensasi mungkin," tebak Nina yang kinu sudah ikut melongokkan kepala melihat aksi gila seorang siswa di tengah lapangan.
"Bentar ya, buku biologi gue masih di lacinya Ardha!" Karin berjalan santai kembali ke kelas menuju bangku yang biasa ditempati Ardha.
Ia mencari-cari dimana buku bersampul kertas kado warna orange miliknya. Merasa tak menemukan buku yang dicarinya, ia mulai mencari dari satu laci ke laci yang lain di dalan kelasnya.
"Nah!" Karin sebal sendiri saat menemukan bukunya di laci Reno. Ia segera memasukkan bukunya ke dalam tas dan menyusul Putri.
"Put, kita.."
"Ehm.." suara seseorang membuat Karin terdiam, jantungnya kembali berpacu. "Karin Aidina! Ini gue Arfa Aditya." sekarang Karin menyadari bahwa suara itu lebih seperti berasal dari megafon. Ia segera melihat kearah lapangan dimana suara itu berasal.
"Ngapain sih dia?" tanyanya lebih seperti bisikan.
"Karin! Gue minta maaf sama lo, gue serius sama apa yang gue omongin tadi siang!" katanya lagi, "Lo mau kan turun kesini, gue butuh liat lo sekarang!"
Putri dan Nina segera menarik Karin turun tanpa meminta persetujuannya. Karin yang masih shock hanya pasrah saat kedua gadis itu menariknya. Begitu sampai di bawah, mereka membawa Karin mendekat kearah lapangan. Karin melihat senyum Arfa mengembang saat ia berhenti di salah satu sisi lapangan yang menghadap kearah Arfa.
"Hai, Rin! Gue sama sekali ngga ada niat mau minta lo jawab pernyataan gue tadi kok!" kini ia bicara tanpa megafon. "Gue cuma mau lo siap sama semua hal tentang gue!"
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Karin (END)
Roman pour Adolescents"Dia itu pentolan sekolah, anak paling nakal di angkatan kita. Berandalan banget deh. Suka nelat, cabut, ngerokok, ngga ada sopan sopannya juga kalo sama guru." - Putri Shania. Kehidupan Karin berubah setelah pertemuannya dengan Arfa, anak berandal...