"Itu.. darimana kamu"
"Ngga perlu tau video itu darimana" kata Karin, lagi lagi ia menundukkan kepalanya, tak kuasa menatap binar mata Arfa.
Arfa mengacak rambutnya frustasi. Ia benar-benar tak menyangka hal seperti ini lah yang membuat Karin mendiamkannya seminggu. Kini ia tak menyalahkan, tentu setelah mendengan penjelasan gadis itu.
Karin jelas berbeda dari gadis manapun, ia sadar itu, tapi baru kini ia benar-benar merasa ia sadar. Tak ada seorangpun yang mempermasalahkan masa lalunya yang terisi dengan banyak gadis, mereka semua bisa menerima dan justru bangga karena dapat bersanding dengan Arfa.
Tapi Karin, gadis yang jelas-jelas terlalu polos untuk disakiti itu menangis setiap malam karena mengingat video dimana ia sedang asik mencumbu seorang gadis di club malam. Arfa bahkan tak ingat lagi kapan video itu diambil atau bahkan siapa gadis itu, mungkin saat itu ia sedang sangat mabuk. Dalam hati ia berjanji tidak akan pernah menyentuh wanita manapun setelah kejadian ini.
"Maaf Rin" ia hanya melirik sekilas raut Karin yang masih murung lalu kembali menatap lantai. "Harus gimana biar dimaafin?" tanya nya pelan.
Karin hanya menggeleng pelan, bukan berarti tak ingin memaafkan, ia hanya tak tahu apa yang harus Arfa lakukan untuk sekedar menawar luka di hati nya.
"Masalah kamu waktu itu gimana? Kamu berantem?" tanya Karin, Arfa berpikir sejenak masalah mana yang dimaksud lalu ia mengangguk kecil saat mengingat nya.
"Kamu janji sama aku engga berantem!!" teriakan itu seketika membuat Arfa tersadar.
"Engga, aku engga berantem. Udah diselesaikan dengan baik baik Rin." ucapnya sabar.
Karin menatap selidik, mencoba mencari adanya kebohongan di mata Arfa, tapi nihil. Ia bernafas lega, setidaknya Arfa masih mendengarkan nya meski ia tak di sisi lelaki itu.
"Aku kangen kamu" ucap Arfa tiba-tiba.
Karin menunduk malu, terlalu terkejut dengan pernyataan Arfa. Entah, melihat bagaimana kepanikan dan raut penyesalan Arfa membuat perasaan nya sedikit lebih baik sekarang. Tapi tetap saja, ia benar-benar tak bisa menahan sesak jika membayangkan ada berapa gadis yang sudah mendapat perlakuan yang sama dari pria yang ia sayang ini.
"Berapa mantan kamu?"
"Rin"
"Berapa?!"
"Aku ngga inget, aku ngga pernah serius sama cewek Rin." katanya dengan lembut, ia menebak arah pembicaraan Karin. "Aku ngga begitu ke semua cewe yang pernah jadi pacar aku. Cuma kalo mereka mau aja. Dan yang tadi itu bukan pacar aku, sumpah Rin aku ngga kenal"
Karin semakin sesak mendengar penjelasan Arfa, itu berarti mungkin ada lebih dari 10 atau mungkin 20 gadis di luar sana yang telah ia lecehkan.
"Gue juga ngga lebih penting dari pacar pacar Lo kok, Fa" ucapnya lirih, perasaannya yang sempat membaik kembali sesak oleh luka.
Arfa menunduk, tak tahu lagi harus bagaimana. Ia hampir menangis memikirkan tak ada celah antara dirinya dan Karin untuk bisa kembali seperti dulu.
"Stop mainin cewek, mereka bukan mainan kalian" ucap Karin pelan.
"Maaf,"
Pelan Karin menarik dagu laki-laki di hadapannya hingga mata mereka beradu tatap. Ia mengusap pelan bibir Arfa menggunakan ibu jarinya sementara telapak tangannya telah merekat pada pipi tirus Arfa. Arfa hanya diam, tak ingin mengganggu pemikiran gadis manis yang tengah dengan serius mengelus sambil menatap bibirnya.
"Kenapa aku harus jatuh cinta pada orang yang bahkan tak bisa menghargai wanita, baginya semua hanya mainan, sekadar untuk diambil manis nya" kata Karin sedih, matanya masih menatap lekat bibir Arfa.
Arfa menggenggam tangan Karin, menyingkirkan dari wajahnya. Ia menggelengkan kepalanya, berusaha mencari kata kata yang bisa membuat gadis manis ini mengerti.
"Kamu beda, nggabisa disamakan dengan gadis gadis semacam itu. Sejak kenal Karin, aku nggasuka gadis lain, duniaku terpusat di kamu Rin. Jadi tolong, tolong bantu aku selamatkan duniaku"
Karin terpaku, air matanya hampir keluar. Tepat sebelum itu, Arfa membawanya kedalam pelukannya. Mengusap lembut punggung Karin serta mendaratkan beberapa kecupan di puncak kepala nya.
"Jangan nangis, plis jangan. Udah ya udah, aku nggamau lagi liat kamu nangis." ucap Arfa hampir memohon membuat Karin justru menangis semakin kencang.
Mereka terhanyut dalam suasana penuh air mata itu hampir tiga puluh menit. Hingga Arfa merasakan nafas Karin yang teratur, Karin tertidur dalam pelukannya.
***
Arfa kembali ke rumah setelah menggendong Karin kembali ke tempat tidurnya. Ia banyak berpikir dalam perjalanan pulang. Dan hasil berpikir itulah yang akhirnya membuat hatinya sedikit lega.
Ya, ini rencana besar tapi ia yakin akan sukses. Semoga saja. Hatinya berdegup kencang saat otak nya mulai merancang setiap kata yang akan ia gunakan. Tangannya saling meremas satu sama lain.
"Halo, Pa. Arfa harus bicara, ini penting." katanya cepat begitu laki-laki di seberang telepon menjawab panggilannya.
"Tapi Arfa harus bicarakan ini secara langsung, Pa. Ini tentang rencana Arfa kuliah di luar negeri." katanya lagi, berusaha membujuk agar pemilik suara tegas itu bersedia menyempatkan diri ke Indonesia.
Tapi lagi-lagi ia hanya mendesah mendengar penuturan di seberang sana. Keputusan nya kali ini sudah bulat, ia akan tetap melakukannya. Demi dirinya juga Karin, ia tak mungkin lagi menyakiti gadis manis itu.
"Arfa akan tetap kuliah di luar negeri, Pa" ujarnya lalu menutup telepon tanpa mendengarkan sentakan Papa nya.
***
Hayoloh kok malah ditinggal pergi sama si Arfa 😂😂
Jangan lupa vote dan komen ya 😊

KAMU SEDANG MEMBACA
Karin (END)
Teen Fiction"Dia itu pentolan sekolah, anak paling nakal di angkatan kita. Berandalan banget deh. Suka nelat, cabut, ngerokok, ngga ada sopan sopannya juga kalo sama guru." - Putri Shania. Kehidupan Karin berubah setelah pertemuannya dengan Arfa, anak berandal...