Hari berganti hari dan minggu berganti minggu.
Sebulan berlalu setelah perbincangan malam itu dengan perjuangan penuh Rika untuk mempertahankan sisa hatinya agar tidak hayut dan kembali hancur.
Meski harus Rika akui kalau Rei terlihat lebih menjaga jaraknya dengan tidak terlalu sering mengajaknya berbicara hal-hal tidak penting selama perjalanan pulang-pergi, tidak lagi menungguinya setiap jam istirahat, sehingga Rika bisa memakan bekalnya di kelas tanpa perlu berinteraksi dengan Rei, dan tidak lagi memaksa untuk menggenggam jemarinya saat berjalan yang membuat Jantung Rika menggila.
Semua terlihat lebih normal sekarang. Atau setidaknya itulah yang sedang Rika coba yakini.
Meskipun Rei masih terus mengantar jemputnya, menungguinya saat ia harus latihan untuk pertunjukan pentas seni sekolah, dan tak jarang Rei sering mengiriminya makanan kalau Rika terlalu serius berlatih hingga lupa makan. Selebihnya, Rei terlihat normal, seperti Rei yang biasanya.
Setidaknya Rika bisa mengistirahatkan hatinya sejenak. Hanya sejenak.
Hari pentas seni tiba. Bagi Tim B yang kalah pada pertandingan olah raga bulan lalu, hari itu adalah hari menyedihkan karena mereka tidak bisa menikmati keseruan pentas seni tanpa meninggalkan Stand bazar, atau kegugupan untuk tampil mengisi acara.
Seperti Rika yang telapak tangannya sudah keringatan menanti gilirannya.
Tidak tahu siapa yang mengkhianatinya, tiba-tiba saja dirinya sudah ditunjuk untuk membawakan gitar solo di pertengahan acara nanti. Padahal tadinya ia sudah bisa bernafas lega saat dirinya ditunjuk untuk menjaga Stand penjual Susu.
Mike juga tidak banyak membantu.
Laki-laki itu malah menyemangati Rika dan seakan mengejeknya dengan sorot matanya.
"Kau tidak akan mati hanya karena tampil nanti, Rika-Chan. Bernafas lah." Goda Mike yang entah kenapa bisa berada di belakang panggung saat itu. Setahu Rika, gilirang manggung Mike adalah 1 jam lagi, dan sekarang Mike seharusnya masih memiliki jadwal jaga.
"Apa yang kau lakukan disini?" Tanya Rika tanpa semangat. "entah lah, Mike. Aku rasa di ujung tangga panggung sana ada malaikat pencabut nyawa yang sedang tersenyum padaku. Aaaah aku bisa gila! Apa aku boleh tidak tampil?" Rengeknya sambil menggenggam tangan Mike erat. "Lihat, tanganku dingin, gemetaran. Aku tidak bisa melakukan ini, Mike!"
"Kau bisa, Rika-chan." Mike tertawa, "Kau bisa. Kau bukan lagi Rika yang penakut dulu, kan?"
Rika menggeleng, mengenyahkan asumsi Mike mentah-mentah. "Aku masih Rika yang sama."
Mike mengacak rambut Rika gemas, "Kau lucu sekali. Naiklah kesana, setelah itu aku akan membelikanmu es krim."
"Mike!!!" Ketus Rika kesal.
Mike tergelak dan mengangkat kedua tangannya, "baiklah aku bercanda. Tapi aku serius, kau harus segera naik." Mike mengkode dengan dagunya, salah satu panitia sudah melambaikan tangannya, meminta Rika untuk segera naik keatas panggung. "Malaikat pencabut nyawa sudah memanggilmu." Candanya kembali tergelak.
Rika menarik nafasnya dalam, sedalam yang paru-parunya bisa, lalu menghembuskannya perlahan. "Doakan aku." Pinta Rika sebelum berbalik.
Mike tersenyum dan mengangguk kecil meski Rika tidak lagi bisa melihatnya. "Aku selalu mendoakanmu, Rika-Chan. Semoga yang kau lihat bukan malaikat pencabut nyawa sesungguhnya." Gumamnya kecil. Ia harus segera kembali ke depan panggung untuk melihat sisa pertunjukan yang sudah sebulan direncanakannya.
Rika berdiri dengan kaki dan tangan bergetar. Ini pertama kalinya ia menunjukan keahliannya dalam mengcover lagu di hadapan banyak orang. Ia hanya pernah berlatih sendiri di kamar, dan bernyari di depan Rei. Menurut Rika, itu sama sekali bukan pengalaman membanggakan yang membuatnya harus tampil percaya diri di depan ribuan teman sekolahnya sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
She's (Not) My Fiancee
Teen FictionChapter di PRIVATE Acak! Ketika Cinta dan penyesalan datang secara bersamaan. Dan kata 'memiliki' bukan lagi menjadi sebuah Jaminan. Hingga Berjuang dan Tidak menyerah bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. You never know how much you lov...